A. Pandangan Psikoanalisis Mengenai Pemilihan Karir
Teori umum psikoanalisis yang berhubungan dengan karir diungkapkan oleh seorang analis bernama Brill (Osiplow, 1973) bahwa :
Ketika seseorang ingin memilih suatu karir, maka dia akan membandingkan keputusan antara dua prinsip yakni tuntutan untuk kepuasan dengan segera (tuntutan id) dan pada saat yang sama ingin mambangun pondasi bagi kesuksesannya di masa depan (penjagaan ego dan superego). Prinsip kepuasan menggerakan individu untuk menampilkan perilaku yang memberikan kepuasan dan mengabaikan konsekuensi yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Sedangkan prinsip ralitas memberikan perhatian yang berfokus pada kepuasan jangka panjang. Dalam memilih jabatan seorang individu barangkali menggabungkan kedua prinsip tersebut. Idelanya seseorang mendapatkan kepuasan dengan segera sebagaimana konsekuensi dari pekerjaanya tersebut, sedangkan beberapa saat individu menempatkan pondasi untuk mencapai sukses di masa yang akan datang. Seperti seseorang yang memilih karir dalam hukum sebagai tujuannya, disediakan untuk siswa hukum dengan segala wibawa, status, untuk membentuk potensi sehingga pada akhirnya masuk dalam caatan professional.
Brill mengungkapkan bahwa sublimasi merupakan batu loncatan yang baik sekali dalam pemilihan karir. Brill mengungkapkan bahwa keputusan seseorang mengenai pekerjaan yang dipilihnya bukanlah hasil kesepakatan yang tidak disengaja dari sebuah kejadian melainkan hasil dari kepribadian dan pengaruh lain yang signifikan. Motif yang tidak disadari mendasari semua kebiasaan, termasuk dalam pemilihan karir. Brill melaporkan beberapa kasus yang diobservasi sendiri mengenai peranan jabatan dalam keinginan untuk menadapatkan kepuasan. Untuk mengilustrasikan hal tersebut Briil mengungkapkan kecenderungan psikopatologi dalam pemilihan karir. Brill mengungkapkan bahwa impuls dapat diekspresikan dengan berbagai aktifitas untuk menadapatkan kepuasan seperti impuls yang sangat kejam diekspresikan dengan aktivitas seperti ahli bedah, pemunuh,dan tukang daging. Jhons (1923) mengungkapkan pasiennya yang berhasil mengubah masa kanak-kanaknya yang tertarik pada proses urinasi dan segala macam bentuk cairan yang ada dalam tubuhnya, maka dalam karir nya dia berhasil sebagai seorang insinyur dalam pembangunan sebuah terusan. Zilboorg (1934) mengungkapkan pasiennya yakni seorang ayah yang berhasil menjadi seorang bisnisman dalam bidang peralatan toilet, ternyata dia mempunyai daya tarik terhadap fungsi isi perut ankanya.
Diantara pendapat Briil mengenai pilihan karir yang sangat menarik mengenai pekerjaan adalah fenomena“neurotic fad” pada individu untuk menyesuaikan diri antara kebutuhan dan keinginan. Seseorang akan mampu beradaptasi dengan pekerjaannya bila dalam pekerjaan tersebut ada faktor yang memberikan kepuasan bagi dirinya termasuk dalam aktivitas yang merupakan pantangan bagi tingkah laku. Kemampuan fisik dan mental merupakan sebagian kecil factor yang mendukung dalam pemilihan karir seseorang .. Menurut Brill juga konseling karir didasarkan pada kemmapuan dan daya tarik yang disukai untuk menjadi sebuah nilai, meskipun Brill sendiri mengakui bahwa nilai tersebut bersifat sementara untuk membentuk kepribadian individu sehingga individu tersebut bisa melakukan sublimasi yang efektif dari keinginan hatinya.
Beberapa penulis psikoanalisis yang mengilustrasikan permasalahan karir dengan mengkaji sebuah kasus diantaranya adalah Bell (1960) yang mengungkapkan cara yang irasional dalam pemilihan karir yang dapat terjadi ketika berlangsung integritas ego. Forer (1953) melukiskan variabel kepribadian dalam pemilihan karir, yang mengungkapkan bahwa motivasi tidak sadar mempunyai hubungan dengan kebutuhan libidinal (pemenuhan kepuasan akan kebutuhan) dalam pemilihan suatu karir. Dragshoe (1957) melaporkan hasil dari survai mengenai keterlibatan alasan seseorang dalam menentukan pilihann karir, hasilnya diindikasikan bahwa setiap orang dalam pemilihan karir berdasarkan pada lebih dari satu alasan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Freud yakni dalam pemilihan karir tidak didasari oleh satu faktor saja melainkan interaksi dari berbagai faktor.
Pokok yang dituliskan dalam hal tersebut adalah prinsip kesenangan dan prinsip realitas yang tidak cukup untuk menilai tingkah laku manusia. Hendrick (1943) mengusulkan prinsip bekerja. Karena ia menganggap bahwa prinsip kesenangan dan prinsip kenyataan belum cukup dalam pembentukan tingkah laku individu. Berlawanan dengan prinsip perilaku yang memperoleh sublimasi dari prinsip kenyataan , libidinal enegi kiranya didasarkan pada prinsip pekerjaan, yaitu pada bakat seseorang untuk menguasai lingkungan. Bakat mempunyai suatu pondasi biologis (faktor keturunan ) dimana suatu fungsi dari usaha seseorang untuk mengendalikan atau mengubah beberapa bagian lingkungan melalui kombinasi dari proses mengenai ilmu syaraf dan intelektual. Bakat perorangan diperlukan untuk mengintegrasikan perilaku dan mengembangkan keterampilan dalam melakukan tugas tertentu. Hendrick kemudian menyimpulkan kesenangan bekerja menghadirkan naluri. Kepuasan pekerjaan, dengan menggambarkan suatu ego tidak dapat berfungsi karena disublimasi oleh kesenanan seksual.
Beberapa penulis menampilakan bebrapa aspek dari perkembangan karir yang dapat dipaparkan dalam hubunganya dengan teori psikoanalisis dengan menggunakan teknik studi kasus diantaranya Glinsky dan Fast (1966) yang mengungkapkan percobaan untuk memperlihatkan bagaimana masalah identitas sering terlihat pada individu yang masih muda, boleh jadi frekuensinya dapat didefinisikan dalam ruang lingkup kesulitan pengambilan keputusan mengenai karir dan tidak dapat memberikan keputusan karir. Neff (1968) menulis pembeajaran mengenai perkembangan dan tingkah laku yang secara khusus didasari konsep psikoaalisis. Dalam kerjanya Neff mendeskripsikan bagaimana psikoanalisis diorientasikan sehingga bisa memperlihatkan secara logis tingkah laku orang dewasa diantaranya tingkah laku para pekerja sebagai suatu fungsi dari pengalaman yang pertama. Menurut Neff pokok psikoanalisis memandang bekerja memiliki tekanan yang sangat besar yang lazimnya berada dalam peranan instink didalam memotivasi tingkah laku, keyakinan mengenai kesulitan orang dewasa dalam bekerja merupakan hasil yang paling primer dari pembentukan proses afektif dengan memanfaatkan fasilitas dari interaksi anak dan orang tua, (pernyataan yang mengingatkan pada Roe) dan dan dibawah tekanan dari peranan budaya dalam perkembangan individu.
Perhatian mengenai bekerja dan prinsip realitas dapat saling melengkapi meskipun pada faktanya, prinsip realitas didasarkan pada libido ketika bekerja didasarkan pada mastery insting. Semenjak dewasa kepuasan didasarkan pada bekerja lebih tergantung pada energi libido, selama terjadinya kedewasaan keunggulan bekerja sangat penting sebagai sumber kepuasan. Hal ini merupakan wilayah perkembangan orang dewasa yakni ketika perhatian pusatnya adalah perkembangan seksual. Mengingat kematangan dengan kebutuhan seksual berkurang dan kompetisi ditampilkan maka kepandaian menjadi sumber yang paling utama dari kepuasan.
Konsep psikoanalisis mengenai identifikasi sangat penting untuk dalam menangani tekanan dalam proses pemilihan karir. Sommer (1956) mengalisis mengaalisis tiga kasus mengenai identifikasi dalam pemiliha karir. Ketiga kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa kepribadian dapat dipengaruhi oleh kejadian dalam karir dengan pendekatan psikoanalisis untuk membentuk sebuah tingkah laku. Mereka selalu mengilustrasikan kompeleknya pemilihan karir tidak lebih seperti kerangka berfikir, dan pilihan bisa saja menjadi serba salah, dengan menganjurkan beberapa tahapan untuk memperbaiki kesulitan dalam pemilihan karir dalam keghidupan yang direfleksikan sebagai dasar bagi kepribadian untuk menanggulangi gejala-gejala dalam gangguan kepribadian. Oberndorf (1951) menganjurkan dalam psikopatologi. Bekerja membutuhkan perampasan dalam bentuk penundaaan kesenangan. Yang dapat ditandai dengan menonjolnya peranan yang diperbolehkan untuk mempercepat kepuasan dari autoerotic insting. Dalam psikopathologi dapat diistilahkan dengan laziness atau kemalasan yang meerupakan perpanajangan dari perilaku infantile yang berlebihan dalam bekerja sebagaimana pengawasan terhadap libido kekanak-kanakan yang berakibat pada penolakan.
B. Pandangan Bordin, Nachmann, Segal tentang Pengembangan Karir
Bordin, Nachmann, Segal (1963) berusaha melukiskan seluruh proses pengembangan karir dalam kerangka psikoanalisa. Tiga penyelidik ini mencoba mengembangkan suatu sistem kerangka dasar pada beberapa jabatan untuk mengembangkan generalissasi dan metode yang umu yang bisa dikembangkan menjadi suatu jabatan yang luas.
Ketiga jabatan yang digunakan untuk menggambarkan sistem ini adalah akuntan, pekerja sosal, dan pekerja pipa ledeng. Hasilnya adalah terdapat beberapa dimensi yang mempengaruhi orang untuk bekerja seperti dimensi nurturance yang keinginan untuk memberi yang dapat dikembangkan pada seorang pekerja social. Para akuntan dan tukanng ledeng tidak melibatkan para klien mereka sama sekali sehingga mendapatkan nilai nol pada bagian nurturance yang mengarah pada pemberian. Bagian berikutnya dimensi nurturance adalah pengembangan , dimana para akuntan melakukannya sampai taraf tertentu dalam menasehati keuangan para nasabah mereka. Yang dimaksud dalam contoh ini adalah bahwa seseorang dalam pekerjaannya akan memperlihatkan tinggi rendah nilai suatu dimensi berdasarkan pekerjaan yang dilakukannya.
Di dalam dimensi denital terdapat bagian pendirian, prestasi, impregnasi,dan produksi. Hanya tukang ledeng mempunyai derajat tingkat keterlibatan pada bagian pendirian, dan itu hanya utuk suatu derajat tingkat rendah berkenaan dengan penggunaan dari perkakas dan tangan mereka untuk memperbaiki kran dan peralatan tetap.
Jika sistem tersebut ditekuni untuk memperluas suatu jabatan maka seseorang dapat dengan teliti mengidentifikasi arti area kepuasan dorongan hati tertentu pada jabatan yang ditentukan, dan alternative peuasan dorongan hati di dalam bidang pekerjaan tersebut. Kesimpulan berikutnya adalagh mengenal pemilihan bidang pekerjaan berdasarka gaya jenis kelamin ketertarikan pada suatu potensi jabatan dan tipe pertahanan yang tersedia dalam sebuah jabatan. Konsep analisis karir menekankan pada teknik kepuasan dorongan hati dan ketertarikan yang dalam terhadap suatu bidang dibanding minat dan kemampuan pada suatu karir. Asumsinya bahwa konselor akan menggunakan kerangka berfikir konseling karir, sebuah pendekatan trait dan factor juga dapat digunakan, tetapi keteguhan hati untuk mendapatkan kepuasan, perkembangan psikoseksual, dan tingkat kecemasan dapat ditempatkan sebagai suatu keptertarikan dan kemampuan. Konselor dapat memulai menemukan potensi yang maksimal untuk menyiapkan konseli dengan gaya psikologi. Barangkali psikoanalisis menjadi metode untuk menafsirkan individu.
C. Perkembangan Kepribadian secara Umum dengan Pilihan Karir
Beberapa usaha untuk menguji hipotesis mengenai pilihan karir berasal dari teori psikoanalitik yang dibuat dalam konteks umum dari kerangka teori Bordin, Nachmann dan Segal. Kebanyakan dari hasil penelitian mendahului publikasi aktual proposalnya. Salah satunya adalah hal temuan yang jenius dari Segal (1961). Hasil studi Segal didasarkan pada anggapan bahwa perkembangan kepribadian para akuntan dan penulis kreatif dibedakan, dimana setiap kelompok telah memilih pekerjaannya berdasarkan perbedaan stereotipe yang terdapat pada karir yang mereka pilih –dan itulah pilihan para penulis dan akuntan tersebut– berdasarkan stereotipe pekerjaan, konsisten dengan sejarah perkembangan kepribadian sampai saat mereka menentukan pilihannya.
Saat anak-anak, akuntan dengan cepat mempelajari bahwa persetujuan orang tua diperoleh dengan cara memenuhi keinginan orang tua. Memenuhi permintaan orang tua untuk ditukar dengan persetujuan mereka dapat dicontohkan dengan periode toilet-training pada perkembangan anak. Selama periode ini anak belajar untuk mengontrol satu set gerakkan untuk ditukar dengan penghargaan dan kasih sayang orang tua. Pertukaran seperti ini yang membuat superego akuntan tumbuh berkembang. Identifikasi anak terhadap orang tuanya menguat, sehingga mengurangi ketakutan anak terhadap kehilangan kasih sayang orangtua. Hasilnya, pola khas compulsive pun berkembang, mendorong pertahanan anak melawan kekhawatiran terhadap kehilangan penghargaan orang tua. Mekanisme compulsive yang dapat dilihat adalah isolasi, pembentukkan reaksi dan inteketualisasi. Pada akhirnya anak-anak yang sekarang tumbuh menuju kedewasaan menerapkan perilaku dari orang tua terhadap seluruh figur kekuasaan. Ketika kebutuhan dalam pembuatan keputusuan kejuruan terjadi, jika dilihat dari kebutuhan untuk memenuhi pertukaran dalam penerimaan kekuasaan, dan penggunaan perilaku kompulsif dalam memelihara perilakunya sendiri, menjadi alami untuk memilih akuntan sebagai karir. Stereotipe pada akuntansi memberi kesan bahwa karir tersebut menawarkan panduan yang benar dan jelas untuk berperilaku.
Latar belakang dari penulis kreatif, tentunya sangat berbeda. Saat anak-anak, penulis belajar untuk berontak daripada memenuhi permintaan dari kekuasaan orang tua. Hasil kegagalan pengasuhan orang tua menyebabkan anak-anak kurang dapat mengidentifikasi orang tuanya. Konsekuensinya, anak mengembangkan superego yang lemah dan kurang menerima norma sosial. Saat individu bertambah tua, usaha untuk membuat memperbaiki identifikasi yang buruk dan untuk merubah peraturan sosial; diberikan kemampuan yang sesuai, karir menulis adalah cara alami untuk mengimplementasikan kebutuhan personal tersebut. Pertahanan orang tersebut akan membangun sikap yang cenderung menonjol, menindas dan menyangkal.
Dengan berdasar pada teori ini, Segal mengembangkan beberapa hipotesis spesifik mengenai kepribadian dan perilaku, yang telah ia uji sebelumnya. Subjeknya adalah 15 mahasiswa akuntansi prasarjana dan 15 mahasiswa menulis kreatif yang telah berhasil. Perlakuan yang ia ambil tidak dimaksudkan untuk mencampur dua kelompok, dengan jaminan bahwa skor tertulis SVIB dari para akuntan tidak tinggi, begitupun laporan skor SVIB dari para penulis. Lebih jauh lagi, secara garis besar latar belakang tiap kelompok sama, antara lain, umur, level intelektual dan yang lainnya pun sama. Mereka diberi Rorschach Inkblot Test dan Bender-Gestalt dan diharuskan menulis satu halaman otobiografi kejuruan.
Pertama, Segal memprediksi bahwa level umum pada penyesuaian dua kelompok tersebut tidak akan berbeda, dan hasilnya mengecewakannya. Tidak ditemukan adanya perbedaan secara menyeluruh. Pada dasar perumusannya mengenai perkembangan kepribadian, Segal memprediksi akuntan akan menerima norma sosial pada tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan penulis, dan juga akuntan akan lebih berusaha untuk mengontrol emosi daripada penulis. di sisi lain, penulis akan lebih sensitif terhadap situasi emosional daripada akuntan. Berdasarkan observasi, akuntan memilih karir pada umur yang lebih muda daripada penulis dan protokol Rorschach merefleksikan kurangnya spontanitas akuntan jika dibandingkan dengan penulis. Segel mendapati bahwa akuntan lebih memerhatikan norma sosial daripada penulis, yang memilih karir lebih lambat daripada akuntan, dan Rorschach menjawab dengan anjuran yang berkaitan dengan “berintegritas dan berteori” dan “kurang perhatian terhadap pengharapan masyarakat”. Kekuatan dari penemuan dalam mendukung hipotesisnya bidurangi oleh penemuan bahwa beberapa respon Rorschach yang seharusnya membedakan dua kelompok tersebut; faktanya, tidak ada perbedaan Rorschach yang ditemukan antara dua kelompok tersebut pada sejumlah respon umum dan persentasi dari respon domestik. Perbedaan usia pada saat pemilihan kejuruan dapat dijelaskan pada sensitifitas terhadap pengharapan sosial. Contohnya, akuntansi adalah pekerjaan yang ‘tampak’ jika dibandingkan dengan menulis, yang mana lebih terlihat hasilnya pada awal-awal tahun pemilihan. Rorschach menunjukkan bahwa akuntan lebih terkontrol secara emosional dibandingkan penulis, dan penulis lebih sensitif daripada akuntan, tetapi Bender-Gestalt tidak mendukung pengharapan tersebut.
Segal membuat beberapa prediksi tentang perbedaan lain dalam perilaku antar penulis dan akuntan. Ia memprediksi bahwa akuntan akan lebih memiliki pertahanan kompulsif daripada penulis, sehingga penulis akan menunjukkan respon yang lebih bersifat tidak ramah daripada akuntan pada tes tersebut, bahwa penulis akan lebih mampu untuk menghadapi ambiguitas lebih baik dari akuntan, bahwa penulis akan lebih terampil dalam menangani situasi emosional yang kompleks dibanding akuntan, dan protokol tes pada akuntan akan menunjukkan identifikasi yang kasar dan menakutkan, sementara penulis akan menunjukkan usaha untuk “melengkapi identifikasi ganda”. Dengan merujuk pada hipotesis ini, hasil Rorschach menunjukkan bahwa penulis tidak ramah jika dibandingkan dengan akuntan dan merke lebih dapat mengendalikan emosi dan situasi ambigu lebih baik daripada akuntan. selain itu ada beberapa bukti bahwa akuntan memiliki identifikasi yang keras dan menakutkan. hal ini diperoleh dari otobiografi yang mengungkapkan bahwa pengaruh pekerjaan yang paling signifikan adalah figur orang dewasa.Diharapkan bahwa penulis akan memiliki banyak pilihan pekerjaan berbeda dibanding akuntan, sebagai refleksi dari usaha untuk mengimplementasikan “identifikasi ganda”-nya. Bagaimanapun, tidak ditemukan adanya perbedaan; mungkin, seperti yang Segal utarakan, karena kebimbangan pilihan karir dalam populasi orang dewasa pada umumnya menyamarkan perbedaan antara akuntan dan penulis.
Segal menyimpulkan bahwa secara umum hasilnya konsisten dengan model psikoanalitik dari pilhan karir yang ia temukan. bagaimanapun, beberapa pertanyaan muncul mengenai darimana data yang diambil oleh Segal dan bahkan mengenai data-data itu sendiri. Seperti yang disebutkan sebelumnya, asumsi bahwa tingkat keprihatinan sosial pada individu direfleksikan pada umur ketika pemilihan karir patut dipertanyakan. Menggunakan Rorschach untuk mengesahkan hipotesis mengenai perkembangan kepribadian juga dipertanyakan, dengan meghargai realitas dan validitas dari instrumen pada riset, ditambah penghargaan terhadap dasar patologikal dari Rorschach sebagai lawan dari proses yang relatif normal pada pemilihan kejuruan. Menggunakan siswa sebagai sampel pastinya tepat, akan tetapi menjadikan siswa sebagai karir dalam beberapa hal, kekuatan dari hasilnya mungkin akan bertambah dengan menggunakan akuntan dan penulis sebagai sampel. Bagaimanapun, kecaman tersebut mengisyaratkan bahwa Segal hanya mampu menemukan sedikit perbedaan antara akuntan dan penulis. Akhirnya, pertanyaan yang paling mendasar adalah mengapa orang-orang yang nyatanya menjadi akuntan, ketika anak-anak, harus berjuang untuk menyenangkan orang tuanya sementara pemberontakan penulis tidak pernah benar-benar dirubah ataupun dipatahkan.
Pada studi yang lain, Segal dan Szabo (1964) menguji kembali hipotesis yang menyatakan bahwa mahasiswa akuntansi memiliki identifikasi yang kasar dan menakutkan dan mahasiswa menulis, kebalikannya, mencoba untuk melengkapi identifikasi ganda pada pilihan profesional mereka. Lima belas siswa akuntansi dan lima belas siswa penulisan kreatif kembali digunakan sebagai subjek. Mereka diharuskan untuk mengambil Sentence Completion Test (Tes Penyelesaian Kalimat) yang termasuk enam belas jenis yang relevan dengan hipotesis yang sedang diujikan. Diprediksikan bahwa mahasiswa akuntansi akan lebih memiliki sikap yang positif terhadap orang tuanya bertolak belakang dengan sikap negatif yang ditunjukkan oleh siswa penulisan kreatif. Selain itu, diprediksikan bahwa siswa akuntansi akan mengekspresikan sikap baik terhadap orang lain dibandingkan dengan apa yang akan dilakukan oleh siswa menulis. Respon terhadap enam belas buah penyelesaian yang relevan mendukung kedua prediksi tersebut. Penemuan ini lebih memiliki hasil yang valid dibanding data Rorschach, tetapi ada jarak yang sukup jauh dari teori psikoanalitik dan dasar hipotesis mengenai perbedaan antara identifikasi dari mahasiswa akuntansi dan penulisan kreatif.
Penyelidikan yang lain (White, 1963) mempelajari perilaku personel pegawai administrasi bank dengan merujuk pada hipotesis umum Segal dimana prinsip dari kepribadian berhubungan dengan pilihan kejuruan. Dengan mempelajari tiga kelompok subjek –dua kelompok personel pegawai administrasi bank yang berpengalaman dan satu kelompok kontrol dari pelamar kerja di bank (tidak hanya untuk pegawai administrasi) – White menanyakan dua pertanyaan: “Jika Anda bukan manusia, Anda akan terlihat seperti apa? Mengapa?” dan “Jika Anda bukan manusia, Anda tidak akan terlihat seperti apa? Mengapa?” hasilnya menunjukkan bahwa pegawai yang berpengalaman menyatakan “kotor, tidak rapi, menjijikan, berlumpur, menular dan dekil,” sedangkan kelompok kontrol memilih objek yang dimensinya tidak relevan dengan kebersihan. White menyimpulkan bahwa sifat kebersihan sangatlah penting bagi pegawai kantor, penemuan yang konsisten dengan psikoanalitik yang berdasrkan pada pegawai kantor bersifat kompulsif.
Pada studi yang lain mengenai hubungna antara kepribadian dan karir berdasrkan teori analitik, Weinstein (1953) memprediksikan bahwa pengacara, insinyur dan pekerja sosial akan berbeda pada tatakrama berbicara yang sistematis dan karakter. Ia berhipotesis bahwa insinyur lebih mudah mengingat dibandingkan pengacara dan pekerja sosial, sedangkan pengacara lebih agresif secara oral daripada insinyur dan pekerja sosial, sedangkan pekerja sosial lebih mau menerima daripada pengacar dan insinyur, dan pengacara juga insinyur lebih pemaksa daripada pekerja sosial. dengan menggunakan Q-teknik, para subjek diharuskan untuk membuat penilaian terhadap 40 jenis perbuatan dan 40 jenis perkataan sebagai relevansi dari idaman diri mereka dan juga diri mereka yang sebenarnya. Jenis-jenis tersebut didasarkan pada klasifikasi Weinstein (1963) yang mendeskripsikan perilaku pada literature psikologi. Subjeknya adalah 20 mahasiswa hukum, 20 mahasiswa sosial dan 20 mahasiswa teknik senior; sampel tersebut tidak disamakan tetapi heterogen dalam hal umur dan latar belakang sosial ekonomi.
Weinstein menyimpulkan dari Q-sorts bahwa kebanyakan harapannya mengenai karakteristik kepribadian dibawah studi telah didukung. Ia menemukan bahwa perlakuan secara perbuatan dan perkataan menjadi faktor yang memotivasi pada saat pemilihan karir, walaupun tidak ada bukti yang mendukung bagaimana atau dalam kondisi apa perlakuan ini dapat dikembangkan. Penjelasan yang lain pada perbedaan Q-sorts dari insinyur, pengacara dan pekerja sosial dapat dikemukakan, dimana menjadi tidak berlaku pada hasil studinya.
Alasannya karena berbagai macam pekerjaan mengharuskan adanya aktifitas kerja yang berbeda yang menawarkan bermacam potensial kebutuhan dan kepuasan, dan pengalaman masa kecil memepengaruhi perkembangan kebutuhan tersebut, Nachmann (1960), menggunakan kerangka analitik, menilai pertanyaan mengenai perbedaan kepribadian antara pengacara, dokter gigi, dan pekerja sosial. Satu aspek perilaku yang sebaiknya membedakan tiga kelompok kerja ini adalah sikap mereka terhadap perilaku agresif. Saat bekerja, pengacara harus agresif secara verbal, sedangkan pekerja sosial tidak diizinkan untuk mengekspresikan permusuhan dan agresifitas dalam pekerjaannya. Dokter gigi, di sisi yang lain, sangat agresif secara fisik dalam mengertak, mengebor, memotong dan memberikan kesakitan yang sudah menjadi sifat dalam pekerjaannya. Hubungan antara tiga profesi dan privasi adalah perbedaan yang lain lagi. Pengacara diizinkan untuk memiliki “hak ingin tahu yang istimewa” dalam beberapa aspek kehidupan klien mereka. Pekerja sosial, bahkan lebih dari pengacara, diperbolehkan untuk mengakses dengan tidak dibatasi oleh bagian yang paling privat dari kehidupan kliennya, akan tetapi masih pada tingkat kepasifan. Dokter gigi diizinkan untuk ‘berkawan’ dengan mulut, yang mana salah satu bagian privat tubuh. Contoh perbedaan pekerjaan di atas, dalam hal analitik, yang membawa Nachmann untuk memperkirakan perbedaan yang signifikan antara pengalaman masa kecil dari tiga kelompok pekerjaan tersebut.
Sejumlah hipotesis mengenai pengalaman awal telah diuji dengan data yang didapat sebelumnya melalui wawancara dengan 20 lulusan sarjana yang mewakili tiap tiga kelompok tersebut. Kebanyakan dari hipotesis tersebut mendapat dukungan. Nachmann menemukan gerakkan agresif lebih diterima pada keluarga pengacara dan pekerja sosial dan sifat menekan pada keluarga dokter gigi. Ia juga menemukan bahwa pada keluarga pengacara dan dokter gigi, para ayah lebih dominan dan maskulin, disiplin yang lebih maskulin, ketakutan ditekankan dalam keluarga pengacara, sedangkan kepatuhan pada kekuasaan dalam keluarga dokter gigi. Hal ini menjadi bertolak belakang pada keluarga pekerja sosial, dimana ibu lebih kuat dan dominan, sedangkan ayahnya lebih lemah bahkan tidak ada, dan disiplinnya kurang askulin. Ayah dari pengacara lebih mengatur secara fisik dan emosional jika dibandingkan dengan ayah dari dokter gigi, dan figur lelaki yang kuat penting untuk dipeihara pada masa kecil pengacara dibandingkan pada masa kecil dokter gigi atau pekerja sosial. Atmosfir tempat tinggal pengacara lebih hangat dan menstimulasi kemampuan verbal prasekolah, rasa ingin tahu dan perkembangan intelektual. hal ini sangat bertentangan dengan atmosfir tempat tinggal dokter gigi, dimana kesopanan dan memegang teguh adat lebih dominan dan kehangatan kurang dominan, kemampuan verbal prasekolah, perkembangan intelektual dan rasa ingin tahu kurang ditumbuhkan, dan keunggulan fisik lebih dihargai dibandingkan dengan yang terjadi pada keluarga pengacara atau pekerja sosial. Pengalaman awal pekerja sosial termasuk trauma perampasan hak yang hebat sampai pada umur dua tahun dan penekanan pada keprihatinan terhadap perasaan dan penderitaan orang lain; pengacara mengalami sedikit trauma hebat pada umur selanjutnya dan keprihatinan yang kecil terhadap orang lain, sedangkan dokter gigi tidak memilik trauma, sedikit keprihatinan terhadap orang lain dan mengalami kejadian yang memfokuskan perhatian kedalam tubuhnya sendiri, sedangkan pengacara dan pekerja sosial tidak mengalaminya. Satu-satunya hipotesis yang tidak mendapat dukungan –bahwa rasa ingin tahu seksual tidak tercukupkan di tiap kelompok– paling mendapat penolakan terutama pada dokter gigi; pertanyaan ini mungkin dibaurkan oleh fakta bahwa sedikit generasi orang yang memiliki cukup pendidikan seksual. Dari hasil tersebut, terbukti bahwa penemuan Nachmann sangat mendukung kegunaan konsep psikoanaliatik dalam menjelaskan perbedaan kepribadian melalui pengalaman masa kecil sedikitnya tiga kelompok pekerjaan yang ia pelajari. Meskipun demikian, seperti studi terdahulu, jawaban dari subjek tersebut lebih dipengaruhi oleh kejadian terbaru dari hidup mereka dibandingkan kejaian masa kecil mempengaruhi perilaku mereka sekarang.
D. Konsep Identifikasi dalam Pemilihan Karir
Identifikasi adalah konsep psikoanalitik yang penting dan sama pentingnya secara analitik berdasarkan teori pilihan karir. Crites (1962) telah mengkombinasikan aliran pemikiran analitik dan kejuruan pada studi terkini yang menyelidiki hubungan antara perkembangan ketertarikan pekerjaan dengan identifikasi orang tua. Dengan pertimbangan hasil identifikasi dari perwujudan salah satu nilai dan sikap individu terhadap orang lain, Crites berhipotesa bahwa tingkatan dari identifikasi orang tua akan direfleksikan pada pola minat dalam keturunannya. Lebih jauh lagi, jenis kelamin orang tua secara dominan mengidentifikasi, yang nantinya terefleksi pada profil minat para siswa. pada identifikasi mixed-sex, Crites menganjurkan bahwa karir dalam pekerjaan sosial, sebagai contoh, menyediakan tempat yang sesuai karena pekerja sosial mewujudkan baik sifat stereotipe maskulin maupun feminin. Pada akhirnya, kombinasi kedua jenis kelamin oang tua dan tingkat identifikasi sebaiknya menghasilkan pola minat tertentu, yang akan merefleksikan interaksi relevan dari ketertarikan maskulin-feminin untuk individu itu sendiri.
Dengan menggunakan 350 subjek laki-laki, yang selanjutnya dibagi menjadi tiga kelompok (100 klien pendidikan kejuruan pada pusat konseling universitas, 100 klien pendidikan kejuruan sebagai kelompok tiruan dan 150 nonklien sebagai kelompok umum), Crites menilai jenis, tingkatan dan pola identifikasi orang tua dengan menggunakan respon subjek sampai penilaian perbedaan semantik pada “diri”, “ayah” dan “ibu” dalam sembilan skala. Skala tersebut merepresentasikan potensi, aktifitas dan dimensi evaluasi terhadap pengertian. Pola minat dianalisa oleh teknik analisis pola Stephenson (1961) seperti yang diaplikasikan dalam Strong Vocational Interset Blank (1943).
Hasilnya mengidentifikasikan bahwa tingkatan identifikasi terhadap ayah dihubungkan dengan pola minat pada SVIB, tetapi tidak pada tingkatan identifikasi dengan ibu. Anak laki-laki lebih kuat mengidentifikasi ayah dengan nilai tinggi pada masalah bisnis, anak laki-laki dengan sedikit identifikasi terhadap ayahnya memiliki nilai minat yang tinggi pada lingkup literatur, sedangkan anak laki-laki yang identifikasi terhadap ayahnya sedang, memiliki nilai yang tinggi dalam kelompok fisik dan ilmu pengetahuan alam. Menariknya, telah diamati bahwa selama beberapa identifikasi dengan orang tua terjadi, maka pola minat yang telah diprediksipun muncul. Jadi, pria dengan identifikasi pria memiliki minat dalam bidang bisnis dan pria dengan identifkasi campuran memiliki minat pada keterampilan teknik dan verbal. Penemuan ini relevan dengan hipotesis ketiga, juga sesuai harapan: pola minat konsisten dengan tingkatan dan jenis identifikasi orang tua.
Steimel dan Suziedelis (1963) menguji hipotesis bahwa dominansi dari pengaruh salah satu orang tua akan dikaitkan dengan skor Strong Vocational Interset Blank. Harapan itu didasarkan pada model yang menganjurkan bahwa peran dari identifikasi orang tua pada perkembangan minat dilakukan. Mereka memprediksi bahwa pengaruh ayah pada mahasiswa laki-laki akan berbeda pola minatnya pada SVIB dibandingkan dengan yang mendapat pengaruh dari ibu. Untuk menguji prediksi ini, mereka memberikan instrumen pengaruh orang tua kepada 198 mahasiswa angkatan pertama dan kedua serta 84 subjek dimana rezpon menempatkan mereka pada golongan yang mendapat pengaruh orang tua secara ekstrem. Skor SVIB (43 skala pekerjaan dan 3 skala nonpekerjaan) dari kedua kelompok dibandingkan. Anak laki-laki yang memiliki pengaruh ayah secara signifikan lebih tinggi daripada anak laki-laki dengan pengaruh ibu pada satu skala pekerjaan dan dua skala nonpekerjaan (terutama insinyur, ahli kimia, manager produksi, penerbang, gurui lmu pengetahuan dan metematika, pekerja kehutanan, direktur YMCA, direktur personalia, adminstartor public, CPA senior, akuntan, interest maturity dan masculinity), sedangkan anak laki-laki dengan pengaruh ibu lebih tinggi pada skala pekerjaan untuk penjual real estate, manajer periklanan dan pengacara. Ketika Steimel dan Suziedelis tidak memperkirakan arah dimana perbedaan akan terjadi untuk skala spesifik, mereka mengamati bahwa perbedaan yang terjadi konsisten dengan perbedaan jenis kelamin. Anak laki-laki dengan pengaruh ayah memiliki skor yang lebih tinggi untuk pekerjaan maskulin, dan laki-laki dengan pengaruh ibu memiliki skor yang lebih tinggi pada karir yang lebih feminin.
Steimel dan Suziedelis melaporan beberapa penemuan menarik lainya. Subjek dengan pengaruh ayah lebih cenderung memilih jurusan perkuliahan pada ilmu pengetahuan pasti, sedangkan subjek dengan pengaruh ibu lebih bersandar pada seni bebas. Lebih banyak subjek dengan pengaruh ayah ikut serta dalam pekerjaan pada level profesional dan mereka lebih berpendidikan daripada ayah pada kelompok dengan pengaruh ibu. Lagi pula, ayah dari subjek dengan pengaruh ayah rata-rata berpendidikan formal dua tahun lebih lama daripada ibu pada subjek tersebut, sedangkan orang tua dari subjek dengan pengaruh ibu kira-kira sama dalam pencapaian pendidikannya.
Pertanyaan menarik mungkin diajukan berdasarkan penemuan ini. Apakah pengaruh ayah berkaitan dengan status dan penghargaan terhadap ayah oleh anaknya dikarenakan profesi atau prestasi akademiknya, atau apakah ayah dengan pendidikan yang baik memikul peran yang lebih besar dalam mempengaruhi anak laki-lakinya iakarenakan pengalamannya yang lebih banyak? Walaupun Steimel dan Suziedelis tidak menjawab pertanyaan ini melalui data mereka, mereka mendemonstrasikan bahwa persepsi dari pengaruh orang tua sangan jelas berkaitan dengan minat kejuruan.
Pada studi Erikson (1950) hipotesis yang menyatakan bahwa ibu pada budaya Amerika menyampaikan nilai budaya secara menyeluruh terhadap anak laki-lakinya, Stewart (1959) menguji hipotesis dimana skor SVIB dari pria dewasa dikaitkan dengan tingkat identifikasi mereka terhadap ibunya. Berdasarkan pemikiran bahwa individu mengembangkan nilai-nilai mereka dengan mengamati individu yang mereka hormati dan bahwa nilai-nilai tersebut akan direfleksikan pada penemuan minat, Stewart memiliki 97 anak laki-laki dari sekolah menengah dan tinggi yang menampilkan sejumlah Q-sorts mengenai konsep dirinya, konsep diri yang ideal menurut mereka dan konsep mereka mengenai pemikiran terhadap ibunya. Lima puluh empat ibu dari anak lelaki pada sampel siap untuk menampilkan Q-sorts dalam konsep mereka mengenai seperti apa anak lelaki mereka dan anak lelaki seperti apa yang mereka inginkan. Sebagai tambahan untuk Q-sorts, tiap subjek siswa mengambil SVIB dan menjawab kuisioner singkat yang berhubungan dengan aspirasi kejuruannya.
Stewart menemukan bahwa, pada umumnya, anak laki-laki yang sedikit sensitif terhadap ibu yang ideal untuk mereka dan kesensitifan ini membawa hasil pada beberapa perilaku yang menyenangkan terhadap ibunya. Para anak lelaki ini sadar akan penilaian ibunya terhadap mereka dan berbuat untuk menyenangkan mereka, atau menemukan bahwa penilaian ibunya konsisten dengan mereka dan oleh sebab itu dalam mengimplementasikan hasrat mereka sendiri, mereka berupaya untuk menyenangkan ibunya. Stewart juga menemukan bahwa skor Interest Maturity pada SVIB berkaitan dengan tingkat dimana anak lelaki menerima keiginan ibunya sebagai keinginan mereka sendiri. Hal ini, Stewart menambahkan, dikarenakan Interest Maturity dikorelasikan dengan sensitifitas sosial, yang kiranya dipelajari para anak lelaki dari ibunya. Semakin dekat identifikasi terhadap penilaian ibu, semakin besar penerimaan terhadap perilaku sensitif secara sosial dan semakin tinggi pula skor Interest Maturity-nya.
Juga konsisten dengan teori dari Erikson adalah penemuan yang menyatakan bahwa skor Maskulin-Feminin (MF) pada SVIB berhubungan dengan kesadaran anak lelaki terhadap anak lelaki idaman ibunya. Dalam penemuan yang tidak konsisten dengan teorinya, bagaimanapun, Stewart menemukan bahwa semakin dekat identifikasi anak lelaki dengan ibunya, semakin cenderung ia akan memiliki pola penolakan SVIB pada area maskulinnya. Sehingga, anak lelaki yang paling kuat menerima keinginan ibunya cenderung menolak pekerjaan maskulin. Bertolak belakang dengan penemuan ini adalah harapan Erikson bahwa ibu akan menyampaikan pemikiran maskulin yang ideal kepada anak lelakinya, barang kali berdasarkan rasa idealisnya dan mengambil ingatan dari sifat-sifat ayahnya. Malahan, penemuan Stewart mengisyaratkan bahwa si ibu akan menurunkan sikap femininnya.
Penemuan Crites (1962) dan Stewart (1959) sedikit berbeda, dimana Crites menemukan bahwa ayah lebih berpengaruh daripada ibu sebagai figur identifikasi dengan arti kejuruan untuk anak lelakinya, sedangkan Stewart menemukan bahwa ibu mempengaruhi pilihan anak lelakinya dengan menggunakan proses identifikasi. Tentunya Stewart tidak mempelajari perbandingan antara ibu dan ayah, sehingga terdapat kenumgkinan kekuatan dari pengaruh tersebut menjadi relatif, seperti yang telah disampaikan pada penemuan Crites, atauberubah seperti yang telah ditunjukkan Steimel dan Suziedelis.
White (1959) juga mempelajari hubungan antara nilai-nilai orang tua dan keturunannya, akan tetapi ia lebih mempelajari anak perempuan ketimbang anak laki-laki. Ia menguji hipotesis dimana orang tua menurunkan pemahaman feminin yang ideal terhadap anak perempuannya dengan cara menilai hubungan antara minat kejuruan, konsep diri dan identifikasi orang tua pada mahasiswi. Ia mengharuskan 81 mahasiswi angkatan pertama untuk menampilkan Q-sorts dari konsep diri, konsep ideal diri dan konsep mereka mengenai bagaimana seharusnya orang tua mereka. Di sisi lain, tiap anak perempuan mengambil SVIB dan memberikan beberapa informasi personal. Tiga puluh empat orang tua diwawancarai, dan tiap pasang orang tua juga membuat Q-sorts dari anak perempuan mereka sesuai dengan keadaannya dan bagaimana seharusnya anak perempuannya menjadi ideal. Sehingga, desainnya sama seperti desain Stewart (1959).
White menemukan bahwa daftar yang dibuat wanita lebih mirip seperti ibunya daripad ayahnya pada kebanyakan diri sendiri, diri ideal dan deskripsi orang tua yang ideal. Maka dari itu, terlihat bahwa wanita lebih mengenali ibunya daripada ayahnya. Selain itu, skor Feminity tinggi pada SVIB ditemukan pada wanita yang menunjukkan persetujuan yang lebih antara konsep diri dan konsep ideal diri, konsep orang tua sendiri dan konsep orang tua ideal, yang menunjukkan kecocokkan antara keidealan mereka dan keidealan orang tua mereka, dan yang memiliki orang tua yang keduanya masih hidup (apakah hidup bersama atau tidak) bertentangan dengan mereka yang salah satu orang tuanya telah meninggal.
Hershenson (1965) memperhitungkan konsep Erikson tentang identitas dengan persoalan mengenai persepsi diri dalam peran pada pekerjaan. Hershenson mengadakan kuesioner terhadap 162 mahasiswa junior Harvard untuk mengukur tingkatan saat dimana orang merasa pilihan pekerjaan mereka merefleksikan kemampuan, minat dan nilai yang mereka pegang, juga untuk menilai pandangan mereka mengeani peran yang dimainkan karir dalam kehidupan seseorang. Di antara pengamatan tersebut terdapat penemuan bahwa gengsi suatu pekerjaan memainkan peran penting untuk siswa dalam mempertahankan kemunculan atau orientasi keluar diri.
Pada aspek lain di dalam studi yang sama, Hershenson (1967) menguji hipotesis dimana tingkat pencapaian identitas kedewasaan sungguh-sungguh berkaitan secara menyeluruh sehinggu individu merasa dirinya sesuai dengan peran pekerjaan yang diharapkan. Hershenson juga memprediksi bahwa rasa mengenal identitas yang diraih oleh pada masa dewasa benar-benar berkaitan dengan tingkat enkulturasi. Walaupun hasilnya mendukung tiga hipotesis tersebut, data-datanya tidak cukup jelas untuk manjadikan Hershenson merasa percaya diri bahwa hipotesisnya didukung seperti halnya posisi Erikson yang telah diprediksikan.
Pada studi yang lain mengeani proses identifikasi dan pemilihan kejuruan, Sostek (1963) menemukan bahwa anak perempuan yang memilih pekerjaan seks-stereotipe lebih dikenal oleh ibunya dibandingkan dengan anak perempuan yang memilih pekerjaan maskulin-stereotipe. Ia juga menemukan bahwa anak laki-laki yang memilih pekerjaan “feminin” lebih dikenal ibunya dibandingkan anak lelaki yang memilih pekerjaan “maskulin”. pada akhirnya, ia melaporkan bahwa permepuan dan laki-laki memeilih pekerjaan “feminin” lebih dikenal oleh ibunya dibandingkan oleh ayahnya, sementara perempuan dan laki-laki yang memilih pekerjaan maskulin lebih dikenal ayahnya ketimbang oleh ibunya. Hal yang penting dalam penemuannya adalah identifikasi difasilitasi oleh kehangatan orang tua, tanpa memperhatikan jenis kelamin. Sehingga, keinginan orang tua untuk menjadi model bagi anaknya dapat meningkatkan kemungkinan berturut-turut dengan membangkitkan kehangatan, hubungan yang dekat antara orang tua dan anak.
Tipton (1966) menguji beberpa aspek dari peran identifikasi pada pemilihan pekerjaan. Ia membandingkan frekuensi memiliki orang tua yang menjadi guru pada jurusan pendidikan dan nonpendidikan. Tidak ditemukan adanya perbedaan. ketika kedua kelompok siswa dibandingkan mengenai tingkat identifikasi dengan gurunya dengan memakai respon terhadap skala penilaian, Tipton menemukan bahwa jurusan pendidikan menunjukkan identifikasi yang lebih kuat dengan model guru dibandingkan jurusan nonpendidikan. Hipotesis Malnig (1967) yang menyatakan bahwa beberpa individu mungkin menghindari kompetisi secara langsung dengan orang tuanya, setelah didiskusikan sebelumnya, menarik untuk dipertimbangkan dilihat dari kegagalan Tipton untuk menemukan keturunan dari para guru yang terwakili dalam program pelatihan guru.
Heilbrun (1969) menghitung indeks persamaan antara keturunan dan seks yang sama dengan orangtuanya lebih dari 15 dimensi kepribadian. Karena terdapat kemungkinan jenis kepribadiannya maskulin ataupun feminin, individu sangat berpotensial mengenali ayah “maskulin” atau “feminin”, atau ibu “maskulin” atau “feminin”. Hasilnya, berdasarkan 47 mahasiswa dan 33 mahasiswi klien pusat konseling menunjukkan bahwa identifikasi anak laki-laki terhadap ayahnya berkaitan dengan minat kejuruan, identifikasi anak laki-laki terhadap figur maskulin (baik ayah atau ibu) diasosiasikan dengan penolakkan minat karir, dan identifikasi anak perempuan terhadap model feminin dari kedua seks dikaitkan dengan penolakkan sejumlah karir pada SVIB. Heilbrun menyimpulkan bahwa identifikasi terhadap ayah “maskulin” meningkatkan kristalisasi dari minat kejuruan positif dan penolakkan pada diri anak, sedangkan identifikasi terhadap ibu “feminin” berdampak sebaliknya. Bagaimanapun, lebih sering terjadi, hasilnya tidak terlalu meyakinkan untuk wanita dibandingkan untuk pria.
Pada jenis studi yang serupa, Hollender (1972) meneliti persamaan antara profil SVIB dari 31 mahasiswa dan 28 siswa laki-laki sekolah menengah atas beserta orangtuanya. Tidak ada kelompok siswa yang menunjukkan banyak korelasi antara anak laki-laki dan orangtuanya pada SVIB, berbeda dengan temuan pada hasil studi yang lain.
Hasil dari studi tersebut menyatakan bahwa identifkasi terhadap orang tua atau model orang dewasa secara tidak langsung menjadi penting dalam proses pemilihan kejuruan, tetapi tidak ditunjukkan adanya hubungan langsung antara keduanya, dan temuan dari studi ini tidak seluruhnya konsisten satu sama lain. Sayangnya, ukuran dari identifikasi tersebut tidak begiru kuat, dan hal ini hampir selalu dikaitkan dengan penemuan skor minat daripada perilaku yang lain, seperti pemilihan atau pencapaian kejuruan. Bahkan pernyataan dalam pemilihan kejuruan akan lebih menampakkan kejelasan pada hubungan antara identifikasi dan pilihan kejuruan daripada skor dalam inventaris minat.
Pada masalah rumit selanjutnya, kebanyakan studi mengenai identifikasi orang tua dan dampaknya pada minat karir anak telah dituliskan dalam hal sikap dan perilaku seks stereotipe “maskulin” dan “feminin”. Penelitian dan pemikiran dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan semakin kurangnya keabsahan dari suatu ide, seperti men-stereotipekan seks adalah benar, memunculkan pertanyaan yang lebih jauh baik mengenai relevansi dan keabsahan dari penelitian yang telah dilaporkan di atas.
Small (1953), menyelidiki perbedaan kepribadian yang berpengaruh pada pemilihan kejuruan, mengajukan bahwa aspek tertentu pada keputusan karir didasarkan pada fungsi ego. Ia berhipotesis bahwa ego yang sehat, selama dalam kontak yang dekat dengan kenyataan, akan dapat menunda kegembiraan yang lebih besar dibandingkan ego yang lemah, yang mana lebih jauh terpisah dari kenyataan. Karena penyesuaian diri adalah bagian dari fungsi kekuatan ego, dan berdasarkan pada pertimbangannya, pilihan kejuruan adalah sebagian dari kekuatan ego, faktor realitas pada pilihan kejuruan berkaitan dengan fungsi ego. Sehingga, ia memprediksi bahwa pria dewasa yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan mengungkapkan kenyataan pada pilihan pekerjaan pertama, dan yang tidak realistis pada pilihan kedua, sedangkan kebalikannya adalah anak laki-laki yang memiliki penyesuaian diri yang buruk.
Untuk menguji prediksi ini, ia mempelajari pemilihan dan alasan pekerjaan pada pemilihan 50 pasang anak laki-laki berumur 15-19 tahun, disesuaikan dengan seluruh latar belakang ciri-ciri yang signifikan kecuali penyesuaian diri. Hasilnya mendukung hipotesis tersebut; pilihan anak laki-laki yang berpenyesuaian diri baik merefleksikan partisipasi dari lingkungannya, sedangkan pilihan anak laki-laki yang kurang berpenyesuaian diri merefleksikan sikap yang tak terpengaruh oleh lingkungan dan adanya kecenderungan untuk menunjukkan tindakan dan perasaan yang berbentuk bantahan. Penemuan ini menuntun Small pada kesimpulan bahwa konseling kejuruan sangat efektif untuk orang yang memiliki ego yang kuat karena mereka berorientasi pada kenyataan, dan diperlukan psikoterapi bagi mereka yang memiliki ego yang lemah sebelum mereka dapat mengambil pelajaran dari konseling kejuruan atau membuat rencana kejuruan yang realistis. Small menyimpulkan dengan hipotesis yang provokatif bahwa penjuruan untuk orang yang belum memutuskan tidak akan mampu membuat mereka berkejuruan, karena mereka masih menyimpan fantasinya dan tidak peduli kehilangan setiap alternative karirnya.
Very dan Zannini (1969), menguji hipotesis Adlerian yang menyatakan bahwa kelahiran mempengaruhi perilaku., mereka memprediksi bahwa sejumlah ahli kecantikan akan dilahirkan kedua karena adanya persamaan antara sifat kepribadian dari yang terlahir kedua (seperti santai, mencari keharmonisan dan sederhana, menurut Adler) dan ahli kecantikan yang sukses. Sebanyak 210 ahli kecantikan yang ditemukan oleh Very dan Zannini, faktanya, dilahirkan kedua.
Studi terakhir dari relevansi sampai pada pandangan psikoanalitik terhadap pilihan kejuruan adalah penyelidikan dari Crites (1960) mengenai hubungan antara kekeuatan ego dan pilihan kejuruan. Secara khusus, ia memberikan perhatian kepada hubungan antara kekuatan ego dan level minat pekerjaan juga antara kekuatan ego dengan tingkat dimana minat tersebut dipolakan. Crites berasumsi bahwa ego yang kuat akan berdampak pada pola yang lebih jelas pada minat kejuruan di tingkat yang lebih profesional daripada yang terjadi pada ego yang lemah. Ia juga memprediksi bahwa siswa yang lebih tua, memiliki ego yang lebih kuat sebagai akibat dari bertambahnya usia, akan memiliki pola minat yang lebih jelas. Menggunakan skala level pekerjaan (Occupational Level/OL) SVIB dan skor A danB+ pada SVIB sebagai ukuran pada level dan pemolaan, berturut-turut, dan skala ES pada MMPI sebagai pengukuran kekuatan ego (Barron, 1953), Crites menguji hipotesisnya pada 100 mahasiswa yang telah pergi ke pusat konseling untuk konseling kejuruan-pendidikan.
Hasilnya gagal mendukung hipotesis dimana level pekerjaan yang lebih tinggi berkaitan dengan ego yang kuat, tetapi data tersebut mendukung hipotesis kedua, bahwa pemolaan minat berkaitan dengan kekuatan ego pada mahasiswa yang lebih tua tetapi tidak untuk yang lebih muda. Sayangnya untuk teori analtik, gambaran dari kedewasaan akan menjelaskan pemolaan minat pada orang dewasa yang lebih tua daripada yang lebih muda, khususnya menggunakan Strong Vocational Interest Blank, karena SVIB dikembangkan menggunakan pria dewasa sebagai standadisasi kelompok. Orang dewsa yang lebih tua akan memiliki pola minat yang lebih jelas dibandingkan yang lebih muda, karena mereka cenderung seperti kelompok standar.
Crites membuat beberapa saran untuk siswa konseling yang belum memiliki pola minat. Ia mengusulkan bahwa konseling pendidikan-kejuruan untuk siswa diawali dengan konseling pribadi yang terdapat tujuan perkembangan dari fungsi ego yang lebih sesuai. Untuk memenuhi tugas ini, pewawancara sebaiknya mengaplikasikan prosedur berdasarkan kombinasi dari teori pembelajaran dan psikoanalisis, hampir sama dengan saran yang dirumuskan oleh Dollard dan Miller (1950).
E. Evaluasi
Mempertimbangkan pertentangan profesi yang secara umum memegang pandangan psikoanaliatik terhadap konseling karir, terdapat banyak usaha untuk menguji hipotesis tersebut secara empiris mengenai pilihan kejuruanberakar dari pemikiran analitis. Tidak ada penyelidik yang berusaha untuk mengintegrasikan perilaku karir kedalam teori analitik secara lengkap; malahan usaha yang dibuat adalah untuk mengintegrasikan anatara teori analitik kedalam psikologi karir. Konsep pada kekuatan ego, identifikasi, dan perkembangan kepribadian pada umumnya telah diteliti secara cermat oleh para peneliti. Pada proses tersebut, kekuatan ego tampak telah dipelajari dengan sangat hati-hati dan sangat berhasil, identifikasi dengan kehati-hatian yang kurang dan dengan hasil alami yang kontradiksi, dan perkembangan kepribadian di dalam kerangka analitik yang terlalu luas dipelajari telah membiarkannya untuk menguasai penggunaan potensial dalam konseling.
Jenis-jenis metode penelitian yang meliputi penggunaan Q-sorts untuk menggambarkan sejumlah sifat dari subjek dan/atau orangtuanya dalam kombinasi dengan pola skor Strong Vocational Interest Blank. Terlihat bahwa lebih banyak hasil yang berarti yang dapat didapat melalui penggunaan pernyataan dari pemilihan kejuruan, seleksi kejuruan dan pencapaian kejuruan melalui penggunaan eksklusif skor SVIB. Kesulitan yang mencakup dalam mengharuskan subjek melakukan banyak Q-sorting jarang didiskusikan, tetapi subjek cenderung menjadi ceroboh ketika mereka melakukan sepertiga urutan pada 75 atau 100 jenis yang mendeskripsikan perilaku mereka atau avaluai orang lain menganai perilakunya. Ketika kebanyakan penyelidik melaporkan penemuan positif pada studi yang berdasrkan pada Q-sort, pertimbangan dalam kegunaan yang aktual dari tugas penelitian untuk para subjek harus diambil dalam mengevaluasi hasil studi.
Dalam hampir seluruh studi, dengan kemungkinan pengecualian dari hasil kerja Crites, ukuran sampel yang digunakan masih relatif kecil, dalam beberapa kasus sedikitnya hanya 15 orang per kelompok. Dimana tidak ada kesalahan di dalamnya dan jumlah sampel yang besar sulit didapatkan, generalisasi harus diambil dari penelitian yang terbatas. Keterbatasan seperti ini sangatlah serius karena penggandaan dari penelitian perkembangan kejuruan sulit untuk dicapai dan akhirnya sangant tidak biasa. Selanjutnya, sampalnya sendiri terkadang bukanlah jenis kelompok atau individu yang menjadi perhatian para konselor. Sulit untuk menyamakan mengenai populasi orang dewasa dari data yang berdasarkan sampel siswa. Pada waktu yang bersamaan, sampel siswa pada banyak kasus tidak merepresentasikan semua populasi yang ada di luar bagian sampel yang sedang dipelajari, bahkan pada siswa yang lain. Mahasiswa, terutama mahasiswa tingkat tinggi, tidak sama dengan remaja sekolah menegnah yang tidak berencana untuk masuk kuliah.
F. Implikasi Bagi Konseling
Pandangan psikoanalitik tidak menyarankan teknik khusus untuk psikologi karir seperti yang digunakan pada psikoanalitik pada umumnya. Pendapat yang diutarakan bahwa pilihan karir adalah salah satu dari beberapa keputusan penting yang harus dibuat dalam kehidupan mereka. Fungsi individu secara normal sekiranya mampu untuk mengidentifikasi pentingnya faktor karir yang akan menuntun kepada keputusan karir, dan akan mampu mengembangkan sumber untuk mengimplementasikan keputusan tersebut. Tentunya hal ini akan diingat bahwa setengah pengertian dari Freud tentang orang yang berperilaku baik adalah yang memiliki kemampuan untuk bekerja secara efektif.
Pada orang yang berperilaku tidak teratur, pemilihan karir akan terganggu sejalan dengan pertanggungjawaban perilaku major yang lain. Untuk individu yang kurang beruntung seperti itu, kedudukan psikoanalitik menyatakan tidak ada jalan pintas untuk analisis intensif yang didesain untuk mengidentifikasi hambatan dalam perkembangan, melepaskannya, dan mempercepat proses menuju kedewasaan. Sedikit psikolog ortodoks dari analitik persuasi menganjurkan bahwa konsep analitik mungkin digunakan dalam memahami motif dan sejarah perkembangan di balik pemilihan karir. Proposal Bordin, Nachmann dan Segal (1963), contohnya, dapat berguna baik dalam informasi pekerjaan dan juga dalam diagnostik perbuatan yang memberikan kerangka untuk melaksanakan wawancara untuk menilai kesesuaian kejuruan.
Satu proposal dari Crites (1962) mungkin bernada seperti konsep analitik yang potensial untuk konseling kejuruan. Dengan merujuk pada pertanyaan dari kekuatan ego dan hubungannya dengan masalah pilihan kejuruan, crites mempertanyakan kemungkinan percobaan untuk menolong klien mengembangkan identifkasi yang sesuai dalam dua atau tiga jam wawancara konseling kejuruan. Jika kekuatan ego pada kenyataannya merupakan variabel yang penting dalam perkembangan perilaku kejuruan, saran dari Crites adalah konseling kejuruan harus memberikan perhatian untuk memperkuat ego melalui penggunaan metode konseling personal daripada melalui penekanan pada informasi pekerjaan dan teknik dari pendekatan trait-factor.
Crites berbicara tentang implikasi konseling sebagai pendekatan psikodinamis untuk perkembangan karir (Crites, 1981). Karena hasil kerja Bordin diaplikasikan dengan sangat baik, Crites menggunakannya sebagai contoh. Proses diagnostik secara psikodinamis berdasrkan konseling karir dibagi menjadi beberapa kategori. Pertama, ada yang disebut sebagai kesulitan sintetis (synthetic difficulties), dimana terdapat patologi minimal dan konflik dan dimana masalah utamanya adalah sesuatu yang berhubungan dengan mensintesis pilihan atau mencapai kejelasan kognitif. Kedua, masalah identitas (identity problems), dimana terdapat kesulitan bawah sadar atau setengah sadar dalam pembentukan konsep diri yang dapat dilaksanakan. Ketiga, masalah yang disebut konflik gratifikasi (gratification conflicts) yang menumbuhkan pandangan bahwa pekerjaan menyediakan kesempatan tersendiri satu sama lain untuk gratifikasi psikologi. Selanjutnya adalah mengubah orientasi masalah, dimana masalah harus dihadapi oleh klien dengan bidang atau pekerjan tertentu dan usaha untuk mengubah pekerjaan tersebut ke dalam bentuk lain. Selanjutnya adalah masalah lahirnya patologi, yang secara jelas akan menggangu funsi kerja dikarenakan gejala patologi. Akhirnya, terdapat dua hasil yang tidak terklasifikasikan, satu masalah yang harus ditangani yang melibatkan konflik motivasi dan masalah yang tidak melibatkan konflik motivasi.
Setelah melakukan diagnosa asal masalah, proses konseling meliputi langkah yang disebut eksplorasi (exploration) dan pengaturan perjanjian (setting contract), keputusan dari sifat kritis, yang bukan hanya menyertakan keputusan karir tapi juga alternatif untuk melakukan konseling. Pada akhirnya, proses perubahannya sendiri akan terlibat, termasuk perubahan kepribadian dan karir. Khususnya pada pendekatan psikoanalitik yang digambarkan oleh Crites, tes interpretasi yang secara aktif melibatkan klien dalam pemilihan dan penafsiran instrumen. Informasi pekerjaan juga digunakan berdasarkan interpretasi psikoanalitik dari fungsi pekerjaan seperti perumusan yang direpresentasikan oleh Bordin, Nachmann dan Segal (1963) yang telah disebutkan sebelumnya.
Kekuatan utama dari pendekatan psikoanalitik terhadap pemilihan karir bersandar pada pemahaman dan integritasnya yang berkenaan dengan teori psikologi pada umumnya. Bagaimanapun juga, untuk mengimbangi sifat positif ini, akan terdapat sifat negatif.
Pertama, karena teori psikoanalitik pada intinya berkenaan dengan psikopatologi, proses yang sangat normal dari pemilihan kejuruan harus ditambahkan kedalam teori sebagai bahan renungan, meskipun adanya penekanan bahwa Freud memainkankan peran dalam kehidupan yang memuaskan. Hasil pemikiran Freud memang penting, tetapi ia tidak berkomentar lebih lanjut. Seperti keterbatasan yang dapat disamakan dengan kritik yang dibuat mengenai teori Ginzberg: perkembangan konsep pemilihan karir dari teori psikopatologi sama dengan perkembangan teori penyesuaian pernikahan yang hanya berdasar pada data yang tersedia mengenai pasangan yang telah bercerai.
Keterbatasan yang sangat serius secara analitis yang berdasar pada pemikiran mengenai pemilihan karir adalah terbatasnya peran bakat yang dimainkan dalam pemikiran psikoanalitik. Sementara sangat besar kemungkinan bahwa psikologi terlalu menekankan peran bakat dalam teori karir, hal ini tampak tidak beralasan untuk mengabaikan timbal balik dari pengalaman orang lain yang dgunakan untuk menuntun mereka dalam memilih pekerjaan. Jika salah satu memilih untuk menggunakan konsep pencapaian karir sebagai kriteria dalam teori perkembangan karir, bakat akan diperlukan untuk memainkan peran yang lebih penting.
Masalah terakhir dalam pendekatan analitik untuuk penyeleksian kejuruan adalah kegagalan umum pada teori psikoanalitik yang menganggap kedudukan yang sedikit yang berkaitan dengan penjelasan dari perilaku, kesulitan untuk membenarkan secara eksperimen atau menyangkal konsep analitik. Karena konsep ini begitu berbelit-belit, data eksperimen terkadang konsisten dengan mereka akan tetapi pada saat yang sama dapat dijelaskan oleh gagasan lainyang lebih sederhana.
Sampai sekarang, model analitik hanya memberikan peran yang sedikit dalam psikologi karir, walaupun beberapa aspek telah diintegrasikan lebih jauh kedalam praktik dari psikologi karir, banyak dari metode dan gagasan psikoanalitik dijalinkan dengan psikologi (khususnya psikologi klinik) pada umumnya. Beberapa aspek pada pedekatan analitik sangat menarik dan memperkaya pemahaman perilaku karir tetapi yang lain, khususnya analisis ortodoks, sulit untuk mengaplikasikan konseling karir. Kelihatannya teori analitik akan berlanjut untuk mendesak sekeliling walaupun berdampak besar pada psikologi karir, akan tetapi hal itu tidak akan tampak seperti sesuatu yang baru, keras atau perumusan yang produktif dihasilkan dari bagian psikoanalitik ini.
Minggu, 29 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar