Selasa, 17 November 2009

INITIAL ASSESMENT IN COUNSELLING

INITIAL ASSESMENT IN COUNSELLING
(Asesmen Awal Dalam Konseling)

Konseli seringkali datang untuk berkonsultasi dengan informasi persoalan dan masalah terkini yang samar dan merupakan pendefinisian suatu gejala penyakit. Konselor sangat memerlukan keterampilan dalam mengatasi masalah-masalah yang terlihat samar ini dan harus bisa mengidentifikasi persoalan dan masalah yang relefan. Cormier and cormier (1998) berpendapat bahwa masalah itu jarang hanya berkaitan dengan satu faktor, biasanya bersifat multidmensionl, dan memiliki ciri khas terjadi dalam kontex sosial. Oleh karena itu, konselor perlu menguasai keterampilan awal asesmen untuk mengidentifikasi faktor yang berkaitan degan masalah konseli dalam suatu interaksi yang kompleks. Konseling akan cenderung lebih efektif ketika konselor mampu dengan cepat menangkap persoalan yang sedang terjadi. Sexton dan reknnya juga mengemukakan bahwa jika konselor bisa membangun dugaan yang positif selama proses cepat ini berlangsung, maka konseling akan lebih efektif. sebuah penelitian menemukan bahwa dugaan konseli tentang konseling sebelum mendaptkan pengaruh yang sangat kecil pada hasil akhir: bagaimanapun, dugaan bagi konseli dibangun selama sesi awal memiliki pegaruh yang signifikan pada hasilnya.

A. Wawancara Awal
Nelson (1983) mengemukakan bahwa wawancara adalah salah satu cara yang biasa dilakukan dalam strategi asesmen. Walaupun faktanya wawancara adalah suatu strategi asesmen yang lazim digunakan, tapi tidak mudah untuk membuatnya efektif. Pada kenyataannya garis pedoaman dan pelatihan perlu memperoleh informasi yang akurat dan sah dari sebuah wawancara. (Duley, cancelli, Kratochwill, Bergan dan Meredith. 1983)
Wawancara awal yang efektif adalah yang seimbang antara mengumpulkan informasi dan membangun sebuah hubungan yang therapeutik. Informasi yang terkumpul dalam wawancara awal
1. Informasi Yang Terkumpul Dalam Wawancara
informasi yang tekumpul akan merubah beberapa hal yang dipercayai dalam suatu lingkungan dan layanan yang disampaikan. Ada beberapa area penting bagi konselor untuk diteliti sebelum mulai tahapan perawatan dalam konseling diantaranya :
1. Haruskah orang ini melakukan konseling?
2. Apa persoalan atau masalah utamanya?
3. Apa perawatan yang paling efekif atau pendekatan konseling seperti apa untuk konseli ini?
4. Haruskah dia melibatkan anggota keluarga dalam konseling yang rumit?
5. Bisakah saya bekerja efektif dengan konseli ini?
6. Tipe hubungan yang seperti apa yang harus saya jalin dengan konseli ini?
7. Bagaimana caranya untuk mengevaluasi keefektifan konseling?
Area final dari penelitian konselor untuk menilai dalam tahap awal konseling adalah pada tahapan konseli mengalami perubahan proses. (See Prochask, Diclemente dan Norcross, 1992).
a. Informasi Demografis
Ciri khas dari informasi demografis adalah dikumpulkan dari kertas kerja suatu agen, atau sudah tersedia dalam organisasi itu seperti sekolah. Dalam situasi krisis informasi demografis perlu dikumpulkan berkaitan dengan pembuatan keputusan klinis.
b. Memperlihatkan Perhatian
Hasil dari peneltian mengindikasian bahwa ada hubungan antara menunjukan perhatian kepada konseli dengan hasil yang efektif. Proses ini tidak hanya melputi komplain saja, tapi juga meliputi pengumpulan informasi dalam waktu yang sama. Seorang konselor harus juga mengexplore frekuensi masalah, tingkat pengaruh masalah itu dalam keseharian konseli dan metode yang pernah dilakukan konseli dalam mengatasi masalah itu di masa lalu.
c. Informasi Latar Belakang Konseli
Kebanyakan konselor mengumpulkan informasi latar belakang dengan cara ”Psychosocial Interview”. Pengumpulan informasi mengenai latar belakang konseli tidak harus terlalu detil, cukup yang berkaitan dengan masalah konseli sekarang. Semua informasi ini tidak dikumpulkan dengan wawancara serius. Lebih baik pengumpulan informasi ini dilakukan dengan cara yang lebih ringan. Cormier dan Cormier (1998) berpendapat konselor dalam kondisi apapun harus mengumpilkan beberapa inforasi latar belakang konseli.
informasi latar belakang yang termasuk wawancara awal:
1) Identifikasi informasi, Nama konseli, alamat, Nomor telepon, umur, jens kelamin, status perkawinan, pekerjaan, tempat bekerja atau sekolah, telepn kantor, dan nomor kontak yang dapat dihubungi dalam keadaan darurat.
2) Tujuan konseling/penyelesaian masalah
3) Penampilan fisik
4) Tingkat partisipasi di tempat bekerja atau sekolah, hubungan, waktu luang
5) Sejarah Medis dan Status
6) Pengalaman konseling atau Sejarah Psychiatric
7) Informasi Keluarga
8) Sosial/ Sejarah perkembangan
9) Pendidikan/ Sejarah Pekerjaan
d. Kesehatan dan sejarah medis konseli
Konselor perlu memiliki pengetahuan mengenai kondisi medis konseli untuk dapat memahami kondisi konseli secara holistik. Jika konseli memiliki pemerikasaan fisik terakhir, penting bagi konselor untuk mengumpulkan informasi medis dan menyelediki efek yang mungkin timbul dari pemeriksaan yang pernah dilakukan konseli. Konselor juga harus mengumpulkan informasi penyakit dan treatmen yang pernah diberikan pada konseli.
e. Menjabarkan masalah konseli
Asesmen masalah menempati peran yang penting dalam konseling, karena petingnya hal ini konselor harus memiliki pemahaman yang jelas mengenai persoalan dan masalah yang terjadi. Mohr (1995) berpendapat bahwa konseling dapat memberikan dampak yang negatif bagi konseli dan salah satu penyebab utamanya adalah konselor meremehkan kerumitan masalah konseli. Setelah konselor dapat mengidentifikasi masalah yang dominan, konselor harus menyelidiki persoalan-persoalan ini lebih detil. Di bawah ini adalah topik untuk menjabarkan masalah konseli:
1) Pecahkan masalahnya dari berbagai sudut pandang. Konselor harus bisa menampilkan masalah-masalah iu dari bermacam-macam poin yan g menguntungkan. Ini bisa menjadi baik, jika konseli dapat menggambarkan masalahnya dari sudut pandang Affective, Behavioral, Cognitive dan Relational
2) Kumpulkan informasi-informasi spesifik dari persoalan utama. Konselor harus mendorong konseli untuk menggambarkan permasalahannya secara detil.
3) Intensitas penilaian masalah. Konselor perlu menilai tingkat masalah atau persoalan itu berpengaruh kepada konseli. Dalam situasi tertentu seperti kegelisahan, konselor harus memiliki rekapan dari kebiasaan permasalahannya.
4) Tingkat penilaian konseli untuk percaya bahwa masalah itu bisa berubah. Penilaian dalam wilayah ini akan sangat membantu pada saat menentukan intervensi dan kemungkinan penugasan di rumah.
5) Identifikasi metode yang pernah konseli gunakan untuk memcahkan masalah sebenarnya. Ini akan memberikan pengertian pada konseli dan menghindari penggandaan upaya yang sudah pernah dia lakukan.
Konsselor telah menilai masing-masing masalah signifikan yang telah dialami oleh klien. Langkah selanjutnya adalah memprioritaskan masalah tersebut. Keputusan untuk menetapkan sekelompok masalah-masalah sebagai kelompok pertama tergantung pada situasi, klien dan hubungan konseling.
f. Penilaian proses perubahan (assessing the change process). Dalam dunia konseling, muncul perkembangan yang menarik dalam memahami prinsip-prinsip fundamental dan proses dari perubahan. Model perpindahan teori Prochaska dkk (1992) dianggap sebagai model yang sangat berpengaruh dari perubahan sikap (Morera dkk, 1998). Prochaska dkk berpendapat bahwa konselor perlu memilih cara berdasarkan tingkatan klien pada proses perubahan. Mereka mempelajari kedua hal tentang perubahan-perubahan diri dan kemampuan untuk mengidentifikasi tingkatan perubahan.
Prochaska dan rekan telah menemukan bahwa orang berkembang melalui lima tahap seperti yang mereka ubah dan konseling akan lebih efektif jika penanganan masalah disesuaikan dengan tingkatan individu dalam proses perubahan. Pada tingkatan ini, individu tidak mempunyai niat untuk berubah dimasa depan. Beberapa klien mungkin tidak menyadari atau dibawah sadar mereka bahwa di sana ada masalah. Mereka harus berusaha untuk menunjukkan perubahan karena tekanan tersebut, tapi mereka akan kembali dengan cepat ke sikap sebelumnya ketika tekanan tersebut berakhir.
Langkah ke-2 adalah contemplation, dimana individu menjadi sadar bahwa masalah itu ada dan mulai menyadari permasalahan tersebut. Pada tingkat ini, walaupun demikian, mereka tidak mempunyai komitmen untuk bertindak. Tingkatn contemplation ditandai olaeh kesadaran yang seruis akan sebuah masalah, dan lien mulai mempertimbangkan pro dan kontra dalam mencari solusi sebuah masalah.
Dalam tahap persiapan (Preparation) klien mulai membuat aliterasi kecil dalam sikap dengan niatan mengambil tindakan pada bulan selanjutnya. Pada tingkatan aksi/tindakan (action), individu memodifikasi sikap, pengalaman atau lingkungan mereka. Tingkatan akhir dalam proses ini adalah pertahanan (maintenance), selama individu melakukan pecegahan untuk berbuat tidak baik lagi dan konsolidasi keuntungan prestasi pada tingkatan tindakan.
Secara umum, pertahanan akhir berjalan paling sebentar selama enam bulan. Penilaian tingkatan klien dan tingkatan perubahan bukan merupakan tindakan tradisional dari hasil wawancara. Penilaian tingkatan klien dalam proses perubahan bisa diselesaikan melalui wawancara klien. Respon dari pertanyan, berhubungan dengan latar belakang dan focus klien saat ini akan merefleksikan tingkatan mereka secara khas dalam proses perubahan. Ada juga sebuah instrumen/alat tingkatan-tingkatan daftar pertanyaan perubahan (the stages of change questionnaire) (McConnaughy, DiClemente, Prochaska, dan velicer, 1989; McConnaughy, Prochaska, dan velicer, 1983) yang bisa digunakan klien untuk mengakses tingkatan mereka dalam proses perubahan.
Kesimpulannya, isi dari wawncara tahap awal adalah, konselor harus menyadari tipe utama informasi yang ingin mereka timbulkan dari klien sebelum mereka memulai wawancara tahap awal. Wawancara tahap awal sering menjadi pondasi penilaian lebih jauh, oleh karena itu harus melewati jajaran topic.

2. Teknik dan Keahlian Dalam Wawancara
Wawancara tahap awal merupakan interaksi pertama dengan klien dan merupakan pandangan pertama yang mempunyai pengaruh pada hasil konseling. Konselor harus merefleksikan bagaimana mereka bias menunjukkan kredibilitas pada klien dalam koteks merekam bisa dipergaya, ahli dan atraktif.
Sejumlah individu telah menulis tentang pentingnya menggunakan keahlian komunikasi yang efektif dalam komunikasi. Kemampuam berkomunikasi dibutuhkan untuk mengomunikasikan bahwa klien didengar dan dimengerti melalui respon mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan wawancara. Pertanyaan tak terbatas sering digunakan dalam wawancara Karena pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin tidak terkesan “memimpin” dan sangat mempengaruhi klien. Pada pertanyaan yang terbatas, ada seperangkat respon “tutup/terbatas” (closed) dari klien yang bias memiliki sebuah jawaban, seperti jawaban salah satu dari “ya” atau ”tidak” untuk pertanyaan seperti “apakah anda menjalani konseling karena anda depresi?” pertnyaan-pertanyaan tak terbatas membutuuhkan jawaban yang lebih rinci dari klien. Wawancara yang tidak mempunyai format struktur maka konselor akan sering menggunakan keahlian berkomunikasi yang lain untuk membuat hasil dari wawancar klien. Secar umum menggunakan teknik paraphrase, klarifikasi, refleksi, interpretasi dan penyimpulan.

3. Wawancara Awal Berstruktur dan Tidak Berstruktur
Salah satu keputusaan yang harus diambil konselor untuk membuat bagian awal apakah menggunakan wawancara berstruktur atau tidak. Sebuah wawancara berstruktur salah satunya terjadi dimana konselor mempunyai seperangkat alat pembangun yang membuat klien bertanya dalam cara yang sam dan dalam setiap tahapan klien.dalam sebuah waawncara tak berstruktur, konselor boleh punya ide tentang jenis kemungkinan tapi melengkapi wawancara dalam cara yang unik dan berbeda, tergantung pada kebutuhan klien.wawancara semi struktur merupakan kombinasi dari wawancara berstruktur dan tidak dimana pertanyaan-pertanyaan khusus selalu ditanyakan tapi ada ruang untuk bereksplorasi dan menambah pertanyaan. Ada keuntungan dan kerugian dalam ketiga metode wawancara ini.
Keuntungan yang utama dari wawancara berstruktur adalah bahwa metode ini lebih dipercaya (Aiken, 1996). Kepercayaan dikhususkan pa proporsi eror yang imgin diminimalisr oleh konselor. Lebih jauhnya, seperti yang telah dikelompokkan sebelumnya, kepercayaan merupakan sebuah persyaratan menuju validitas. Jadi, wawancara berstruktur kemungkinan bias lebih valid daripada wawancara tak berstruktur, tapi ini tidak menjadi jaminan. Beberapa praktisi percaya bahwa berstruktur akan mempunyai pengaruh negatif dalam hubungan konseling karena klien akan merasa diintrogasi. Ini tak selalu akurat karena style/tipe pewawancara mempunyai pengaruh yang signifikan dalam informasi. Suara-suara dalam wawancara berstruktur terhubung secara inten pada pertanyaan-pertanyaan termasuk dalam waawncara dan kemampuan konselor untuk menimbulkan informasi-informasi krusial. Memang sulit untuk menciptakan wawancara berstruktur yang bias merespon kesatuan masalah yang luas dan situasi yang dihadapi oleh klien. Dengan wawancara berstruktur, merupakan sesuatu yang penting untuk melibatkan sebuah pertanyaan pada akhir wawancara yang akn membuat klien mudah memberikan informasi yang mungkn belum terkelompokkan.
Keuntungan dari wawancara tak berstruktur adalah bahwa wawancara ini bias diadaptasi untuk merespon kebuthan yang unik dari klien secara mudah. Waancara tak berstruktur bagaimanapun kurang terpercaya dan lebih mudah mengalami eror daripada wawancara berstruktur. Wawancara tak berstruktur cenderung lebih lama dalam mencari informasi seperti dibandingkan dengan wawancara berstruktur yang dibangun dengan baik. Keputusan untuk menggunakan wawancara berstruktur atau tak berstruktur harus berdasarkan tujuan. misalnya, jika tujuannya adalah untuk menyaring klien untuk melihat jika mereka tepat untuk sebuah klinik, lalu wawancara berstruktur yang mengurangi sejumlah eror mungkin lebih baik. Jika dilain pihak, tujuan wawancaranya adalah untuk memahami dengan lebih baik kspesifikan individu klien, lalu wawancara tak berstruktur mungkin mengiginkan eksplorasi individu yang lebih. Wawancara tak berstruktur membutuhkan kemampuan/skill yang lebih pada bagian pewawancara daripada wawancara berstruktur.
Petunjuk umum untuk menghubungkan wawancara tahap awal:
• menjamin rahasia klien (kecuali beberapa keadaan seperti bahaya bagi diri mereka atau orang lain)
• menanyakan pertanyaan dengan sopan dan dengan tatakrama yang diterima
• kata petanyaan diberikan dalam bentuk jawaban tak terbatas daripada bentuk yang terbatas
• hindari pertanyaan menguasai
• dengarkan dengan penuh perhatian
• perhatikn budaya dan latar belakang teknik klien dalam susunan wawancara
• sesuaikan pendekatan individu ke klien ( beberapa klien lebih nyaman dengan proses yang lebih formal,sedang yang lainnya lebih menyukai pendekatan yang ramah dan penuh kasih saying
• hindari “basa-basi” tentang topic yang tidak penting
• berikan semangat pada klien untuk mengekspresikan perasaan, pikiran dan sikap-sikapnya secara terbuka
• hindari istilah-istilah psikologi
• gunakan suara yang penuh kasih saying dan mengundang, tapi tetap professional
• berikan waktu yang cukup dan jangan membuat klien tergesa-gesa menyelesaikan pertanyaan kompleks
• jika respon klien tidak sesuai dengan topic, maka dengan sopan, bimbinglah mereka untuk kembali pada topic yang tepat
• ubah posisi tubuh untuk menghindari penampilan yang statis.

4. Mewawancarai Anak
Saran/sugesti sebelumnya dalam wawancara, seperti membangun hubungan, melengkapi kosakata sesuai tingkat pendidikan klien. Mengajukan pertanyaan dalam cara yang professional dilakukan dengan baik pada anak-anak. Konselor juga butuh untuk melengkapi wawancaral terhadap tingkat perkembangan anak. Sattler (1993) mengajukan petunjuk-petunjuk di bawah ini ketika mewawancarai anak-anak.:
1. susunlah pertanyaan pembuka yang tepat
2. buatlah komentar deskriptif
3. gunakanlah refleksi
4. berikanlah pujian secara berkala
5. hindarilah pernyataan kritik
6. gunakanlah kalimat sederhana dan referensi yang konkrit
7. susunlah pertanyaan dalam bentuk pengandaian saat dibutuhkan
8. harus bijaksana
9. gunakanlah alat-alat pementasan, krayon, tanah liat, atau mainan untuk membantu anak kecil berkomunikasi.
10. gunakanklah teknis khusus untuk menunjukkan ekspresi respon yang tidak bias diterima secara budaya
11. klarifikasi semua episode dari sikap jahat denagn menceritakannya kembali
12. tanganilah anak-anak yang berkomunikasi sedikit dengan mengklarifikasi prosedur waancara
13. tangani penghindaran topic dengan mendiskusikannya sendiri
14. mengertilah keadaan diam
15. tangani perlawanan dan kegelisahan dengan memberukan dukubgan dan penentraman hati lagi.

Jika anak menjadi bagian dari kekacauan permainan, mulai menangis, atau berbuat jahat, Greenspan dan Greenspan (1981) merekomendasikan untyuk tidak memberhentikan perbuatan itu terlalu cepat. Dia menyarankan bahwa observasi sikap ini bias menjadi waasan dan disiplin terlalu cepat yang bias membawa efek negative pada wawancara awal. Dilain pihak konselor tidak boleh hanya diam dan melihat anak merusak kantor konseling.

5. Kelebihan dan Kekurangan dari Wawancara
Validitas dari interview akan berpengaruh pada kualitas pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Para konselor harus mempertimbangkan validitas dari fakta-fakta dan kesimpulan yang mereka buat tentang klien berdasarkan pada wawancara pertama (awal). Kelebihan dari wawancara adalah wawancara memiliki kemampuan untuk menanyakan secara langsung permasalahan kepada klien tentang berbagai isu, masalah, dan informasi mengenai pribadi klien. Kekurangan-kekurangan dari wawancara sering berhubungan dengan validitas dari fakta yang kurang dan adanya pengaruh dari subjektifitas konselor. Peran gender dan budaya harus dipertimbangkan dalam menentukan strategi penilaian (assessment) yang mana yang akan digunakan.

B. Instrumen-instrumen Lain Yang Dapat Digunakan Dalam Initial Assesment.
Proses konseling sering kali dimulai dengan mengumpulkan informasi mengenai klien dan permasalahan-permasalahannya. Beberapa dari alat-alat tersebut adalah instrumen pengukuran (penilaian) yang informal (pendataan dan skala penilaian) yang tergabung dalam lembar laporan awal. Alat pengukuran (penilaian) yang lain dapat digunakan insrument yang lebih formal yang dapat memberikan informasi tentang gejala-gejala dan masalah-masalah.
1. Pendataan
Secara relatif, pendataan dapat dikatakan mudah dan metode lebih efektif untuk mengumpulkan informasi awal dari klien. Biasanya dalam pendataan, individu diinstruksikan untuk memilih kata atau frase pada daftar yang mereka terima.
a. Pendataan yang standar
Konselor dapat menyusun sendiri pendataan yang akan digunakan atau menggunakan beberapa pendataan yang sudah standar. Beberapa pendataan yang sudah terstandarisasi fokus pada laporan tentang gejala-gejala yang sedang klien rasakan saat itu juga. Symptom Cheklist-90-Revised (SCL-90-R, Derogatis, 1994) dan Brief Symptoms Inventory (BSI, Derogatis, 1993) adalah dua instrumen yang sudah populer dan sering digunakan dalam beberapa lingkungan kedokteran kesehatan mental. Instrumen-instrumen ini saling berhubungan dan sangat sama, kecuali SCL-90-R berisi 90 gejala menggunakan 5- skala poin kesulitan (0-4) berkisar dari 0 (tidak sama sekali) sampai 4 (luar biasa). SCL-90-R memerlukan waktu sekitar 15 menit dalam pelaksanaannya; BSI memakan waktu yang lebih sedikit.
Terdapat dua metode dimana dua inventori dapat digunakan sebagai screening tools yang bernilai. Clinician dapat dengan mudah meninjau hasil dari instrumen-instrumen dan menolong gejala-gejala yang diderita klien. Yang termasuk ke dalam pengukuran ini adalah permasalahan pikiran untuk mengakhiri hidupnya, perasaan tidak berharga, perasaan takut untuk terbuka, dan perasaan bahwa semua orang tidak bisa dipercaya. SCL-90-R dan BSI dapat dinilai dengan menetapkan ukuran-ukuran dalam 9 skala: somatization, obsesive-compulsive, sensitifitas interpersonal, depresi, kegelisahan/kecemasan, permusuhan, kecemasan karena phobia, paranoid, dan kegilaan. Terdapat tiga komposisi nilai yang sangat membantu konselor dalam menentukan apakah akan menyerahkan klien pada penilaian psikiater: Global Security Index, Positive Symptom Total, dan Positive Symptom Distress Index. Respon klien dapat dibandingkan antara dewasa yang tidak dalam perawatan, remaja yang tidak dalam perawatan, pasien psikiatri yang dirawat di rumah (bukan di RS), dan pasien psikiatri yang dirawat di RS. Konsistensi dalam pengukuran dan koefisien tes-tes ulang adalah cukup tinggi pada periode-periode terakhir. Ahli pengukuran merekomendasikan bahwa hasil dari SCL-90-R atau BSI baik selama tidak lebih dari 7 hari.
Pendataan yang sudah sering digunakan untuk anak yaitu Child Behaviour Checklist, meliputi 5 skala penilaian yang terpisah (orang tua/laporan pengawasan, laporan guru, laporan pribadi, observasi secara langsung, dan wawancara). Terdapat versi untuk anak usia 2 sampai 3 tahun, tapi yang paling sering digunakan adalah untuk anak usia 4 sampai 18 tahun. Child Behaviour Cheklist untuk anak 4-18 tahun (Achenbach, 1997) menilai masalah tingkah laku dan kompetensi-kompetensi, yang dinilai dengan tujuh area: Kecemasan/depresi, Pendiam, Somatic Complaints, Masalah Sosial, Masalah Pemikiran, Masalah Perhatian, Agresif, dan Kenakalan/kejahatan. Ada juga tiga aspek yang berhubungan dengan Internalizing, Externalizing, dan Total Problems.
b. Pendataan Informal
Pendataan informal ini dapat memberikan beberapa informasi permulaan, tetapi konselor perlu berhati-hati dalam menggunakan hasil yang tanpa informasi yang reliable dan valid. Dalam menggunakan pendataan ini, clinicians harus juga waspada pada beberapa individu yang memiliki kecenderungan untuk menandai banyak item sedangkan yang lainnya hanya menandai sedikit saja. Oleh karena itu, klien yang sudah menandai banyak masalah tidak harus dipandang sebagai klien yang lebih bermasalah dibandingkan dengan klien yang hanya menandari sedikit masalah saja.
2. Skala Penilaian
Skala penilaian ini meminta klien atau observer untuk memberikan beberapa indikasi dari sejumlah atau tingkatan masalah, sikap, atau ciri khas (karakter ) kepribadian yang dapat diukur.
Terdapat beberapa angka dalam skala penilaian yang berhubungan erat dengan saat konselor menafsirkan penilaian ini. Pada umumnya manusia cenderung untuk merespon nilai pertengahan, yang disebut central tendency error. Individu kurang menyukai untuk menilai diri mereka sendiri atau orang lain atau bahkan kedua-duanya terlalu rendah atau terlalu luar biasa tinggi. Hal lain ini menyinggun leniency error, dimana perhatian individual enggan memberikan penilaian pada hal yang tidak disukai. Manusia lebih menyukai untuk memilih hal yang positif jika dibandingkan dengan hal yang negatif. Akhirnya, penilaian pada orang lain sering terjadi sebuah halo effect. Penelitian ini mengindikasikan bahwa manusia dipengaruhi oleh kesan pertama dan kesan pertama in mempengaruhi penilaian-penilaian selanjutnya. Dengan demikian, dapat terbentuk positive halo atau negative halo.
Skala penilaian bisa saja tergabung pada assesmen awal dengan klien. Skala penilaian yang informal ini dapat dapat dilakukan secara verbal atau tergabung dengan formulir yang diberikan. Terdapat skala penilaian yang terstandarisasi seperti Conners Rating Scales- Revised (Conners, 1996). Conners Rating Scales- Revised adalah instrumen yang dibuat untuk menilai anak usia 3 – 17 tahun, instrumen dilengkapi oleh salah satu dari orang tua, guru, atau remaja. Terdapat dua formulir yaitu formulir panjang dan yang singkat untuk masin-masing dari tiga versi (orang tua, guru, dan remaja). Conners ADHD (Attention Defisit Hyperactivity Disorders) index dapat diperoleh dari semua versi dari skala ini. Disamping indikator kemungkinan ADHD, ada skala lain (perlawanan, cemas/malu, masalah sosial).
3. Screening Inventori lainnya
Ada beberapa screening instrumens awal selain pendataan dan skala penilaian. Sebuah contoh dari instrument ini adalah Problem Oriented Screening Instrument for Teenager (POSIT). POSIT adalah pragram inisiasi terbaru yang dikembangkan oleh National Institute Drug Abuse (NIDA) yang disebut Adolescent Assesment/Referal System (Rahdert, 1997). Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pengukuran dan sistem referal untuk masalah remaja berusia 12 sampai 19 tahun. Dewasa ini, POSIT dan daftar pertanyaan mengenai sejarah personal digunakan untuk menentukan apakah perlu dilakukan asesmen lebih lanjut. Screening tool ini baru mulai digunakan tetapi sangat berpotensi untuk sangat berguna.
Kesimpulannya, terdapat beberapa instrumen baik yang formal maupun yang informal yang dapat membantu pengumpulan informasi melalui wawancara yang dilakukan. Beberapa konselor menggabungkan teknik ini secara rutin mengingat yang lain akan secara periodik menggunakan checklist (pendataan), skala penilaian, atau inventori lainnya. Konselor dapat meningkatkan efektifitas mereka dengan menggunakan banyak metode dalam mengumpulkan informasi. Terkadang dalam proses pengumpulan informasi, konselor akan menentukan perlunya penilaian klien secara terus menerus. Untuk contoh, selama wawancara berlangsung, konselor mungkin melihat tanda-tanda depresi dan membutuhkan pengumpulan informasi yang lebih spesifik mengenai depresi ini.

C. Menilai Masalah Spesifik Pada Tahap Awal
Beberapa masalah spesifik harus benar-benar diperimabngkan pada konseling tahap awal, karena jika masalah-masalah spesifik ini terlupakan maka dapat mengakibatkan hasil yang negatif, bahkan sampai pada kematian klien. Untuk contoh, jika konselor tidak dapat mengukur potensi klien untuk bunuh diri, lalu klien melakukan bunuh diri saat masih bisa dihalangi dan akan mampu mempertahankan klien untuk tetap hidup.
1. Assesmen terhadap potensi untuk bunuh diri
Pada sesi awal konseling, konselor perlu untuk mengevaluasi potensi untuk bunuh diri pada tiap klien. Pengidentifikasian keinginan bunuh diri pada klien bisa menghindari kematian. Kemungkinan bekerja menghadapi klien yang berpotensi untuk bunuh diri sangatlah tinggi. Seorang konselor mungkin bekerja menghadapi klien yang nampaknya beresiko kecil untuk bunuh diri; tapi bagaimanapun, beberapa jam kemudian sesuatu mungkin terjadi dan mengubah secara signifikan resiko bunuh diri tersebut.
Memiliki informasi hasil penelitian demografi dapat membantu konselor menjaring klien yang berpotensi bunuh diri. Umumnya, pria lebih rentan untuk bunuh diri dari pada wanita, meskipun beberapa study menunjukan wanita lebih rentan untuk mencoba bunuh diri. (Garrison, 1992). Hasil tersebut, bagaimanapun, tidak mengindikasikan bahwa penyikapan masalah bunuh diri pada wanita kurang serius daripada penyikapan pada pria. Klien berkulit putih cenderung lebih rentan bunuh diri daripada klien yang berasal dari kaum minoritas, dimana klien berkulit putih keturunan Afrika-Amerika dua kali lipat lebih banyak melakukan bunuh diri. Bagaimanapun, angka bunuh diri penduduk asli amerika lebih tinggi daripada angka pada populasi pada umumnya (Berlin, 1987). Status perkawinan seseorang juga ditemukan memiliki kaitan dengan resiko untuk melakukan bunuh diri.
Depresi dan kecanduan alkohol teridentifikasi antara 57% dan 86% terjadi pada semua korban bunuh diri, dengan mayoritas kesemuanya itu sangat berkaitan dengan depresi. Satu ciri penting yang harus dilihat saat melakukan assesmen keinginan bunuh diri adalah perasaan keputusasaan atau ketidakberdayaan.
Stelmacher (1995) merekomendasikan ada tujuh area yang menjadi fokus clinician saat melakukan assesmen resiko bunuh diri.
1) Komunikasi verbal. Jika klien mengungkapkan secara verbal bahwa dia berniat untuk bunuh diri, itulah tanda yang sangat jelas dan dapat diidentifikasi untuk selanjutnya diadakan investigasi terhadap situasi yang mungkin dapat mematikan.
2) Rencana. Jika ada indikasi yang memungkinkan adanya pemikiran untuk bunuh diri. Perhatian konselor terhadap klien harus meningkat jika ada sebuah perencanaan dan rencana tersebut spesifik, kongkrit, dan detil. Bagaimanapun, kata hati klien mungkin tidak bermaksud mengembangkan sebuah rencana tapi mungkin tetap akan melakukan bunuh diri jika situasi memburuk.
3) Metode. Konselor harus menginvestigasi apakah metode bunuh diri tertentu sudah dipilih. Dalam menganalisa metodenya, konselor harus mengevaluasi ketersediaan metode itu dan derajat mematikannya metode itu. Seorang konselor perlu menentukan Tingkatannya untuk mengetahui resiko dan kemungkinan terlaksananya rencana bunuh diri. Konselor juga harus mengeksplor apakah metode tersebut juga meliputi persediaan untuk menghindari pertolongan. (atau sebalikannya, apakah rencana itu dapat tertolong).
4) Persiapan. bagian lain yang perlu dieksplor yaitu apakah klien telah mulai melakukan proses persiapan. Karena tingkat bahayanya sangat berhubungan erat dengan persiapan tersebut.
5) Stresor. Salah satu bagian lain yang harus diassesmen yaitu stresor. Klien mungkin tidak berada dalam keadaan bahaya yang mendesak, tapi mungkin mempercepat terjadinya bunuh diri apa bila keadaan benar-benar memungkinkan.
6) Keadaan Mental. Asesmen terhadap keadaan mental klien sangat penting dalam menentukan resiko yang akan timbul, baik resika yang mendesak ataupun resiko jangka panjang. Faktor psikologis seperti depresi, jelas-jelas berkaitan erat dengan percobaan bunuh diri. Beberapa klien yang sedang dalam proses akan melaksanakan bunuh diri akan mengalami peningkatan spirit karena mereka akhirnya menemukan sosusi untuk mengakhiri rasa sakit mereka.
7) Keputusasaan. Level atau tingkat keputusasaan adalah ukuran untuk menenentukan resiko bagi klien yang tidak melaporkan pemikiran apapun mengenai bunuh diri.
Semua dugaan bunuh diri memiliki keterbatasan waktu dan menyinggung resiko hanya saat sekarang. Konselor perlu mengevaluasi kembali secara terus menerus potensi bunuh diri pada diri klien.
Instrumen potensi bunuh diri. Skala kemungkinan bunuh diri (Cull & Gill, 1992) adalah 36 macam instrumen yang menyediakan keseluruhan ukuran resiko bunuh diri. untuk informasi lebih detil, subskala yang menilai adalah keputus asaan, ide untuk bunuh diri, evaluasi diri yang negatif, dan permusuhan. Keuntungan dari instrumen ini adalah terpisahnya norma bagi individu normal, pasien psikiter, dan pencoba bunuh diri yang mematikan (mereka yang mencoba bunuh diri menggunakan metode yang bisa menimbulkan kematian).
Aaron Beck, penulis terapi kognitif, telah membuat dua skala yang menghubungkan potensi bunuh diri. the Beck Scale for Suicide Ideation (Beck & Steer, 1991) dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menyaring klien yang mengakui adanya pemikiran untuk bunuh diri. terdapat lima macam saringan yang mereduksi sejumlah waktu bagi klien yang tidak melaporkan ide untuk bunuh diri. penulis merekomendasikan untuk tidak menggunakan instrumen itu sendiri, tetapi dengan mengkombinasikannya dengan alat-alat assesmen. Instrumen Beck lainnya, The Beck Hopelessness Scale (Beck & Steer, 1993) telah menunjukan adanya hubungan dalam mengukur tujuan dan ide bunuh diri. instrumen ini sudak memenuhi norma-norma yang tersedia bagi klien yang berniat bunuh diri.
Validitas instrumen yang akan menilai potensi untuk melakukan bunuh diri sedikit banyak menimbulkan problema. Itu akan menjadi tidak etis untuk memberikan sebuah sampel individu yang berpotensi bunuh diri dengan sebuah instrumen dan mengumpulkan satu data yang mana menunjukan fakta akan melakukan bunuh diri. Seorang konselor seharusnya mengkonsultasikan dengan profesi yang lain apakah ada perhatian lain yang berhubungan dengan penilaian resiko bunuh diri. Sangat sering terjadi dengan klien yang berpotensi bunuh diri, seorang konselor mungkin perlu menjamin kliennya menerima evaluasi psikiatrik.
2. Assesmen Depresi
Untuk menilai apakah seorang klien depresi, seorang konselor perlu memiliki pemahaman beberapa karakteristik umum klien yang mengalami depresi itu. Menurut McNamara (1992), simptom depresi biasanya mencakup mood dysphoric yang sering disertai perasaan kegelisahan, rasa bersalah dan dendam. Depresi ditandai dengan kesulitan konsentrasi, pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Klien cenderung pesimis dan memiliki sikap negatif terhadap diri mereka sendiri, orang lain dan dunia. Simptom-simptom fisik dan perilaku juga biasanya sementara, terutama apabila depresi itu lebih mengkhawatirkan. Penarikan diri dari masyarakat adalah suatu gejala, cenderung udah menangis, tak beraktvitas dan kehilangan minat dalam aktivitas yang dahulunya menyenangkan.
1) Inventori Depresi Beck.
Ponterotto, Pace, dan Kavan (1989) mengidentifikasi 73 tindakan depresi yang berbeda yang digunakan para peneliti atau para praktisi kesehatan mentaln dari tindakan-tindakan berbeda ini, the Beck Depression Inventory (DBI) yang paling banyak digunakan. Pada faktanya, BDI digunakan sepuluh kali lenih sering dibandingkan dengan intrumen terpopuler kedua. Versi yang baru dari BDI baru-baru ini sudah diterbitkan. the Beck Depression Inventory II (DBI II, Beck, Steer, & Brown, 1996). BDI direvisi untuk meluruskan diagnosa dan statistik manual Mental disorder (DSM-IV) kriteria depresi seperti pendahulunya, BDI-II hanya berisi 21 hal pokok dan biasanya membutuhkan waktu 5 menit bagi klien untuk menyelesaikannya. Pada setiap hal pokok, ada 4 pilihan yang menambah level keparahan. Oleh karena itu, hasil BDI-II menyediakan suatu indeks keparahan depresi. Berkenaan revisi baru-baru ini, pada BDI-II ada ketersediaan informasi psikometri yang terbatas. Koefisien alpha secara keseluruhan lebih tinggi BDI-II daripada BDI. Penelitian Steer & Clarks (1997) pada mahasiswa yang mendukung kepercayaan tinggi pada BDI-II dan berkontribusi terhadap pembangunan validitas instrumen. BDI-II berdasarkan BDI yang diteliti secara luas. Tinjauan terhadap BDI (conoley, 1994; Sundberg, 1994) pada umumnya positif tapi menekankan BDI untuk tidak digunakan sendiri dalam assesmen depresi. Sebagai tambahan, Conoley mengingatkan bahwa hal-hal pokok yang berhubungan dengan bunuh diri dapat dipalsukan dengan mudah.
2) Instrumen-instrumen Depresi yang lain.
Terdapat beberapa instrument yang terstandarisasi yang dapat digunakan untuk melakukan assessment depresi. Untuk anak-anak dan remaja, terdapat Children’s Depression Inventory (Kovacs, 1992), Children’s Depression Rating Scale, Revised (Poznanski&Makros, 1996), dan Reynolds Adolescent Depression Scale (Reynolds, 1987), dan Reynolds Child Depression Scale (Reynolds, 1989). Instrumen-instrumen lain disamping BDI-II untuk orang dewasa adalah Hamilton Depression Inventory (Reynolds & Kobak, 1995), dan State Trait-Depression Adjective Check Lists (Lubin, 1994). Revised Hamilton Rating Scale for Depression (Warrren, 1994) adalah instrument lain yang dibuat untuk mengukur tingkat depresi yang dirasakan oleh klien; bagaimanapun, ahli klinis daripada klien melengkapi instrument.
3. Asesmen Penyalahgunaan Zat
Berdasarkan Greene dan Banken (1995), para ahli klinis sering mengalami kegagalan untuk mengenali simptom-simptom sebagai refleksi penyalahgunaan zat atau ketergantungan. Lazimnya penyalahgunaan zat dalam setting klinis sudah tinggi, dengan berkisar antara 12 dan 30 persen (Moore et al., 1989). Hal ini masih belum bisa ditentukan mengenai konstitusi penyalahgunaan zat. Pada bab 13, akan didiskusikan mengenai criteria dari diagnosis penyalahgunaan zat.
Dalam konseling perlu dengan segera diidentifikasi apakah klien melakukan penyalahgunaan zat. Seorang konselor yang menggali kemungkinan dari penyalahgunaan zat dapat dengan mudah dimulai dengan menemukan isu-isu yang secara esensial mengakibatkan penyalahgunaan zat. Satu metode untuk menggali kemungkinan dari penyalahgunaan zat dengan menanyakannya langsung pada klien. Oetting dan Beauvais (1990) menemukan bahwa self-report dapat diterima dan reliable. Biar bagaimanapun, beberapa masalah memiliki validitas karena banyak klien enggan untuk memperlihatkan penggunaan dari zat-zat atau mengenai jumlah yang digunakan. Akan tetapi, para konselor harus mencari informasi mengenai jenis drugs yang digunakan dan jumlah alcohol yang dikonsumsi oleh klien. Dalam istilah pengobatan, resep-resep, melebihi batas, dan jenis drugs harus diketahui. Hal-hal tersebut harus diselidiki, pertama, karena penggunaaan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan permasalahan. Alasan kedua adalah untuk mengetahui semua tipe drugs karena meskipun ada beberapa yang secara biasa digunakan untuk pengobatan, jika digunakan berlebihan maka akan memberikan efek tertentu. Kadang-kadang beberapa symptom yang ada pada klien (selalu merasa lelah) merupakan akibat dari pengobatan; konselor harus berkonsultasi pada Physician’s Desk Reference agar mengetahui tentang akibat penggunaan drugs.
Standarisasi Instrumen Penyalahgunaan zat.
Terdapat beberapa standarisasi instrument yang dibuat secara spesifik untuk mengukur penyalahgunaan zat. Tabel 6.5 melibatkan daftar beberapa instrument yang sering digunakan. Satu instrument yang digunakan oleh para praktisi adalah Substance Abuse Subtle Screening Inventory (SASSI-2, SASSI Institute, 1996). SASSI Institute berisi bahwa SASSI-2 memiliki 88 persen akurasi dalam mengidentifikasi individual dengan gangguan yang berhubungan dengan zat. Oleh karena terdapat pembaharuan dari instrument ini, maka tidak cukup dilakukan riset untuk melihat hal ini apabila ada peneliti-peneliti lain mendukung penemuan-penemuan ini. Hal lain yang sudah biasa digunakan sebagai alat asesmen adalah CAGE, yang merupakan teknik wawancara yang sederhana yang sering digunakan dalam lingkungan medis. CAGE (Mayfield, McLeod, & Hall, 1974) adalah alat untuk membantu untuk empat pertanyaan berikut ini:
1) Apakah Anda pernah merasa bahwa Anda harus mengakhiri kebiasaan anda minum minuman keras?
2) Pernahkah anda merasa terganggu dengan kritikan orang-orang di sekitar ini?
3) Apakah Anda pernah merasa buruk atau merasa bersalah dalam kebiasaan meminum minuman keras?
4) Apakah Anda pernah merasakan kegelisahan atau mencoba untuk menghilangkan rasa sakit pada saat bangun tidur di pagi hari ?
Apabila jawaban yang didapat mengindikasikan masalah, ahli klinis harus mengumpulkan informasi yang lebih detail mengenai kebiasaan minum minuman keras. Terkadang, biar bagaimana pun, klien akan menolak pernyataan bahwa minum minuman keras atau menggunakan obat terlarang adalah masalah. Satu teknik untuk membuat klien memiliki self-monitor dan merekam saat-saat klien minum minuman keras. Beberapa klien akan terkejut sendiri setelah melihat rekaman jumlah minuman keras yang ia konsumsi. Teknik lainnya, kadang menghubungkan dengan “acid test” yaitu untuk bertanya pada klien untuk mengontrol atau membatasi konsumsi minuman keras. Sebagai contoh, klien akan membatasi kuantitas minuman yaitu tidak lebih dari tiga kali dalam kurun waktu tiga bulan. Hal ini akan memberikan indikasi bahwa mengkonsumsi minuman keras dapat terkontrol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar