Minggu, 29 November 2009

KONSEP PSIKOANALISIS MENGENAI PEMILIHAN KARIR

A. Pandangan Psikoanalisis Mengenai Pemilihan Karir
Teori umum psikoanalisis yang berhubungan dengan karir diungkapkan oleh seorang analis bernama Brill (Osiplow, 1973) bahwa :
Ketika seseorang ingin memilih suatu karir, maka dia akan membandingkan keputusan antara dua prinsip yakni tuntutan untuk kepuasan dengan segera (tuntutan id) dan pada saat yang sama ingin mambangun pondasi bagi kesuksesannya di masa depan (penjagaan ego dan superego). Prinsip kepuasan menggerakan individu untuk menampilkan perilaku yang memberikan kepuasan dan mengabaikan konsekuensi yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Sedangkan prinsip ralitas memberikan perhatian yang berfokus pada kepuasan jangka panjang. Dalam memilih jabatan seorang individu barangkali menggabungkan kedua prinsip tersebut. Idelanya seseorang mendapatkan kepuasan dengan segera sebagaimana konsekuensi dari pekerjaanya tersebut, sedangkan beberapa saat individu menempatkan pondasi untuk mencapai sukses di masa yang akan datang. Seperti seseorang yang memilih karir dalam hukum sebagai tujuannya, disediakan untuk siswa hukum dengan segala wibawa, status, untuk membentuk potensi sehingga pada akhirnya masuk dalam caatan professional.
Brill mengungkapkan bahwa sublimasi merupakan batu loncatan yang baik sekali dalam pemilihan karir. Brill mengungkapkan bahwa keputusan seseorang mengenai pekerjaan yang dipilihnya bukanlah hasil kesepakatan yang tidak disengaja dari sebuah kejadian melainkan hasil dari kepribadian dan pengaruh lain yang signifikan. Motif yang tidak disadari mendasari semua kebiasaan, termasuk dalam pemilihan karir. Brill melaporkan beberapa kasus yang diobservasi sendiri mengenai peranan jabatan dalam keinginan untuk menadapatkan kepuasan. Untuk mengilustrasikan hal tersebut Briil mengungkapkan kecenderungan psikopatologi dalam pemilihan karir. Brill mengungkapkan bahwa impuls dapat diekspresikan dengan berbagai aktifitas untuk menadapatkan kepuasan seperti impuls yang sangat kejam diekspresikan dengan aktivitas seperti ahli bedah, pemunuh,dan tukang daging. Jhons (1923) mengungkapkan pasiennya yang berhasil mengubah masa kanak-kanaknya yang tertarik pada proses urinasi dan segala macam bentuk cairan yang ada dalam tubuhnya, maka dalam karir nya dia berhasil sebagai seorang insinyur dalam pembangunan sebuah terusan. Zilboorg (1934) mengungkapkan pasiennya yakni seorang ayah yang berhasil menjadi seorang bisnisman dalam bidang peralatan toilet, ternyata dia mempunyai daya tarik terhadap fungsi isi perut ankanya.
Diantara pendapat Briil mengenai pilihan karir yang sangat menarik mengenai pekerjaan adalah fenomena“neurotic fad” pada individu untuk menyesuaikan diri antara kebutuhan dan keinginan. Seseorang akan mampu beradaptasi dengan pekerjaannya bila dalam pekerjaan tersebut ada faktor yang memberikan kepuasan bagi dirinya termasuk dalam aktivitas yang merupakan pantangan bagi tingkah laku. Kemampuan fisik dan mental merupakan sebagian kecil factor yang mendukung dalam pemilihan karir seseorang .. Menurut Brill juga konseling karir didasarkan pada kemmapuan dan daya tarik yang disukai untuk menjadi sebuah nilai, meskipun Brill sendiri mengakui bahwa nilai tersebut bersifat sementara untuk membentuk kepribadian individu sehingga individu tersebut bisa melakukan sublimasi yang efektif dari keinginan hatinya.
Beberapa penulis psikoanalisis yang mengilustrasikan permasalahan karir dengan mengkaji sebuah kasus diantaranya adalah Bell (1960) yang mengungkapkan cara yang irasional dalam pemilihan karir yang dapat terjadi ketika berlangsung integritas ego. Forer (1953) melukiskan variabel kepribadian dalam pemilihan karir, yang mengungkapkan bahwa motivasi tidak sadar mempunyai hubungan dengan kebutuhan libidinal (pemenuhan kepuasan akan kebutuhan) dalam pemilihan suatu karir. Dragshoe (1957) melaporkan hasil dari survai mengenai keterlibatan alasan seseorang dalam menentukan pilihann karir, hasilnya diindikasikan bahwa setiap orang dalam pemilihan karir berdasarkan pada lebih dari satu alasan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Freud yakni dalam pemilihan karir tidak didasari oleh satu faktor saja melainkan interaksi dari berbagai faktor.
Pokok yang dituliskan dalam hal tersebut adalah prinsip kesenangan dan prinsip realitas yang tidak cukup untuk menilai tingkah laku manusia. Hendrick (1943) mengusulkan prinsip bekerja. Karena ia menganggap bahwa prinsip kesenangan dan prinsip kenyataan belum cukup dalam pembentukan tingkah laku individu. Berlawanan dengan prinsip perilaku yang memperoleh sublimasi dari prinsip kenyataan , libidinal enegi kiranya didasarkan pada prinsip pekerjaan, yaitu pada bakat seseorang untuk menguasai lingkungan. Bakat mempunyai suatu pondasi biologis (faktor keturunan ) dimana suatu fungsi dari usaha seseorang untuk mengendalikan atau mengubah beberapa bagian lingkungan melalui kombinasi dari proses mengenai ilmu syaraf dan intelektual. Bakat perorangan diperlukan untuk mengintegrasikan perilaku dan mengembangkan keterampilan dalam melakukan tugas tertentu. Hendrick kemudian menyimpulkan kesenangan bekerja menghadirkan naluri. Kepuasan pekerjaan, dengan menggambarkan suatu ego tidak dapat berfungsi karena disublimasi oleh kesenanan seksual.
Beberapa penulis menampilakan bebrapa aspek dari perkembangan karir yang dapat dipaparkan dalam hubunganya dengan teori psikoanalisis dengan menggunakan teknik studi kasus diantaranya Glinsky dan Fast (1966) yang mengungkapkan percobaan untuk memperlihatkan bagaimana masalah identitas sering terlihat pada individu yang masih muda, boleh jadi frekuensinya dapat didefinisikan dalam ruang lingkup kesulitan pengambilan keputusan mengenai karir dan tidak dapat memberikan keputusan karir. Neff (1968) menulis pembeajaran mengenai perkembangan dan tingkah laku yang secara khusus didasari konsep psikoaalisis. Dalam kerjanya Neff mendeskripsikan bagaimana psikoanalisis diorientasikan sehingga bisa memperlihatkan secara logis tingkah laku orang dewasa diantaranya tingkah laku para pekerja sebagai suatu fungsi dari pengalaman yang pertama. Menurut Neff pokok psikoanalisis memandang bekerja memiliki tekanan yang sangat besar yang lazimnya berada dalam peranan instink didalam memotivasi tingkah laku, keyakinan mengenai kesulitan orang dewasa dalam bekerja merupakan hasil yang paling primer dari pembentukan proses afektif dengan memanfaatkan fasilitas dari interaksi anak dan orang tua, (pernyataan yang mengingatkan pada Roe) dan dan dibawah tekanan dari peranan budaya dalam perkembangan individu.
Perhatian mengenai bekerja dan prinsip realitas dapat saling melengkapi meskipun pada faktanya, prinsip realitas didasarkan pada libido ketika bekerja didasarkan pada mastery insting. Semenjak dewasa kepuasan didasarkan pada bekerja lebih tergantung pada energi libido, selama terjadinya kedewasaan keunggulan bekerja sangat penting sebagai sumber kepuasan. Hal ini merupakan wilayah perkembangan orang dewasa yakni ketika perhatian pusatnya adalah perkembangan seksual. Mengingat kematangan dengan kebutuhan seksual berkurang dan kompetisi ditampilkan maka kepandaian menjadi sumber yang paling utama dari kepuasan.
Konsep psikoanalisis mengenai identifikasi sangat penting untuk dalam menangani tekanan dalam proses pemilihan karir. Sommer (1956) mengalisis mengaalisis tiga kasus mengenai identifikasi dalam pemiliha karir. Ketiga kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa kepribadian dapat dipengaruhi oleh kejadian dalam karir dengan pendekatan psikoanalisis untuk membentuk sebuah tingkah laku. Mereka selalu mengilustrasikan kompeleknya pemilihan karir tidak lebih seperti kerangka berfikir, dan pilihan bisa saja menjadi serba salah, dengan menganjurkan beberapa tahapan untuk memperbaiki kesulitan dalam pemilihan karir dalam keghidupan yang direfleksikan sebagai dasar bagi kepribadian untuk menanggulangi gejala-gejala dalam gangguan kepribadian. Oberndorf (1951) menganjurkan dalam psikopatologi. Bekerja membutuhkan perampasan dalam bentuk penundaaan kesenangan. Yang dapat ditandai dengan menonjolnya peranan yang diperbolehkan untuk mempercepat kepuasan dari autoerotic insting. Dalam psikopathologi dapat diistilahkan dengan laziness atau kemalasan yang meerupakan perpanajangan dari perilaku infantile yang berlebihan dalam bekerja sebagaimana pengawasan terhadap libido kekanak-kanakan yang berakibat pada penolakan.

B. Pandangan Bordin, Nachmann, Segal tentang Pengembangan Karir
Bordin, Nachmann, Segal (1963) berusaha melukiskan seluruh proses pengembangan karir dalam kerangka psikoanalisa. Tiga penyelidik ini mencoba mengembangkan suatu sistem kerangka dasar pada beberapa jabatan untuk mengembangkan generalissasi dan metode yang umu yang bisa dikembangkan menjadi suatu jabatan yang luas.
Ketiga jabatan yang digunakan untuk menggambarkan sistem ini adalah akuntan, pekerja sosal, dan pekerja pipa ledeng. Hasilnya adalah terdapat beberapa dimensi yang mempengaruhi orang untuk bekerja seperti dimensi nurturance yang keinginan untuk memberi yang dapat dikembangkan pada seorang pekerja social. Para akuntan dan tukanng ledeng tidak melibatkan para klien mereka sama sekali sehingga mendapatkan nilai nol pada bagian nurturance yang mengarah pada pemberian. Bagian berikutnya dimensi nurturance adalah pengembangan , dimana para akuntan melakukannya sampai taraf tertentu dalam menasehati keuangan para nasabah mereka. Yang dimaksud dalam contoh ini adalah bahwa seseorang dalam pekerjaannya akan memperlihatkan tinggi rendah nilai suatu dimensi berdasarkan pekerjaan yang dilakukannya.
Di dalam dimensi denital terdapat bagian pendirian, prestasi, impregnasi,dan produksi. Hanya tukang ledeng mempunyai derajat tingkat keterlibatan pada bagian pendirian, dan itu hanya utuk suatu derajat tingkat rendah berkenaan dengan penggunaan dari perkakas dan tangan mereka untuk memperbaiki kran dan peralatan tetap.
Jika sistem tersebut ditekuni untuk memperluas suatu jabatan maka seseorang dapat dengan teliti mengidentifikasi arti area kepuasan dorongan hati tertentu pada jabatan yang ditentukan, dan alternative peuasan dorongan hati di dalam bidang pekerjaan tersebut. Kesimpulan berikutnya adalagh mengenal pemilihan bidang pekerjaan berdasarka gaya jenis kelamin ketertarikan pada suatu potensi jabatan dan tipe pertahanan yang tersedia dalam sebuah jabatan. Konsep analisis karir menekankan pada teknik kepuasan dorongan hati dan ketertarikan yang dalam terhadap suatu bidang dibanding minat dan kemampuan pada suatu karir. Asumsinya bahwa konselor akan menggunakan kerangka berfikir konseling karir, sebuah pendekatan trait dan factor juga dapat digunakan, tetapi keteguhan hati untuk mendapatkan kepuasan, perkembangan psikoseksual, dan tingkat kecemasan dapat ditempatkan sebagai suatu keptertarikan dan kemampuan. Konselor dapat memulai menemukan potensi yang maksimal untuk menyiapkan konseli dengan gaya psikologi. Barangkali psikoanalisis menjadi metode untuk menafsirkan individu.

C. Perkembangan Kepribadian secara Umum dengan Pilihan Karir
Beberapa usaha untuk menguji hipotesis mengenai pilihan karir berasal dari teori psikoanalitik yang dibuat dalam konteks umum dari kerangka teori Bordin, Nachmann dan Segal. Kebanyakan dari hasil penelitian mendahului publikasi aktual proposalnya. Salah satunya adalah hal temuan yang jenius dari Segal (1961). Hasil studi Segal didasarkan pada anggapan bahwa perkembangan kepribadian para akuntan dan penulis kreatif dibedakan, dimana setiap kelompok telah memilih pekerjaannya berdasarkan perbedaan stereotipe yang terdapat pada karir yang mereka pilih –dan itulah pilihan para penulis dan akuntan tersebut– berdasarkan stereotipe pekerjaan, konsisten dengan sejarah perkembangan kepribadian sampai saat mereka menentukan pilihannya.
Saat anak-anak, akuntan dengan cepat mempelajari bahwa persetujuan orang tua diperoleh dengan cara memenuhi keinginan orang tua. Memenuhi permintaan orang tua untuk ditukar dengan persetujuan mereka dapat dicontohkan dengan periode toilet-training pada perkembangan anak. Selama periode ini anak belajar untuk mengontrol satu set gerakkan untuk ditukar dengan penghargaan dan kasih sayang orang tua. Pertukaran seperti ini yang membuat superego akuntan tumbuh berkembang. Identifikasi anak terhadap orang tuanya menguat, sehingga mengurangi ketakutan anak terhadap kehilangan kasih sayang orangtua. Hasilnya, pola khas compulsive pun berkembang, mendorong pertahanan anak melawan kekhawatiran terhadap kehilangan penghargaan orang tua. Mekanisme compulsive yang dapat dilihat adalah isolasi, pembentukkan reaksi dan inteketualisasi. Pada akhirnya anak-anak yang sekarang tumbuh menuju kedewasaan menerapkan perilaku dari orang tua terhadap seluruh figur kekuasaan. Ketika kebutuhan dalam pembuatan keputusuan kejuruan terjadi, jika dilihat dari kebutuhan untuk memenuhi pertukaran dalam penerimaan kekuasaan, dan penggunaan perilaku kompulsif dalam memelihara perilakunya sendiri, menjadi alami untuk memilih akuntan sebagai karir. Stereotipe pada akuntansi memberi kesan bahwa karir tersebut menawarkan panduan yang benar dan jelas untuk berperilaku.
Latar belakang dari penulis kreatif, tentunya sangat berbeda. Saat anak-anak, penulis belajar untuk berontak daripada memenuhi permintaan dari kekuasaan orang tua. Hasil kegagalan pengasuhan orang tua menyebabkan anak-anak kurang dapat mengidentifikasi orang tuanya. Konsekuensinya, anak mengembangkan superego yang lemah dan kurang menerima norma sosial. Saat individu bertambah tua, usaha untuk membuat memperbaiki identifikasi yang buruk dan untuk merubah peraturan sosial; diberikan kemampuan yang sesuai, karir menulis adalah cara alami untuk mengimplementasikan kebutuhan personal tersebut. Pertahanan orang tersebut akan membangun sikap yang cenderung menonjol, menindas dan menyangkal.
Dengan berdasar pada teori ini, Segal mengembangkan beberapa hipotesis spesifik mengenai kepribadian dan perilaku, yang telah ia uji sebelumnya. Subjeknya adalah 15 mahasiswa akuntansi prasarjana dan 15 mahasiswa menulis kreatif yang telah berhasil. Perlakuan yang ia ambil tidak dimaksudkan untuk mencampur dua kelompok, dengan jaminan bahwa skor tertulis SVIB dari para akuntan tidak tinggi, begitupun laporan skor SVIB dari para penulis. Lebih jauh lagi, secara garis besar latar belakang tiap kelompok sama, antara lain, umur, level intelektual dan yang lainnya pun sama. Mereka diberi Rorschach Inkblot Test dan Bender-Gestalt dan diharuskan menulis satu halaman otobiografi kejuruan.
Pertama, Segal memprediksi bahwa level umum pada penyesuaian dua kelompok tersebut tidak akan berbeda, dan hasilnya mengecewakannya. Tidak ditemukan adanya perbedaan secara menyeluruh. Pada dasar perumusannya mengenai perkembangan kepribadian, Segal memprediksi akuntan akan menerima norma sosial pada tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan penulis, dan juga akuntan akan lebih berusaha untuk mengontrol emosi daripada penulis. di sisi lain, penulis akan lebih sensitif terhadap situasi emosional daripada akuntan. Berdasarkan observasi, akuntan memilih karir pada umur yang lebih muda daripada penulis dan protokol Rorschach merefleksikan kurangnya spontanitas akuntan jika dibandingkan dengan penulis. Segel mendapati bahwa akuntan lebih memerhatikan norma sosial daripada penulis, yang memilih karir lebih lambat daripada akuntan, dan Rorschach menjawab dengan anjuran yang berkaitan dengan “berintegritas dan berteori” dan “kurang perhatian terhadap pengharapan masyarakat”. Kekuatan dari penemuan dalam mendukung hipotesisnya bidurangi oleh penemuan bahwa beberapa respon Rorschach yang seharusnya membedakan dua kelompok tersebut; faktanya, tidak ada perbedaan Rorschach yang ditemukan antara dua kelompok tersebut pada sejumlah respon umum dan persentasi dari respon domestik. Perbedaan usia pada saat pemilihan kejuruan dapat dijelaskan pada sensitifitas terhadap pengharapan sosial. Contohnya, akuntansi adalah pekerjaan yang ‘tampak’ jika dibandingkan dengan menulis, yang mana lebih terlihat hasilnya pada awal-awal tahun pemilihan. Rorschach menunjukkan bahwa akuntan lebih terkontrol secara emosional dibandingkan penulis, dan penulis lebih sensitif daripada akuntan, tetapi Bender-Gestalt tidak mendukung pengharapan tersebut.
Segal membuat beberapa prediksi tentang perbedaan lain dalam perilaku antar penulis dan akuntan. Ia memprediksi bahwa akuntan akan lebih memiliki pertahanan kompulsif daripada penulis, sehingga penulis akan menunjukkan respon yang lebih bersifat tidak ramah daripada akuntan pada tes tersebut, bahwa penulis akan lebih mampu untuk menghadapi ambiguitas lebih baik dari akuntan, bahwa penulis akan lebih terampil dalam menangani situasi emosional yang kompleks dibanding akuntan, dan protokol tes pada akuntan akan menunjukkan identifikasi yang kasar dan menakutkan, sementara penulis akan menunjukkan usaha untuk “melengkapi identifikasi ganda”. Dengan merujuk pada hipotesis ini, hasil Rorschach menunjukkan bahwa penulis tidak ramah jika dibandingkan dengan akuntan dan merke lebih dapat mengendalikan emosi dan situasi ambigu lebih baik daripada akuntan. selain itu ada beberapa bukti bahwa akuntan memiliki identifikasi yang keras dan menakutkan. hal ini diperoleh dari otobiografi yang mengungkapkan bahwa pengaruh pekerjaan yang paling signifikan adalah figur orang dewasa.Diharapkan bahwa penulis akan memiliki banyak pilihan pekerjaan berbeda dibanding akuntan, sebagai refleksi dari usaha untuk mengimplementasikan “identifikasi ganda”-nya. Bagaimanapun, tidak ditemukan adanya perbedaan; mungkin, seperti yang Segal utarakan, karena kebimbangan pilihan karir dalam populasi orang dewasa pada umumnya menyamarkan perbedaan antara akuntan dan penulis.
Segal menyimpulkan bahwa secara umum hasilnya konsisten dengan model psikoanalitik dari pilhan karir yang ia temukan. bagaimanapun, beberapa pertanyaan muncul mengenai darimana data yang diambil oleh Segal dan bahkan mengenai data-data itu sendiri. Seperti yang disebutkan sebelumnya, asumsi bahwa tingkat keprihatinan sosial pada individu direfleksikan pada umur ketika pemilihan karir patut dipertanyakan. Menggunakan Rorschach untuk mengesahkan hipotesis mengenai perkembangan kepribadian juga dipertanyakan, dengan meghargai realitas dan validitas dari instrumen pada riset, ditambah penghargaan terhadap dasar patologikal dari Rorschach sebagai lawan dari proses yang relatif normal pada pemilihan kejuruan. Menggunakan siswa sebagai sampel pastinya tepat, akan tetapi menjadikan siswa sebagai karir dalam beberapa hal, kekuatan dari hasilnya mungkin akan bertambah dengan menggunakan akuntan dan penulis sebagai sampel. Bagaimanapun, kecaman tersebut mengisyaratkan bahwa Segal hanya mampu menemukan sedikit perbedaan antara akuntan dan penulis. Akhirnya, pertanyaan yang paling mendasar adalah mengapa orang-orang yang nyatanya menjadi akuntan, ketika anak-anak, harus berjuang untuk menyenangkan orang tuanya sementara pemberontakan penulis tidak pernah benar-benar dirubah ataupun dipatahkan.
Pada studi yang lain, Segal dan Szabo (1964) menguji kembali hipotesis yang menyatakan bahwa mahasiswa akuntansi memiliki identifikasi yang kasar dan menakutkan dan mahasiswa menulis, kebalikannya, mencoba untuk melengkapi identifikasi ganda pada pilihan profesional mereka. Lima belas siswa akuntansi dan lima belas siswa penulisan kreatif kembali digunakan sebagai subjek. Mereka diharuskan untuk mengambil Sentence Completion Test (Tes Penyelesaian Kalimat) yang termasuk enam belas jenis yang relevan dengan hipotesis yang sedang diujikan. Diprediksikan bahwa mahasiswa akuntansi akan lebih memiliki sikap yang positif terhadap orang tuanya bertolak belakang dengan sikap negatif yang ditunjukkan oleh siswa penulisan kreatif. Selain itu, diprediksikan bahwa siswa akuntansi akan mengekspresikan sikap baik terhadap orang lain dibandingkan dengan apa yang akan dilakukan oleh siswa menulis. Respon terhadap enam belas buah penyelesaian yang relevan mendukung kedua prediksi tersebut. Penemuan ini lebih memiliki hasil yang valid dibanding data Rorschach, tetapi ada jarak yang sukup jauh dari teori psikoanalitik dan dasar hipotesis mengenai perbedaan antara identifikasi dari mahasiswa akuntansi dan penulisan kreatif.
Penyelidikan yang lain (White, 1963) mempelajari perilaku personel pegawai administrasi bank dengan merujuk pada hipotesis umum Segal dimana prinsip dari kepribadian berhubungan dengan pilihan kejuruan. Dengan mempelajari tiga kelompok subjek –dua kelompok personel pegawai administrasi bank yang berpengalaman dan satu kelompok kontrol dari pelamar kerja di bank (tidak hanya untuk pegawai administrasi) – White menanyakan dua pertanyaan: “Jika Anda bukan manusia, Anda akan terlihat seperti apa? Mengapa?” dan “Jika Anda bukan manusia, Anda tidak akan terlihat seperti apa? Mengapa?” hasilnya menunjukkan bahwa pegawai yang berpengalaman menyatakan “kotor, tidak rapi, menjijikan, berlumpur, menular dan dekil,” sedangkan kelompok kontrol memilih objek yang dimensinya tidak relevan dengan kebersihan. White menyimpulkan bahwa sifat kebersihan sangatlah penting bagi pegawai kantor, penemuan yang konsisten dengan psikoanalitik yang berdasrkan pada pegawai kantor bersifat kompulsif.
Pada studi yang lain mengenai hubungna antara kepribadian dan karir berdasrkan teori analitik, Weinstein (1953) memprediksikan bahwa pengacara, insinyur dan pekerja sosial akan berbeda pada tatakrama berbicara yang sistematis dan karakter. Ia berhipotesis bahwa insinyur lebih mudah mengingat dibandingkan pengacara dan pekerja sosial, sedangkan pengacara lebih agresif secara oral daripada insinyur dan pekerja sosial, sedangkan pekerja sosial lebih mau menerima daripada pengacar dan insinyur, dan pengacara juga insinyur lebih pemaksa daripada pekerja sosial. dengan menggunakan Q-teknik, para subjek diharuskan untuk membuat penilaian terhadap 40 jenis perbuatan dan 40 jenis perkataan sebagai relevansi dari idaman diri mereka dan juga diri mereka yang sebenarnya. Jenis-jenis tersebut didasarkan pada klasifikasi Weinstein (1963) yang mendeskripsikan perilaku pada literature psikologi. Subjeknya adalah 20 mahasiswa hukum, 20 mahasiswa sosial dan 20 mahasiswa teknik senior; sampel tersebut tidak disamakan tetapi heterogen dalam hal umur dan latar belakang sosial ekonomi.
Weinstein menyimpulkan dari Q-sorts bahwa kebanyakan harapannya mengenai karakteristik kepribadian dibawah studi telah didukung. Ia menemukan bahwa perlakuan secara perbuatan dan perkataan menjadi faktor yang memotivasi pada saat pemilihan karir, walaupun tidak ada bukti yang mendukung bagaimana atau dalam kondisi apa perlakuan ini dapat dikembangkan. Penjelasan yang lain pada perbedaan Q-sorts dari insinyur, pengacara dan pekerja sosial dapat dikemukakan, dimana menjadi tidak berlaku pada hasil studinya.
Alasannya karena berbagai macam pekerjaan mengharuskan adanya aktifitas kerja yang berbeda yang menawarkan bermacam potensial kebutuhan dan kepuasan, dan pengalaman masa kecil memepengaruhi perkembangan kebutuhan tersebut, Nachmann (1960), menggunakan kerangka analitik, menilai pertanyaan mengenai perbedaan kepribadian antara pengacara, dokter gigi, dan pekerja sosial. Satu aspek perilaku yang sebaiknya membedakan tiga kelompok kerja ini adalah sikap mereka terhadap perilaku agresif. Saat bekerja, pengacara harus agresif secara verbal, sedangkan pekerja sosial tidak diizinkan untuk mengekspresikan permusuhan dan agresifitas dalam pekerjaannya. Dokter gigi, di sisi yang lain, sangat agresif secara fisik dalam mengertak, mengebor, memotong dan memberikan kesakitan yang sudah menjadi sifat dalam pekerjaannya. Hubungan antara tiga profesi dan privasi adalah perbedaan yang lain lagi. Pengacara diizinkan untuk memiliki “hak ingin tahu yang istimewa” dalam beberapa aspek kehidupan klien mereka. Pekerja sosial, bahkan lebih dari pengacara, diperbolehkan untuk mengakses dengan tidak dibatasi oleh bagian yang paling privat dari kehidupan kliennya, akan tetapi masih pada tingkat kepasifan. Dokter gigi diizinkan untuk ‘berkawan’ dengan mulut, yang mana salah satu bagian privat tubuh. Contoh perbedaan pekerjaan di atas, dalam hal analitik, yang membawa Nachmann untuk memperkirakan perbedaan yang signifikan antara pengalaman masa kecil dari tiga kelompok pekerjaan tersebut.
Sejumlah hipotesis mengenai pengalaman awal telah diuji dengan data yang didapat sebelumnya melalui wawancara dengan 20 lulusan sarjana yang mewakili tiap tiga kelompok tersebut. Kebanyakan dari hipotesis tersebut mendapat dukungan. Nachmann menemukan gerakkan agresif lebih diterima pada keluarga pengacara dan pekerja sosial dan sifat menekan pada keluarga dokter gigi. Ia juga menemukan bahwa pada keluarga pengacara dan dokter gigi, para ayah lebih dominan dan maskulin, disiplin yang lebih maskulin, ketakutan ditekankan dalam keluarga pengacara, sedangkan kepatuhan pada kekuasaan dalam keluarga dokter gigi. Hal ini menjadi bertolak belakang pada keluarga pekerja sosial, dimana ibu lebih kuat dan dominan, sedangkan ayahnya lebih lemah bahkan tidak ada, dan disiplinnya kurang askulin. Ayah dari pengacara lebih mengatur secara fisik dan emosional jika dibandingkan dengan ayah dari dokter gigi, dan figur lelaki yang kuat penting untuk dipeihara pada masa kecil pengacara dibandingkan pada masa kecil dokter gigi atau pekerja sosial. Atmosfir tempat tinggal pengacara lebih hangat dan menstimulasi kemampuan verbal prasekolah, rasa ingin tahu dan perkembangan intelektual. hal ini sangat bertentangan dengan atmosfir tempat tinggal dokter gigi, dimana kesopanan dan memegang teguh adat lebih dominan dan kehangatan kurang dominan, kemampuan verbal prasekolah, perkembangan intelektual dan rasa ingin tahu kurang ditumbuhkan, dan keunggulan fisik lebih dihargai dibandingkan dengan yang terjadi pada keluarga pengacara atau pekerja sosial. Pengalaman awal pekerja sosial termasuk trauma perampasan hak yang hebat sampai pada umur dua tahun dan penekanan pada keprihatinan terhadap perasaan dan penderitaan orang lain; pengacara mengalami sedikit trauma hebat pada umur selanjutnya dan keprihatinan yang kecil terhadap orang lain, sedangkan dokter gigi tidak memilik trauma, sedikit keprihatinan terhadap orang lain dan mengalami kejadian yang memfokuskan perhatian kedalam tubuhnya sendiri, sedangkan pengacara dan pekerja sosial tidak mengalaminya. Satu-satunya hipotesis yang tidak mendapat dukungan –bahwa rasa ingin tahu seksual tidak tercukupkan di tiap kelompok– paling mendapat penolakan terutama pada dokter gigi; pertanyaan ini mungkin dibaurkan oleh fakta bahwa sedikit generasi orang yang memiliki cukup pendidikan seksual. Dari hasil tersebut, terbukti bahwa penemuan Nachmann sangat mendukung kegunaan konsep psikoanaliatik dalam menjelaskan perbedaan kepribadian melalui pengalaman masa kecil sedikitnya tiga kelompok pekerjaan yang ia pelajari. Meskipun demikian, seperti studi terdahulu, jawaban dari subjek tersebut lebih dipengaruhi oleh kejadian terbaru dari hidup mereka dibandingkan kejaian masa kecil mempengaruhi perilaku mereka sekarang.

D. Konsep Identifikasi dalam Pemilihan Karir
Identifikasi adalah konsep psikoanalitik yang penting dan sama pentingnya secara analitik berdasarkan teori pilihan karir. Crites (1962) telah mengkombinasikan aliran pemikiran analitik dan kejuruan pada studi terkini yang menyelidiki hubungan antara perkembangan ketertarikan pekerjaan dengan identifikasi orang tua. Dengan pertimbangan hasil identifikasi dari perwujudan salah satu nilai dan sikap individu terhadap orang lain, Crites berhipotesa bahwa tingkatan dari identifikasi orang tua akan direfleksikan pada pola minat dalam keturunannya. Lebih jauh lagi, jenis kelamin orang tua secara dominan mengidentifikasi, yang nantinya terefleksi pada profil minat para siswa. pada identifikasi mixed-sex, Crites menganjurkan bahwa karir dalam pekerjaan sosial, sebagai contoh, menyediakan tempat yang sesuai karena pekerja sosial mewujudkan baik sifat stereotipe maskulin maupun feminin. Pada akhirnya, kombinasi kedua jenis kelamin oang tua dan tingkat identifikasi sebaiknya menghasilkan pola minat tertentu, yang akan merefleksikan interaksi relevan dari ketertarikan maskulin-feminin untuk individu itu sendiri.
Dengan menggunakan 350 subjek laki-laki, yang selanjutnya dibagi menjadi tiga kelompok (100 klien pendidikan kejuruan pada pusat konseling universitas, 100 klien pendidikan kejuruan sebagai kelompok tiruan dan 150 nonklien sebagai kelompok umum), Crites menilai jenis, tingkatan dan pola identifikasi orang tua dengan menggunakan respon subjek sampai penilaian perbedaan semantik pada “diri”, “ayah” dan “ibu” dalam sembilan skala. Skala tersebut merepresentasikan potensi, aktifitas dan dimensi evaluasi terhadap pengertian. Pola minat dianalisa oleh teknik analisis pola Stephenson (1961) seperti yang diaplikasikan dalam Strong Vocational Interset Blank (1943).
Hasilnya mengidentifikasikan bahwa tingkatan identifikasi terhadap ayah dihubungkan dengan pola minat pada SVIB, tetapi tidak pada tingkatan identifikasi dengan ibu. Anak laki-laki lebih kuat mengidentifikasi ayah dengan nilai tinggi pada masalah bisnis, anak laki-laki dengan sedikit identifikasi terhadap ayahnya memiliki nilai minat yang tinggi pada lingkup literatur, sedangkan anak laki-laki yang identifikasi terhadap ayahnya sedang, memiliki nilai yang tinggi dalam kelompok fisik dan ilmu pengetahuan alam. Menariknya, telah diamati bahwa selama beberapa identifikasi dengan orang tua terjadi, maka pola minat yang telah diprediksipun muncul. Jadi, pria dengan identifikasi pria memiliki minat dalam bidang bisnis dan pria dengan identifkasi campuran memiliki minat pada keterampilan teknik dan verbal. Penemuan ini relevan dengan hipotesis ketiga, juga sesuai harapan: pola minat konsisten dengan tingkatan dan jenis identifikasi orang tua.
Steimel dan Suziedelis (1963) menguji hipotesis bahwa dominansi dari pengaruh salah satu orang tua akan dikaitkan dengan skor Strong Vocational Interset Blank. Harapan itu didasarkan pada model yang menganjurkan bahwa peran dari identifikasi orang tua pada perkembangan minat dilakukan. Mereka memprediksi bahwa pengaruh ayah pada mahasiswa laki-laki akan berbeda pola minatnya pada SVIB dibandingkan dengan yang mendapat pengaruh dari ibu. Untuk menguji prediksi ini, mereka memberikan instrumen pengaruh orang tua kepada 198 mahasiswa angkatan pertama dan kedua serta 84 subjek dimana rezpon menempatkan mereka pada golongan yang mendapat pengaruh orang tua secara ekstrem. Skor SVIB (43 skala pekerjaan dan 3 skala nonpekerjaan) dari kedua kelompok dibandingkan. Anak laki-laki yang memiliki pengaruh ayah secara signifikan lebih tinggi daripada anak laki-laki dengan pengaruh ibu pada satu skala pekerjaan dan dua skala nonpekerjaan (terutama insinyur, ahli kimia, manager produksi, penerbang, gurui lmu pengetahuan dan metematika, pekerja kehutanan, direktur YMCA, direktur personalia, adminstartor public, CPA senior, akuntan, interest maturity dan masculinity), sedangkan anak laki-laki dengan pengaruh ibu lebih tinggi pada skala pekerjaan untuk penjual real estate, manajer periklanan dan pengacara. Ketika Steimel dan Suziedelis tidak memperkirakan arah dimana perbedaan akan terjadi untuk skala spesifik, mereka mengamati bahwa perbedaan yang terjadi konsisten dengan perbedaan jenis kelamin. Anak laki-laki dengan pengaruh ayah memiliki skor yang lebih tinggi untuk pekerjaan maskulin, dan laki-laki dengan pengaruh ibu memiliki skor yang lebih tinggi pada karir yang lebih feminin.
Steimel dan Suziedelis melaporan beberapa penemuan menarik lainya. Subjek dengan pengaruh ayah lebih cenderung memilih jurusan perkuliahan pada ilmu pengetahuan pasti, sedangkan subjek dengan pengaruh ibu lebih bersandar pada seni bebas. Lebih banyak subjek dengan pengaruh ayah ikut serta dalam pekerjaan pada level profesional dan mereka lebih berpendidikan daripada ayah pada kelompok dengan pengaruh ibu. Lagi pula, ayah dari subjek dengan pengaruh ayah rata-rata berpendidikan formal dua tahun lebih lama daripada ibu pada subjek tersebut, sedangkan orang tua dari subjek dengan pengaruh ibu kira-kira sama dalam pencapaian pendidikannya.
Pertanyaan menarik mungkin diajukan berdasarkan penemuan ini. Apakah pengaruh ayah berkaitan dengan status dan penghargaan terhadap ayah oleh anaknya dikarenakan profesi atau prestasi akademiknya, atau apakah ayah dengan pendidikan yang baik memikul peran yang lebih besar dalam mempengaruhi anak laki-lakinya iakarenakan pengalamannya yang lebih banyak? Walaupun Steimel dan Suziedelis tidak menjawab pertanyaan ini melalui data mereka, mereka mendemonstrasikan bahwa persepsi dari pengaruh orang tua sangan jelas berkaitan dengan minat kejuruan.
Pada studi Erikson (1950) hipotesis yang menyatakan bahwa ibu pada budaya Amerika menyampaikan nilai budaya secara menyeluruh terhadap anak laki-lakinya, Stewart (1959) menguji hipotesis dimana skor SVIB dari pria dewasa dikaitkan dengan tingkat identifikasi mereka terhadap ibunya. Berdasarkan pemikiran bahwa individu mengembangkan nilai-nilai mereka dengan mengamati individu yang mereka hormati dan bahwa nilai-nilai tersebut akan direfleksikan pada penemuan minat, Stewart memiliki 97 anak laki-laki dari sekolah menengah dan tinggi yang menampilkan sejumlah Q-sorts mengenai konsep dirinya, konsep diri yang ideal menurut mereka dan konsep mereka mengenai pemikiran terhadap ibunya. Lima puluh empat ibu dari anak lelaki pada sampel siap untuk menampilkan Q-sorts dalam konsep mereka mengenai seperti apa anak lelaki mereka dan anak lelaki seperti apa yang mereka inginkan. Sebagai tambahan untuk Q-sorts, tiap subjek siswa mengambil SVIB dan menjawab kuisioner singkat yang berhubungan dengan aspirasi kejuruannya.
Stewart menemukan bahwa, pada umumnya, anak laki-laki yang sedikit sensitif terhadap ibu yang ideal untuk mereka dan kesensitifan ini membawa hasil pada beberapa perilaku yang menyenangkan terhadap ibunya. Para anak lelaki ini sadar akan penilaian ibunya terhadap mereka dan berbuat untuk menyenangkan mereka, atau menemukan bahwa penilaian ibunya konsisten dengan mereka dan oleh sebab itu dalam mengimplementasikan hasrat mereka sendiri, mereka berupaya untuk menyenangkan ibunya. Stewart juga menemukan bahwa skor Interest Maturity pada SVIB berkaitan dengan tingkat dimana anak lelaki menerima keiginan ibunya sebagai keinginan mereka sendiri. Hal ini, Stewart menambahkan, dikarenakan Interest Maturity dikorelasikan dengan sensitifitas sosial, yang kiranya dipelajari para anak lelaki dari ibunya. Semakin dekat identifikasi terhadap penilaian ibu, semakin besar penerimaan terhadap perilaku sensitif secara sosial dan semakin tinggi pula skor Interest Maturity-nya.
Juga konsisten dengan teori dari Erikson adalah penemuan yang menyatakan bahwa skor Maskulin-Feminin (MF) pada SVIB berhubungan dengan kesadaran anak lelaki terhadap anak lelaki idaman ibunya. Dalam penemuan yang tidak konsisten dengan teorinya, bagaimanapun, Stewart menemukan bahwa semakin dekat identifikasi anak lelaki dengan ibunya, semakin cenderung ia akan memiliki pola penolakan SVIB pada area maskulinnya. Sehingga, anak lelaki yang paling kuat menerima keinginan ibunya cenderung menolak pekerjaan maskulin. Bertolak belakang dengan penemuan ini adalah harapan Erikson bahwa ibu akan menyampaikan pemikiran maskulin yang ideal kepada anak lelakinya, barang kali berdasarkan rasa idealisnya dan mengambil ingatan dari sifat-sifat ayahnya. Malahan, penemuan Stewart mengisyaratkan bahwa si ibu akan menurunkan sikap femininnya.
Penemuan Crites (1962) dan Stewart (1959) sedikit berbeda, dimana Crites menemukan bahwa ayah lebih berpengaruh daripada ibu sebagai figur identifikasi dengan arti kejuruan untuk anak lelakinya, sedangkan Stewart menemukan bahwa ibu mempengaruhi pilihan anak lelakinya dengan menggunakan proses identifikasi. Tentunya Stewart tidak mempelajari perbandingan antara ibu dan ayah, sehingga terdapat kenumgkinan kekuatan dari pengaruh tersebut menjadi relatif, seperti yang telah disampaikan pada penemuan Crites, atauberubah seperti yang telah ditunjukkan Steimel dan Suziedelis.
White (1959) juga mempelajari hubungan antara nilai-nilai orang tua dan keturunannya, akan tetapi ia lebih mempelajari anak perempuan ketimbang anak laki-laki. Ia menguji hipotesis dimana orang tua menurunkan pemahaman feminin yang ideal terhadap anak perempuannya dengan cara menilai hubungan antara minat kejuruan, konsep diri dan identifikasi orang tua pada mahasiswi. Ia mengharuskan 81 mahasiswi angkatan pertama untuk menampilkan Q-sorts dari konsep diri, konsep ideal diri dan konsep mereka mengenai bagaimana seharusnya orang tua mereka. Di sisi lain, tiap anak perempuan mengambil SVIB dan memberikan beberapa informasi personal. Tiga puluh empat orang tua diwawancarai, dan tiap pasang orang tua juga membuat Q-sorts dari anak perempuan mereka sesuai dengan keadaannya dan bagaimana seharusnya anak perempuannya menjadi ideal. Sehingga, desainnya sama seperti desain Stewart (1959).
White menemukan bahwa daftar yang dibuat wanita lebih mirip seperti ibunya daripad ayahnya pada kebanyakan diri sendiri, diri ideal dan deskripsi orang tua yang ideal. Maka dari itu, terlihat bahwa wanita lebih mengenali ibunya daripada ayahnya. Selain itu, skor Feminity tinggi pada SVIB ditemukan pada wanita yang menunjukkan persetujuan yang lebih antara konsep diri dan konsep ideal diri, konsep orang tua sendiri dan konsep orang tua ideal, yang menunjukkan kecocokkan antara keidealan mereka dan keidealan orang tua mereka, dan yang memiliki orang tua yang keduanya masih hidup (apakah hidup bersama atau tidak) bertentangan dengan mereka yang salah satu orang tuanya telah meninggal.
Hershenson (1965) memperhitungkan konsep Erikson tentang identitas dengan persoalan mengenai persepsi diri dalam peran pada pekerjaan. Hershenson mengadakan kuesioner terhadap 162 mahasiswa junior Harvard untuk mengukur tingkatan saat dimana orang merasa pilihan pekerjaan mereka merefleksikan kemampuan, minat dan nilai yang mereka pegang, juga untuk menilai pandangan mereka mengeani peran yang dimainkan karir dalam kehidupan seseorang. Di antara pengamatan tersebut terdapat penemuan bahwa gengsi suatu pekerjaan memainkan peran penting untuk siswa dalam mempertahankan kemunculan atau orientasi keluar diri.
Pada aspek lain di dalam studi yang sama, Hershenson (1967) menguji hipotesis dimana tingkat pencapaian identitas kedewasaan sungguh-sungguh berkaitan secara menyeluruh sehinggu individu merasa dirinya sesuai dengan peran pekerjaan yang diharapkan. Hershenson juga memprediksi bahwa rasa mengenal identitas yang diraih oleh pada masa dewasa benar-benar berkaitan dengan tingkat enkulturasi. Walaupun hasilnya mendukung tiga hipotesis tersebut, data-datanya tidak cukup jelas untuk manjadikan Hershenson merasa percaya diri bahwa hipotesisnya didukung seperti halnya posisi Erikson yang telah diprediksikan.
Pada studi yang lain mengeani proses identifikasi dan pemilihan kejuruan, Sostek (1963) menemukan bahwa anak perempuan yang memilih pekerjaan seks-stereotipe lebih dikenal oleh ibunya dibandingkan dengan anak perempuan yang memilih pekerjaan maskulin-stereotipe. Ia juga menemukan bahwa anak laki-laki yang memilih pekerjaan “feminin” lebih dikenal ibunya dibandingkan anak lelaki yang memilih pekerjaan “maskulin”. pada akhirnya, ia melaporkan bahwa permepuan dan laki-laki memeilih pekerjaan “feminin” lebih dikenal oleh ibunya dibandingkan oleh ayahnya, sementara perempuan dan laki-laki yang memilih pekerjaan maskulin lebih dikenal ayahnya ketimbang oleh ibunya. Hal yang penting dalam penemuannya adalah identifikasi difasilitasi oleh kehangatan orang tua, tanpa memperhatikan jenis kelamin. Sehingga, keinginan orang tua untuk menjadi model bagi anaknya dapat meningkatkan kemungkinan berturut-turut dengan membangkitkan kehangatan, hubungan yang dekat antara orang tua dan anak.
Tipton (1966) menguji beberpa aspek dari peran identifikasi pada pemilihan pekerjaan. Ia membandingkan frekuensi memiliki orang tua yang menjadi guru pada jurusan pendidikan dan nonpendidikan. Tidak ditemukan adanya perbedaan. ketika kedua kelompok siswa dibandingkan mengenai tingkat identifikasi dengan gurunya dengan memakai respon terhadap skala penilaian, Tipton menemukan bahwa jurusan pendidikan menunjukkan identifikasi yang lebih kuat dengan model guru dibandingkan jurusan nonpendidikan. Hipotesis Malnig (1967) yang menyatakan bahwa beberpa individu mungkin menghindari kompetisi secara langsung dengan orang tuanya, setelah didiskusikan sebelumnya, menarik untuk dipertimbangkan dilihat dari kegagalan Tipton untuk menemukan keturunan dari para guru yang terwakili dalam program pelatihan guru.
Heilbrun (1969) menghitung indeks persamaan antara keturunan dan seks yang sama dengan orangtuanya lebih dari 15 dimensi kepribadian. Karena terdapat kemungkinan jenis kepribadiannya maskulin ataupun feminin, individu sangat berpotensial mengenali ayah “maskulin” atau “feminin”, atau ibu “maskulin” atau “feminin”. Hasilnya, berdasarkan 47 mahasiswa dan 33 mahasiswi klien pusat konseling menunjukkan bahwa identifikasi anak laki-laki terhadap ayahnya berkaitan dengan minat kejuruan, identifikasi anak laki-laki terhadap figur maskulin (baik ayah atau ibu) diasosiasikan dengan penolakkan minat karir, dan identifikasi anak perempuan terhadap model feminin dari kedua seks dikaitkan dengan penolakkan sejumlah karir pada SVIB. Heilbrun menyimpulkan bahwa identifikasi terhadap ayah “maskulin” meningkatkan kristalisasi dari minat kejuruan positif dan penolakkan pada diri anak, sedangkan identifikasi terhadap ibu “feminin” berdampak sebaliknya. Bagaimanapun, lebih sering terjadi, hasilnya tidak terlalu meyakinkan untuk wanita dibandingkan untuk pria.
Pada jenis studi yang serupa, Hollender (1972) meneliti persamaan antara profil SVIB dari 31 mahasiswa dan 28 siswa laki-laki sekolah menengah atas beserta orangtuanya. Tidak ada kelompok siswa yang menunjukkan banyak korelasi antara anak laki-laki dan orangtuanya pada SVIB, berbeda dengan temuan pada hasil studi yang lain.
Hasil dari studi tersebut menyatakan bahwa identifkasi terhadap orang tua atau model orang dewasa secara tidak langsung menjadi penting dalam proses pemilihan kejuruan, tetapi tidak ditunjukkan adanya hubungan langsung antara keduanya, dan temuan dari studi ini tidak seluruhnya konsisten satu sama lain. Sayangnya, ukuran dari identifikasi tersebut tidak begiru kuat, dan hal ini hampir selalu dikaitkan dengan penemuan skor minat daripada perilaku yang lain, seperti pemilihan atau pencapaian kejuruan. Bahkan pernyataan dalam pemilihan kejuruan akan lebih menampakkan kejelasan pada hubungan antara identifikasi dan pilihan kejuruan daripada skor dalam inventaris minat.
Pada masalah rumit selanjutnya, kebanyakan studi mengenai identifikasi orang tua dan dampaknya pada minat karir anak telah dituliskan dalam hal sikap dan perilaku seks stereotipe “maskulin” dan “feminin”. Penelitian dan pemikiran dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan semakin kurangnya keabsahan dari suatu ide, seperti men-stereotipekan seks adalah benar, memunculkan pertanyaan yang lebih jauh baik mengenai relevansi dan keabsahan dari penelitian yang telah dilaporkan di atas.
Small (1953), menyelidiki perbedaan kepribadian yang berpengaruh pada pemilihan kejuruan, mengajukan bahwa aspek tertentu pada keputusan karir didasarkan pada fungsi ego. Ia berhipotesis bahwa ego yang sehat, selama dalam kontak yang dekat dengan kenyataan, akan dapat menunda kegembiraan yang lebih besar dibandingkan ego yang lemah, yang mana lebih jauh terpisah dari kenyataan. Karena penyesuaian diri adalah bagian dari fungsi kekuatan ego, dan berdasarkan pada pertimbangannya, pilihan kejuruan adalah sebagian dari kekuatan ego, faktor realitas pada pilihan kejuruan berkaitan dengan fungsi ego. Sehingga, ia memprediksi bahwa pria dewasa yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan mengungkapkan kenyataan pada pilihan pekerjaan pertama, dan yang tidak realistis pada pilihan kedua, sedangkan kebalikannya adalah anak laki-laki yang memiliki penyesuaian diri yang buruk.
Untuk menguji prediksi ini, ia mempelajari pemilihan dan alasan pekerjaan pada pemilihan 50 pasang anak laki-laki berumur 15-19 tahun, disesuaikan dengan seluruh latar belakang ciri-ciri yang signifikan kecuali penyesuaian diri. Hasilnya mendukung hipotesis tersebut; pilihan anak laki-laki yang berpenyesuaian diri baik merefleksikan partisipasi dari lingkungannya, sedangkan pilihan anak laki-laki yang kurang berpenyesuaian diri merefleksikan sikap yang tak terpengaruh oleh lingkungan dan adanya kecenderungan untuk menunjukkan tindakan dan perasaan yang berbentuk bantahan. Penemuan ini menuntun Small pada kesimpulan bahwa konseling kejuruan sangat efektif untuk orang yang memiliki ego yang kuat karena mereka berorientasi pada kenyataan, dan diperlukan psikoterapi bagi mereka yang memiliki ego yang lemah sebelum mereka dapat mengambil pelajaran dari konseling kejuruan atau membuat rencana kejuruan yang realistis. Small menyimpulkan dengan hipotesis yang provokatif bahwa penjuruan untuk orang yang belum memutuskan tidak akan mampu membuat mereka berkejuruan, karena mereka masih menyimpan fantasinya dan tidak peduli kehilangan setiap alternative karirnya.
Very dan Zannini (1969), menguji hipotesis Adlerian yang menyatakan bahwa kelahiran mempengaruhi perilaku., mereka memprediksi bahwa sejumlah ahli kecantikan akan dilahirkan kedua karena adanya persamaan antara sifat kepribadian dari yang terlahir kedua (seperti santai, mencari keharmonisan dan sederhana, menurut Adler) dan ahli kecantikan yang sukses. Sebanyak 210 ahli kecantikan yang ditemukan oleh Very dan Zannini, faktanya, dilahirkan kedua.
Studi terakhir dari relevansi sampai pada pandangan psikoanalitik terhadap pilihan kejuruan adalah penyelidikan dari Crites (1960) mengenai hubungan antara kekeuatan ego dan pilihan kejuruan. Secara khusus, ia memberikan perhatian kepada hubungan antara kekuatan ego dan level minat pekerjaan juga antara kekuatan ego dengan tingkat dimana minat tersebut dipolakan. Crites berasumsi bahwa ego yang kuat akan berdampak pada pola yang lebih jelas pada minat kejuruan di tingkat yang lebih profesional daripada yang terjadi pada ego yang lemah. Ia juga memprediksi bahwa siswa yang lebih tua, memiliki ego yang lebih kuat sebagai akibat dari bertambahnya usia, akan memiliki pola minat yang lebih jelas. Menggunakan skala level pekerjaan (Occupational Level/OL) SVIB dan skor A danB+ pada SVIB sebagai ukuran pada level dan pemolaan, berturut-turut, dan skala ES pada MMPI sebagai pengukuran kekuatan ego (Barron, 1953), Crites menguji hipotesisnya pada 100 mahasiswa yang telah pergi ke pusat konseling untuk konseling kejuruan-pendidikan.
Hasilnya gagal mendukung hipotesis dimana level pekerjaan yang lebih tinggi berkaitan dengan ego yang kuat, tetapi data tersebut mendukung hipotesis kedua, bahwa pemolaan minat berkaitan dengan kekuatan ego pada mahasiswa yang lebih tua tetapi tidak untuk yang lebih muda. Sayangnya untuk teori analtik, gambaran dari kedewasaan akan menjelaskan pemolaan minat pada orang dewasa yang lebih tua daripada yang lebih muda, khususnya menggunakan Strong Vocational Interest Blank, karena SVIB dikembangkan menggunakan pria dewasa sebagai standadisasi kelompok. Orang dewsa yang lebih tua akan memiliki pola minat yang lebih jelas dibandingkan yang lebih muda, karena mereka cenderung seperti kelompok standar.
Crites membuat beberapa saran untuk siswa konseling yang belum memiliki pola minat. Ia mengusulkan bahwa konseling pendidikan-kejuruan untuk siswa diawali dengan konseling pribadi yang terdapat tujuan perkembangan dari fungsi ego yang lebih sesuai. Untuk memenuhi tugas ini, pewawancara sebaiknya mengaplikasikan prosedur berdasarkan kombinasi dari teori pembelajaran dan psikoanalisis, hampir sama dengan saran yang dirumuskan oleh Dollard dan Miller (1950).

E. Evaluasi
Mempertimbangkan pertentangan profesi yang secara umum memegang pandangan psikoanaliatik terhadap konseling karir, terdapat banyak usaha untuk menguji hipotesis tersebut secara empiris mengenai pilihan kejuruanberakar dari pemikiran analitis. Tidak ada penyelidik yang berusaha untuk mengintegrasikan perilaku karir kedalam teori analitik secara lengkap; malahan usaha yang dibuat adalah untuk mengintegrasikan anatara teori analitik kedalam psikologi karir. Konsep pada kekuatan ego, identifikasi, dan perkembangan kepribadian pada umumnya telah diteliti secara cermat oleh para peneliti. Pada proses tersebut, kekuatan ego tampak telah dipelajari dengan sangat hati-hati dan sangat berhasil, identifikasi dengan kehati-hatian yang kurang dan dengan hasil alami yang kontradiksi, dan perkembangan kepribadian di dalam kerangka analitik yang terlalu luas dipelajari telah membiarkannya untuk menguasai penggunaan potensial dalam konseling.
Jenis-jenis metode penelitian yang meliputi penggunaan Q-sorts untuk menggambarkan sejumlah sifat dari subjek dan/atau orangtuanya dalam kombinasi dengan pola skor Strong Vocational Interest Blank. Terlihat bahwa lebih banyak hasil yang berarti yang dapat didapat melalui penggunaan pernyataan dari pemilihan kejuruan, seleksi kejuruan dan pencapaian kejuruan melalui penggunaan eksklusif skor SVIB. Kesulitan yang mencakup dalam mengharuskan subjek melakukan banyak Q-sorting jarang didiskusikan, tetapi subjek cenderung menjadi ceroboh ketika mereka melakukan sepertiga urutan pada 75 atau 100 jenis yang mendeskripsikan perilaku mereka atau avaluai orang lain menganai perilakunya. Ketika kebanyakan penyelidik melaporkan penemuan positif pada studi yang berdasrkan pada Q-sort, pertimbangan dalam kegunaan yang aktual dari tugas penelitian untuk para subjek harus diambil dalam mengevaluasi hasil studi.
Dalam hampir seluruh studi, dengan kemungkinan pengecualian dari hasil kerja Crites, ukuran sampel yang digunakan masih relatif kecil, dalam beberapa kasus sedikitnya hanya 15 orang per kelompok. Dimana tidak ada kesalahan di dalamnya dan jumlah sampel yang besar sulit didapatkan, generalisasi harus diambil dari penelitian yang terbatas. Keterbatasan seperti ini sangatlah serius karena penggandaan dari penelitian perkembangan kejuruan sulit untuk dicapai dan akhirnya sangant tidak biasa. Selanjutnya, sampalnya sendiri terkadang bukanlah jenis kelompok atau individu yang menjadi perhatian para konselor. Sulit untuk menyamakan mengenai populasi orang dewasa dari data yang berdasarkan sampel siswa. Pada waktu yang bersamaan, sampel siswa pada banyak kasus tidak merepresentasikan semua populasi yang ada di luar bagian sampel yang sedang dipelajari, bahkan pada siswa yang lain. Mahasiswa, terutama mahasiswa tingkat tinggi, tidak sama dengan remaja sekolah menegnah yang tidak berencana untuk masuk kuliah.

F. Implikasi Bagi Konseling
Pandangan psikoanalitik tidak menyarankan teknik khusus untuk psikologi karir seperti yang digunakan pada psikoanalitik pada umumnya. Pendapat yang diutarakan bahwa pilihan karir adalah salah satu dari beberapa keputusan penting yang harus dibuat dalam kehidupan mereka. Fungsi individu secara normal sekiranya mampu untuk mengidentifikasi pentingnya faktor karir yang akan menuntun kepada keputusan karir, dan akan mampu mengembangkan sumber untuk mengimplementasikan keputusan tersebut. Tentunya hal ini akan diingat bahwa setengah pengertian dari Freud tentang orang yang berperilaku baik adalah yang memiliki kemampuan untuk bekerja secara efektif.
Pada orang yang berperilaku tidak teratur, pemilihan karir akan terganggu sejalan dengan pertanggungjawaban perilaku major yang lain. Untuk individu yang kurang beruntung seperti itu, kedudukan psikoanalitik menyatakan tidak ada jalan pintas untuk analisis intensif yang didesain untuk mengidentifikasi hambatan dalam perkembangan, melepaskannya, dan mempercepat proses menuju kedewasaan. Sedikit psikolog ortodoks dari analitik persuasi menganjurkan bahwa konsep analitik mungkin digunakan dalam memahami motif dan sejarah perkembangan di balik pemilihan karir. Proposal Bordin, Nachmann dan Segal (1963), contohnya, dapat berguna baik dalam informasi pekerjaan dan juga dalam diagnostik perbuatan yang memberikan kerangka untuk melaksanakan wawancara untuk menilai kesesuaian kejuruan.
Satu proposal dari Crites (1962) mungkin bernada seperti konsep analitik yang potensial untuk konseling kejuruan. Dengan merujuk pada pertanyaan dari kekuatan ego dan hubungannya dengan masalah pilihan kejuruan, crites mempertanyakan kemungkinan percobaan untuk menolong klien mengembangkan identifkasi yang sesuai dalam dua atau tiga jam wawancara konseling kejuruan. Jika kekuatan ego pada kenyataannya merupakan variabel yang penting dalam perkembangan perilaku kejuruan, saran dari Crites adalah konseling kejuruan harus memberikan perhatian untuk memperkuat ego melalui penggunaan metode konseling personal daripada melalui penekanan pada informasi pekerjaan dan teknik dari pendekatan trait-factor.
Crites berbicara tentang implikasi konseling sebagai pendekatan psikodinamis untuk perkembangan karir (Crites, 1981). Karena hasil kerja Bordin diaplikasikan dengan sangat baik, Crites menggunakannya sebagai contoh. Proses diagnostik secara psikodinamis berdasrkan konseling karir dibagi menjadi beberapa kategori. Pertama, ada yang disebut sebagai kesulitan sintetis (synthetic difficulties), dimana terdapat patologi minimal dan konflik dan dimana masalah utamanya adalah sesuatu yang berhubungan dengan mensintesis pilihan atau mencapai kejelasan kognitif. Kedua, masalah identitas (identity problems), dimana terdapat kesulitan bawah sadar atau setengah sadar dalam pembentukan konsep diri yang dapat dilaksanakan. Ketiga, masalah yang disebut konflik gratifikasi (gratification conflicts) yang menumbuhkan pandangan bahwa pekerjaan menyediakan kesempatan tersendiri satu sama lain untuk gratifikasi psikologi. Selanjutnya adalah mengubah orientasi masalah, dimana masalah harus dihadapi oleh klien dengan bidang atau pekerjan tertentu dan usaha untuk mengubah pekerjaan tersebut ke dalam bentuk lain. Selanjutnya adalah masalah lahirnya patologi, yang secara jelas akan menggangu funsi kerja dikarenakan gejala patologi. Akhirnya, terdapat dua hasil yang tidak terklasifikasikan, satu masalah yang harus ditangani yang melibatkan konflik motivasi dan masalah yang tidak melibatkan konflik motivasi.
Setelah melakukan diagnosa asal masalah, proses konseling meliputi langkah yang disebut eksplorasi (exploration) dan pengaturan perjanjian (setting contract), keputusan dari sifat kritis, yang bukan hanya menyertakan keputusan karir tapi juga alternatif untuk melakukan konseling. Pada akhirnya, proses perubahannya sendiri akan terlibat, termasuk perubahan kepribadian dan karir. Khususnya pada pendekatan psikoanalitik yang digambarkan oleh Crites, tes interpretasi yang secara aktif melibatkan klien dalam pemilihan dan penafsiran instrumen. Informasi pekerjaan juga digunakan berdasarkan interpretasi psikoanalitik dari fungsi pekerjaan seperti perumusan yang direpresentasikan oleh Bordin, Nachmann dan Segal (1963) yang telah disebutkan sebelumnya.
Kekuatan utama dari pendekatan psikoanalitik terhadap pemilihan karir bersandar pada pemahaman dan integritasnya yang berkenaan dengan teori psikologi pada umumnya. Bagaimanapun juga, untuk mengimbangi sifat positif ini, akan terdapat sifat negatif.
Pertama, karena teori psikoanalitik pada intinya berkenaan dengan psikopatologi, proses yang sangat normal dari pemilihan kejuruan harus ditambahkan kedalam teori sebagai bahan renungan, meskipun adanya penekanan bahwa Freud memainkankan peran dalam kehidupan yang memuaskan. Hasil pemikiran Freud memang penting, tetapi ia tidak berkomentar lebih lanjut. Seperti keterbatasan yang dapat disamakan dengan kritik yang dibuat mengenai teori Ginzberg: perkembangan konsep pemilihan karir dari teori psikopatologi sama dengan perkembangan teori penyesuaian pernikahan yang hanya berdasar pada data yang tersedia mengenai pasangan yang telah bercerai.
Keterbatasan yang sangat serius secara analitis yang berdasar pada pemikiran mengenai pemilihan karir adalah terbatasnya peran bakat yang dimainkan dalam pemikiran psikoanalitik. Sementara sangat besar kemungkinan bahwa psikologi terlalu menekankan peran bakat dalam teori karir, hal ini tampak tidak beralasan untuk mengabaikan timbal balik dari pengalaman orang lain yang dgunakan untuk menuntun mereka dalam memilih pekerjaan. Jika salah satu memilih untuk menggunakan konsep pencapaian karir sebagai kriteria dalam teori perkembangan karir, bakat akan diperlukan untuk memainkan peran yang lebih penting.
Masalah terakhir dalam pendekatan analitik untuuk penyeleksian kejuruan adalah kegagalan umum pada teori psikoanalitik yang menganggap kedudukan yang sedikit yang berkaitan dengan penjelasan dari perilaku, kesulitan untuk membenarkan secara eksperimen atau menyangkal konsep analitik. Karena konsep ini begitu berbelit-belit, data eksperimen terkadang konsisten dengan mereka akan tetapi pada saat yang sama dapat dijelaskan oleh gagasan lainyang lebih sederhana.
Sampai sekarang, model analitik hanya memberikan peran yang sedikit dalam psikologi karir, walaupun beberapa aspek telah diintegrasikan lebih jauh kedalam praktik dari psikologi karir, banyak dari metode dan gagasan psikoanalitik dijalinkan dengan psikologi (khususnya psikologi klinik) pada umumnya. Beberapa aspek pada pedekatan analitik sangat menarik dan memperkaya pemahaman perilaku karir tetapi yang lain, khususnya analisis ortodoks, sulit untuk mengaplikasikan konseling karir. Kelihatannya teori analitik akan berlanjut untuk mendesak sekeliling walaupun berdampak besar pada psikologi karir, akan tetapi hal itu tidak akan tampak seperti sesuatu yang baru, keras atau perumusan yang produktif dihasilkan dari bagian psikoanalitik ini.

Selasa, 17 November 2009

NORMING PENGEMBANGAN DARI STRUKTUR KELOMPOK

Bayangkan bila anda adalah seorang penjelajah dari sistem tata surya yang jauh. Meskipun kamu telah dihadapkan dengan banyak hal aneh dan unik di dunia ini dalam perjalanan kamu, kamu harapkan untuk melihat: sebuah matahari besar yang berbentuk gas yang menyediakan kehangatan dan cahaya, satu atau lebih planet mengitari matahari dalam orbitnya masing-masing dan dalam jarak yang berbeda-beda, dan objek yang lebih kecil yang mengitari planet-planet tersebut. Kemudian kamu memberikan perhatian yang seksama terhadap keberaturan planet-planet yang dijelaskan oleh aturan-aturan fisika mengenai kecepatan, massa, dan gravitasi: kekuatan dari ketahanan planet menempati orbitnya, pengaruh setiap objek dalam tata surya kepada setiap objek lain dan pola dari hubungan diantara sistem tata surya. Demikianlah, seperti pengalaman penjelajah yang kamu harap temukan dalam sistem tata surya. (1) beberapa tipe objek ( matahari, planet, bulan) dan (2) bukti dari beberapa ketetapan hukum fisika (3) hubungan diantara objek-objek (daya tarik gravitasi, gaya tolak)
Sekarang bayangkan kamu adalah seorang penjelalah dari kelompok kecil. Sekalipun kamu telah menemukan banyak hal aneh dan unik dalam kelompok-kelompok studi kamu, sebagaimana pendekatan beberapa corak kelompok yang kamu harapkan : seorang pemimpin yang mengatur kegiatan-kegiatan, kelompok dan memberikan kehangatan emosional, di sekitar satu atau lebih anggotanya, setiap kegiatan interaksi dengan pemimpin dan anggota lainnya dengan beragam cara. Kemudian, kamu memberikan perhatian dengan seksama terhadap keberaturan dalam kelompok, pengheruh dari setiap orang terhadap orang lain, dan pola hubungan dalam kelompok. Demikianlah, dalam kelompok semua kelompok kamu akan mengharapkan untuk menemukan: (1) beberapa tipe dari anggota kelompok (pemimpin, pengikut, dan pembelot) dan (2) bukti dari adanya hukum dalam kelompok yang ditetapkan (3) hubungan diantara anggota-anggota kelompoknya (pemimpin berbicara kepada pengikut, pengikut tidak menyukai para pembelot).
Analogi antara tata surya dan kelompok ini diajukan karena lebih membantu menjelaskan apa sebenarnya konsep yang tidak jelas¬—yaitu struktur kelompok. Meskipun seorang astronot dan sebuah dinamika kelompok dapat diamati sebagai suatu entitas yang unik, tetapi akan diperoleh kelebihan jika menggambarkan kesamaan yang diaplikasikan terhadap semua sistem dari semua kelompok. Kemudian astronot menemukan sebuah sistem tata surya yang baru, yang memiliki segi unik tentang bukti-bukti dari sistem struktur dasar—tipe dari planet, operasi dari hukum fisika, dan hubungan diantara benda-benda angkasa. Kesamaannya, corak dinamika kelompok termasuk segi unik dari kelompok untuk bukti dari struktur dasar—tipe-tipe dari peran kelompok, eksistensi dari norma-norma kelompok, dan hubungan intermember dalam kelompok. Dibekali dengan tiga pemahaman dari fakta dalam kelompok tersebut, para peneliti dapat memperoleh segenggam pengetahuan dari struktur kelompok tentang kerangka yang tidak terlihat yang menahan nilai kelompok secara bersama dan sebagian untuk keberaturan tingkah laku para anggota. Sekali struktur kelompok teridentifikasi, hakekat dari interpersonal dalam kelompok dapat dimengerti secara jelas seperti pergerakan planet mengitari matahari.
Walaupun struktur dari kelompok dapat dilihat dari nomor perspektif keberbedaan. (Scott & Scott, 1981), bab ini menjelaskan topik dengan mempertimbangkan keseragaman tingkah laku anggota dalam kelompok, pengaturan standar kelompok, dan cara-cara anggota dihubungkan. Dalam bab sebelumnya kita memeriksa tiga tipe hubungan intermember—relasi otoritas, relasi attraction, dan hubungan komunikasi. Sebelum mempertimbangkan isu tersebut, bagaimanapun kita memeriksa dua konsep kunci—peran dan norm—dengan mengaplikasikan keduanya dalam ice break kelompok yang menarik: orang yang selamat dari kecelakaan pesawat di pantai Andes.

A. Peran
Dalam bab satu secara singkat dijelaskan petualangan kelompok pemberani dari laki-laki dan perempuan yang melewati semua rintangan, yang selamat dari sebuah kecelakaan pesawat di Andes. Meskipun sudah untung untuk selamat, para penumpang segera menyadari mereka bisa tertolong dengan banyak ketidak beruntungan sebelum mereka diselamatkan. Pilot dan kopilot yang merupakan pemimpin dalam pesawat tersebut yang mengetahui cara menyelamatkan diri telah terbunuh dalam kecelakaan tersebut. Secepatnya semua orang yang selamat mengalami luka-luka, dan beberapa orang cidera berat. Satu-satunya tempat berlindung dari kedinginan dan hujan salju telah hancur tertabrak pesawat, dan kondisi yang mencekam disebabkan ketidaknyamanan dan kesakitan. Makanan telah langka, air hanya bisa didapat setelah mencairnya salju sepanjang hari.yang penuh cahaya matahari. Dan satu-satunya bahan baker apai adalah sebongkah kayu dari sebuah peti.
Jika orang-orang yang selamat telah diselamatkan hari esoknya, kemudian sebuah sebuah struktur kelompok tidak akan pernah dikembangkan. Waktu yang dihabiskan bersama orang-orang ini di lereng gunung akan terlalu singkat dan suatu sistem yang rumit tentang hubungan internal tidak akan diperlukan. Sayangnya, Angkatan Udara Uruguay tidak bisa menemukan lokasi tabrakan dan berhenti mencar setelah delapan hari. Terjebak di tempat yang tertutup salju Andes merebut kelansungan hidup di iklim yang ganas, kelompok terpaksa menahan untuk dirinya sendiri. Kelaparan, terluka dan kelelahan, setiap anggota bertahan menjadi tak memungkinkan untuk saling berhubungan sebagai kelompok individu yang bersama menghadapi tantangan. Kepentingan koordinasi kelompok ini adalah untuk pengembangan peranan dan norma-norma tertentu secara relatif dalam kelompok tersebut.
1. Hakikat peran
Pada keesokan hari setelah kecelakaan para penumpang membangkitkan diri sendiri keluar dari shock mereka dan menyelamatkan diri, memperoleh makanan dan air, dan membuat sebuah tempat perlindungan yang seadanya di dalam badan pesawat. Marcello, kapten dari tim rakbi yang mencarter penerbangan itu , mengambil kendali kesluruhan situasi dan mengorganisir orang yang mampu bekerja. Dua diantara laki-laki merupakan mahasiswa kedokteran, dan mereka telah diberi tanggung jawab untuk menangani yang terluka. Seorang wanita yang lebih tua diantara mereka disepakati sebagai perawat mereka. Kelompok laki-laki lain ditugasi melelehkan salju untuk air minum, dan kelompok lain mengatur dan membersihkan tempat perlindungan. Berbagai posisi dalam kepemimpinan kelompok, dokter, perawat, pencair salju, mengartikan peran yang ditetapkan oleh anggota kelompok. Ketika seseorang mengambil peran tertentu dalam suatu kelompok, ia cenderung untuk terlibat dalam suatu standar berperilaku yang memberikan arah, menolong yang sakit, melelehkan salju, atau membersihkan. Lagipula, interaksi antar anggota kelompok mengarahkan kesebuah pola teladan yang lebih besar yang ditentukan oleh kelompok. Sebab peran yang baru dikembangkan, orang-orang yang selamat berubah peran dari suatu tim rakbi menjadi suatu kolmpok yang terstruktur.
Konsep dari peran telah dipinjam para pakar dari teater, di mana istilah tersebut mengacu pada karakter aktor dalam pementasan teater. Tentu saja arti istilah tersebut sedikit berubah ketika digunakan dlam ilmu dinamika kelompok. Dan hubungan antara peran aktor dalam drama dan peran anggota dalam kelompok sangatlah dekat. Sebagai contoh, sama halnya peran dalam teater, dialog menentukan tindakan yang diambil oleh seorang aktor, maka peran dalam kelompok mendikte bagian itu, anggota mengambil bagaian yang dibicarakan, hingga berkontribusi membuat sebuah jenis tingkahlaku yang mereka laksanakan. (Lihat tabel). Sebagai tambahan, seperti peran dalam teater, peran tidak terkait dengan karakteristik pribadi seseorang, da dapat diambil oleh siapa pun. Sama halnya seorang aktor manapun dapat menjadi seorang Romeo, siapun yang melaksanakannya harus melakukannya dengan baik. Berdasarkan hal tersebut, semua orang yang melakukan prilaku yang baik dapat menjadi seorang pemimpin, orang yang diusir, atau sebagai penanya dalam kelompok. Dalam banyak kasus, bahkan ketika orang telah mengisi suatu peran pergi, perannya dapat diisi oleh anggota baru.
Kita dapat mencatat persamaan lain antara peran dalam teater dan peran dalam kelompok. Ketika seseorang mengambil peran Romeo, ia menghafal skrip dan melatih tindakannya. Dia bisa mendalami bagian-bagian perannya dengan membawakan pribadinya kedalam perubahan tingkah laku. Dia tidak bisa menyimpang terlalu jauh dari skrip, atau Romeo tidak akan menjadi Romeo. Persamaannya, peran dalam kelompok sosial merupakan hal yang fleksibel luas dan besar tetapi masih memerlukan suatu perilaku tertentu. Interaksi dengan anggota kelompok akan menjadi kacau jika suatu anggotanya gagal menempati dasar perannya. Lagipula seorang sutradara dapat mengganti peran seseorang apabila dia tidak bagus dalam bermain.( Biddle, 1979; Sarbin & Allen, 1968).
BIDDLE DALAM PENGERTIAN PERAN
Mengacu pada catatan seorang ahli teori peran Bruce J. Biddle, kata peran sering dikemukakan dalam ceramah ilmu sosial, tetapi dengan perbedaan makna yang rumit. Bagi beberapa, kata peran menandakan perilaku yang biasanya digunakan dalam kelompok. Bagi yang lainnya, peran menyediakan basis harapan mengenai perilaku orang dalam berbagai posisi dalam kelompok. Biddle ( 1979, 56-57) menyatakan bahwa kedua konsep tyersebut salah dalam penekanan “ gejala yang menjadi penyebab, dihubungkan dengan, atau diakibatkan oleh pencapaian peran.”. Biddle merasakan bahwa. definisi sempit seperti itu hanya membatasi seperti keseluruhan bola lilin. Kita perlu memulai dengan definisi yang luas dan penuh arti dari konsep peran. Bagi Biddle, suatu peran digambarkan sebagai “perilaku yang merupakan karakteristik seseorang dalam suatu konteks. ( untuk analisa yang lebih dalam lihat Biddle 1979.)
2. Pembedaan peran
Peran kelompok dan peran dalam drama memiliki banyak persamaan satu sama lain, tetapi juga memiliki perbedaan yang signifikan. Jika dalan drama peran diciptakan oleh sutradara dan ditugaskan secara seksama terhadap para akto, dalam sebuah kelompok kecil, peran berkembang dari waktu ke waktu. Ketika pertama kali kelompok dibentuk secara khas peserta mempertimbangkan diri mereka sebagai anggota, pada dasarnya akan sama pada setiap anggota. Namun secara berangsur-angsur dalam sebuah proses yang dimnamakan pembedaan peran, beberapa peran muncul. Seperti pada Andes yang selamat, proses ini terjadi secara cepat, seperti halnya konsisten dengan riset terdahulu yang mengusulkan pembedaan itu adalah kelompok terbesar yang harus mengatasi suatu keadaan darurat atau berhadapan dengan permasalahan sulit ( Bales, 1958). Dalam kelompok ini bersama seorang pemimpin, muncul peran pencipta doktor, perawat, dan pembersih, yang tercipta dari pejalan kaki, yang diciptakan dengan tujuan untuk berjalan kaki bawah dari pegunungan; seperti halnya pengadu, pesimis, optimis dan bermalas-malas.
3. Peran Tugas dan Peran Socioemotional
Para ahli terdahulu berpendapat bahwa pembedaan tingkat peran dalam kelompok terjadi ketika mayoritas anggota saling mengenal satu sama dan mengenal individu sebagai pemimpin dan yang lainya sebagai pengikut. ( lihat Bunny, 1976). Pemimpin cenderung untuk menjadi orang yang paling terkait dengan memenuhi tugas yang ada, mengorganisir kelompok untuk bergerak ke arah pencapaian tujuan, dan memberi dukungan pada semua anggota kelompok lain . Para pengikut, pada sisi lain, menerima bimbingan pemimpin dan mencoba untuk memenuhi tugas.
Di antara para orang yang selamat, Marcelo dikenali sebagai pemimpin, karena posisi nya sebagai kapten regu dalam Rakbi maka, Ia mengambil tanggung jawab untuk mengorganisir kelompok ke dalam regu sebuah kelompok yang terorganisir degan tugasnya masing-masing, dan ternyata survivor yang lain menghormati pendapatnya, dan mempercayakan kepada dia untuk melakukan apa saja yang dapat mengoptimalkan kinerja pertolongan, dan lainnya, seperti doktor dan pasien, guru dan siswa, atau ibu dan putri, Marcelo dan para pengikutnya bersama-sama adalah mitra peran dihubungkan dengan suatu hubungan timbal balik. Sebab kebanyakan dari aktivitas kepemimpinan Marcelo telah terpusat pada capaian tugas kelompok, ia mengisi tugas khusus dalam kelompok itu.

Maas, Linda T. Peranan Dinamika Kelompok dalam Meningkatkan Efektifitas Kerja Tim. ©2004 Digitized by USU digital library
Munir, Baderel. (2001). Dinamika Kelompok Penerapannya dalam Laboratorium ilmu Perilaku. Jakarta: Percetakan Universitas Sriwijaya.
Ratna, S.,dkk. 2003. Dinamika Kelompok. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara
Santosa, Slamet. (2004). Dinamika Kelompok. Jakarta: Bumi Aksara
Walgito, Bimo. (2006). Psikologi Kelompok. Yogyakarta: Andi
A. Pengertian Bimbingan dan Konseling Lintas Budaya
Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja maupun orang dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri; dengan memanfaatkan kemampuan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan; berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien.
Bimbingan dan Konseling Lintas Budaya adalah berbagai hubugan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik/kelompok minoritas atau hubungan konseling yang melibatkan antara konselor dengan klien yang secara sosial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-variabel lain seperti seks, gender, orientasi seksual, faktor sosio ekonomik, dan usia (Alkinson, Morten & Sue).

B. Perkembangan Masa Remaja
Menurut istilah remaja dikenal dengan “adolescere” yang berasal dari kata dala bahasa latin “adolescer” (kata benda adolescentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Freud (yang teori kepribadiannya berorientasi kepada seksual libido; dorongan seksual), manafsirka masa remaja sebagai suatu masa mencari hidup seksual yang mempunyai bentuk yang definitif karena perpaduan (unifikasi) hidup seksual yang banyak bentuknya (poly morph) dan infantile (sifat kekanak-kanakan).
Batas usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12-15 tahun (masa remaja awal), 15-18 tahun (masa remaja pertengahan), 18-21 tahun (masa remaja akhir). Tetapi, Monks, Knoers & Harditono, (2001) membedakan masa remaja menjadi atas empat bagian, yaitu: 1) Masa pra-pubertas (10-12 tahun), 2) Masa remaja awal atau pubertas (12-15 tahun), 3) Masa remaja pertengahan (15-18 tahun), 4) Masa remaja akhir (18-21 tahun). Remaja awal hingga remaja akhir inilah yang disebut masa adolesen.

C. Perkembangan Fisik
Menurut Zigler dan Stevenson (1993), secara garis besarnya perubahan-perubahan tersebut dapat dikelompokan dlam dua kategori, yaitu perubahan-perubahan yang berhubungan dengan pertumbuhan fisik dan perubahan-perubahan yang berhubunga dengan perkembangan karakteristik seksual. Berikut ini akan dijelaskan beberapa dimensi perubahan fisik yang terjadi selama masa remaja.
a. Perubahan dalam Tinggi dan Berat
Rata-rata anak perempuan mencapai tinggi yang matang antara usia tujuh belas dan delapan belas tahun, dan rata-rata anak laki-laki kira-kira setahun sesudahnya. Tinggi rata-rata anak perempuan pada saat ia memulai percepatan pertumbuhannya adala sekitar 59 atau 55 inci, sedangkan tinggi rata-rata anak laki-laki adalah sekitar 59 atau 60 inci. Karena penambahan tinggi anak laki-laki dan permpuan selama masa remaja sekitar 9 atau 10 inci dan setelah itu pertumbuhan relatif lebih sedikit, maka perempuan pada akhirnya lebih pendek dibanding dengan rata-rata pria (Seifert & Hoffnung, 1994)
Perubahan berat badan mengikuti jadwal yang sama dengan perubahan tinggi. Tetapi berat badan sekarang tersebar kebagian-bagian tubuh yang tadinya hanya mengandung sedikit lemak atau tidak mengandung lamak sama sekali.
b. Perubahan dalam Proporsi Tubuh
Perubahan-perubahan dalam proporsi tubuh selama masa remaja, juga terlihat pada perubahan ciri-ciri wajah, dimana wajah anak-anak mulai menghilang, seperti dahi yang semula sempit sekarang menjadi lebih luas, mulut melebar, dan bibir menjadi lebih penuh.
Perubahan proporsi tubuh yang tidak seimbang ini menyebabkan remaja merasa kaku dan canggung, serta mereka khawatir bahwa badannya tidak akan pernah serasi.
c. Perubahan Pubertas
Pubertas (puberty) ialah suau periode dimana kematangan kerangka dan seksual terjadi dengan pesat terutama pada masa awal remaja. Perubahan ini ditandai dengan perubahan pada ciri-ciri seks primer (primary sex characteristics) dan ciri-ciri seks sekunder (secondary sex characteristics)
Perubahan ciri-ciri seks primer
Perubahan seks primer pada pria sngat dipengarui oleh horon perangsang yang diproduksi oleh kelenjarbawah otak (pituitary glad). Hormon perangsang pria ini merangsang testis, sehingga testis menghasilkan ormon testoteron da androgen serta speratozoa (Sarwono, 1994).
Sedangkan padaanak perempuan, perubahan ciri-ciri seks primer ditandai denga munculnya periode menstruasi, yang disebut dengan menarce, yaitu menstruasi yang pertama kali dialami oleh seorang gadis.
Perubahan ciri-ciri seks sekunder
Ciri-ciri sks sekunder adalah tanda-tanda jasmaniah yang tidak langsung berhubungan dengan proses reproduksi, namun merupakan tanda-tanda yang mebedaka antaralaki-laki dnegan perempuan. Tanda-tanda jasmaniah yang terlihat pada laki-laki adalah tumbuh kumis dan janggut, jakun, bahu dan dada melebar, suara berat, tumbuh bulu ketiak, di dada, di kaki dan di lengan, dan disekitar kemaluan, serta otot-otot mejadi kuat. Sedangkan pada permpuan terlihat payudara dan pinggul membesar, suara menjadi halus, tumbuh bulu di ketiak dan disekitar kemaluan.


D. Beberapa Ciri Khas Remaja
1. Perubahan peranan
Perubahan dari masa anak ke masa remaja membawa perubahan pada diri seorang individu. Kalau pada masa anak ia berperanan sebagai seorang individu yang bertingkah laku dan beraksi yang cenderung selalu bergantung dan dilingungi, maka pada masa remaja ia diharapkan untuk mampu berdiri sendiri dan ia pun berkeinginan mandiri.
Akan tetapi sebenarnya ia masih membutuhkan perlindungan dan tempat bergantung dari orang tuanya. Pertentangan antara keinginan untuk bersikap sebagai individu yang mampu berdiri sendiri dengan keinginan untuk tetap bergantung dan dilindungi, akan menimbulkan konflik pada diri remaja. Akibat konflik ini, dalam diri remaja timbul kegelisahan dan kecemasan yang akan mewarnai sikap dan tingkah lakunya. Ia menjadi mudah sekali tersinggung, marah, kecewa dan putus asa.
2. Daya fantasi yang berlebihan
Keterbatasan kemampuan yang ada pada diri remaja menyebabkan ia tidak selalu mampu untuk memenuhi berbagai macam dorongan kebutuhan dirinya.
3. Ikatan kelompok yang kuat
Ketidakmampuan remaja dalam menyalurkan segala keinginan dirinya menyebabkan timbulnya dorongan yang kuat untuk berkelompok. Dalam kelompok, segala kekuatan dirinya seolah-olah dihimpun sehingga menjadi sesuatu kekuatan yang besar. Remaja akan merasa lebih aman dan terlindungi apabila ia berada di tengah-tengah kelompoknya. Oleh karena itu ia berusaha keras untuk dapat diakui oleh kelompoknya dengan cara menyamakan dirinya dengan segala sesuatu yang ada dalam kelompoknya. Rasa setia kawan terjalin dengan erat dan kadang-kadang menjurus ke arah tindak yang membabi buta.
4. Krisis identitas
Tujuan akhir dari suatu perkembangan remaja adalah terbentuknya identitas diri. Dengan terbentuknya identitas diri, seorang individu sudah dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan: siapakah, apakah saya mampu dan dimanakah tempat saya berperan.
Ia telah dapat memahami dirinya sendiri, kemampuan dan kelamahan dirinya serta peranan dirinya dalam lingkungannya. Sebelum identitas diri terbentuk, pada umumnya akan terjadi suatu krisis identitas. Setiap remaja harus mampu melewati krisisnya dan menemukan jati dirinya.


Isu multicultural (lintas budaya) tentunya bukan merupakan hal yang asing dalam konteks bimbingan konseling, karena sesungguhnya proses bimbingan konseling itu sendiri merupakan proses multikultural atau proses pertemuan dua kebudayaan yang berbeda, yaitu kebudayaan yang dimiliki klien dan budaya yang dimiliki konselor.

Dalam multicultural counseling, klien harus dipahami sebagai indivdu yang tinggal dan dibesarkan di lingkungan dimana ia berada, dan dididik sesuai dengan aturan adat-istiadat daerah setempat. Sehingga ia akan berkembang dengan karakteristik-karakteristik psikologis yang unik dan mempunyai ciri khas tertentu, seperti kecerdasan, bakat, minat, sikap, motivasi, kehendak, dan tendensi-tendensi kepribadian lainnya yang tentunya akan berbeda denbgan individu lain yang ada disekitarnya. Ketika ternyata klien berasal dari kebudayaan yag berbeda dengan konselor, maka seorang konselor akan dituntut untuk bisa menyesuaikan atau menghormati budaya yang dimiliki klien demi lancarnya proses konseling.

Demikian juga konselor ketika menghadapi remaja, konselor harus memahami ciri khas yang dimiliki remaja seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya dan juga harus memahami latar belakang budaya yang membawanya memiliki sifat tersebut. Konselor dituntut untuk bisa memahami bahasa remaja yang kadang sulit untuk dimengerti, memahami gaya hidup remaja yang mungkin kita anggap aneh dan yang paling penting adalah dapat membantu mereka menemukan jati dirinya dan menuntun mereka kedalam sebuah pemahaman yang baik dan memadai tentang arti sebuah kehidupan.

Dalam menghadapi remaja membutuhkan kesabaran dan kerja yang ekstra keras, hal ini dikarenakan budaya yang lebih lekat kepada mereka adalah budaya teman atau kelompok tempat dia biasa bergaul, sehingga kadang banyak serkali perilaku yang membingungkan bagi kita sebagai konselor. Ada beberapa hal yang mungkin bagi kita atau bahkan masyarakat pada umumnya adalah hal yang tidak wajar, tapi bagi dia dan kelompoknya adalah hal yang biasa dan lumrah untuk dilakukan. Oleh karena itu bila dalam melakukan konseling konselor hanya terpaku pada diri remaja tersebut sebagai pribadi, proses konseling akan berjalan dengan tidak berdasarkan landasan yang kuat. Konselor harus bisa melihat remaja sebagai seorang anggota dari sebuah kelompok tertentu, dan sifat yang dimilikinya adalah bawaan dari norma dan etika yang dimiliki kelompok tersebut.

Pemahaman yang mendalam tentang remaja memang sangat diperlukan oleh konselor jika ingin proses konseling yang dilakukan bisa berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan dan diinginkan. Berikut akan kami tuliskan beberapa hal tentang aspek-aspek yang dimiliki remaja dan apa yang harus konselor lakukan dalam menghadapi setiap aspek yang dimiliki remaja tersebut.

1. Kondisi Fisik
Penampilan fisik merupakan aspek penting bagi remaja dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Biasanya mereka mempunyai standar-standar tertentu tentang sosok fisik ideal yang mereka dambakan. Misalnya, standar cantik adalah berpostur tinggi, bertubuh langsing, dan
berkulit putih.

Namun tentu saja tidak semua remaja memiliki kondisi fisik seideal itu. Karenanya, remaja mesti belajar menerima dan memanfaatkan seperti
apapun kondisi fisiknya dengan seefektif mungkin.

Remaja perlu menanamkan keyakinan bahwa keindahan lahiriah bukanlah makna yang sesungguhnya dari kecantikan. Kecantikan sejati justru bersumber dari hati nurani, akhlak, serta kepribadian yang baik. Seperti kata pepatah: “Beauty is not in the face, beauty is a light in the heart” (kecantikan bukan pada wajah, melainkan cahaya dari dalam hati). Bahkan dalam Islam, Rasulullah Muhammad SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk-bentuk tubuhmu dan harta-hartamu, tetapi
Allah melihat hati dan amal-amalmu." (HR Muslim)

2. Kebebasan emosional
Pada umumnya, remaja ingin memperoleh kebebasan emosional. Mereka ingin bebas melakukan apa saja yang mereka sukai. Tak heran, sebab dalam masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa, seorang remaja memang senantiasa berusaha agar pendapat atau pikiran-pikirannya diakui dan disejajarkan dengan orang dewasa, alam kedudukannya yang bukan lagi
sekadar objek.

Dengan demikian jika terjadi perbedaan pendapat antara anak dengan orang tua, maka pendekatan yang bersifat demokratis dan terbuka akan terasa lebih bijaksana. Salah satu caranya dapat dilakukan dengan membangun rasa saling pengertian, di mana masing-masing pihak berusaha memahami sudut pandang
pihak lain.


Saling pengertian juga dapat dibangkitkan dengan bertukar pengalaman atau dengan melakukan beberapa aktivitas tertentu bersama-sama, di mana orang tua dapat menempatkan dirinya dalam situasi remaja, dan sebaliknya. Menurut Gordon, inti dari metode pemecahan konflik yang aman antara orang tua dan
anak adalah dengan menjadi pendengar aktif.


3. Interaksi sosial
Kemampuan untuk melakukan interaksi sosial juga sangat penting dalam membentuk konsep diri yang positif, sehingga dia mampu melihat dirinya sebagai orang yang kompeten dan disenangi oleh lingkungannya. Dengan demikian, maka diharapkan dia dapat memiliki gambaran yang wajar tentang dirinya sesuai dengan kenyataan (tidak dikurangi atau dilebih-lebihkan).

Menurut Abdul Halim Abu Syuqqah, dalam bukunya Kebebasan Wanita, pergaulan yang sehat adalah pergaulan yang tidak terjebak dalam dua ekstrem, yakni terlalu sensitif (menutup diri) atau terlalu bebas. Konsep pergaulan semestinya lebih ditekankan kepada hal-hal positif, seperti untuk mempertegas eksistensi diri atau guna menjalin persaudaraan serta menambah wawasan
yang bermanfaat.

4. Pengetahuan terhadap kemampuan diri
Setiap kelebihan atau potensi yang ada dalam diri manusia sesungguhnya bersifat laten. Artinya, ia harus digali dan terus dirangsang agar keluar secara optimal. Dengan demikian, akan terlihat sejauh mana potensi yang ada dan di jalur mana potensi itu terkonsentrasi, untuk selanjutnya diperdalam hingga
dapat melahirkan karya yang berarti.

Dengan mengetahui dan menerima kemampuan diri secara positif, maka seorang remaja diharapkan lebih mampu menentukan keputusan yang tepat terhadap apa yang akan ia jalani, seperti memilih sekolah atau jenis kegiatan
yang akan diikutinya.

5. Penguasaan diri terhadap nilai-nilai moral dan agama
William James, seorang psikolog yang mendalami psikologi agama mengatakan bahwa orang yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai agama cenderung mempunyai jiwa yang lebih sehat. Kondisi tersebut ditampilkan dengan sikap yang positif, optimis, spontan, bahagia, serta penuh gairah dan vitalitas.

Sebaliknya, orang yang memandang agama sebagai suatu kebiasaan yang membosankan atau perjuangan yang berat dan penuh beban, akan memiliki jiwa yang sakit (sick soul). Dia akan dihinggapi oleh penyesalan diri, rasa
bersalah, murung serta tertekan.

Bagi keluarga Muslim, nampaknya harus mulai ditanamkan pemahaman bahwa di usianya si remaja sudah termasuk baligh. Artinya dia sudah taklif, atau bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban agama serta menanggung sendiri dosa-dosanya apabila melanggar kewajiban-kewajiban tersebut. Dengan pemahaman yang kuat terhadap nilai-nilai moral dan agama, maka lingkungan yang buruk tidak akan membuatnya menjadi buruk. Bahkan boleh jadi, si remaja sanggup proaktif mempengaruhi lingkungannya dengan frame
religius

Boeree, C (2005) Personality Theory “Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia“ Jakarta, Risma Sophie

Hurlock (2004) Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga

Nurihsan, Juntika (2005) Strategi Layanan Bimbingan dan Konserling. Bandung: PT. Refika Aditama

Supriadi, Dedi (2001) Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Bimbingan dan Konseling Pendidikan “Konseling Lintas Budaya; Isu-Isu dan Relevansinya di Indonesia ”(tidak diterbitkan)

Surya, Muhammad (2003) Teori-Teori Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy

BUDAYA DAN KESEHATAN FISIK

Kesehatan dalam kebudayaan Amerika diidentikan dengan gaya hidup, dahulu mereka mengira bahwa gaya hidup dapat menyebabkan arah negatif pada kesehatan masyarakat tetapi sekarang mereka menyadari bahwa gaya hidup merupakan salah satu faktor pendukung akan kesehatan masyarakat itu sendiri. Dalam kebudayaan Yunani dan Cina, kesehatan diidentikan dengan kesinergian antara kekuatan diri, alam, dan faktor lainnya. Jika ketiga unsur tersebut seimbang, maka akan terjadi kesehatan yang diharapkan.
Hippocrates menyatakan bahwa pengaruh pandangan terhadap tubuh manusia dan penyakit di banyak negara industri saat itu, memberi kesan bahwa tubuh manusia dipengaruhi oleh empat unsur cairan yang ada dalam tubuh manusia. Cairan tersebut adalah darah, plegma, empedu hitam, dan getah kuning. Jika ke empat unsur cairan tersebut tidak seimbang maka seseorang akan terserang penyakit.
Lain halnya dengan Hippocrates, MacLachlan menyatakan bahwa tubuh manusia dipengaruhi oleh dua faktor yaitu unsur panas dan dingin. Tapi istilah panas dan dingin tersebut tidak sama dengan suhu, melainkan pengertiannya lebih mengacu pada kekuatan hakiki dari substansi-substansi yang berbeda di dalam tubuh manusia. Jika kondisi tubuh sedang panas atau pun dingin maka harus diberi asupan yang sebaliknya. Konsep ini juga serua dengan konsep Yin dan Yang dari Cina.
Sebagai contoh; dalam kebudayaan barat, ternyata sangat memandang tinggi bentuk tubuh yang ideal, seperti tubuh yang kurus. Sedangkan pada masyarakat Kenya keturunan Asia tidaklah demikian, mereka justru sangat menjunjung tinggi orang-orang yang bertubuh gemuk.

2.1. Budaya dan tingkah laku sakit

Tingkah laku sakit, yakni istilah yang Paling umum, didefinisikan sebagai cara-cara dimana gejala ditanggapi, dievaluasi, dan diperankan oleh individu yang mengalami sakit, kurang nyaman, atau tanda-tanda lain dari fungsi tubuh yang kurang baik. (mechanic & Volkhart 1961 : 52).
Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat diperngaruhi oleh factor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama (yang ditentukan secara klinis), tergantung dari variabel-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien. Koos misalnya, telah menunjukan bagaimana tingkah laku sakit berbeda secara mencolok sesuai dengan kelas sosial dan ekonomi dalam populasi yang sekurang-kurangnya homogen. Ia menemukan bahwa para warga lapisan sosial atas dalam suatu masyarakan kecil di bilangan kota New York yang ditelitinya tampaknya lebi cepat menginterpretasi gejala khusus sebagai indikasi sakit, dibandingkan dengan warga kelas sosial bawah; karena itu mereka akan lebih cenderung untuk segera mencari perawatan dokter (Koos 1954: 32-33).
Perbedaan budaya dalam tingkah laku sakit barangkali lebih menonjol daripada perbedaan ekonomi. Dalam suatu studi yang dilakukan pada sebuah rumah sakit veteran di New York, Zborowsky menemukan bahwa orang yahudi dan italia lebih emosional dalam respon mereka terhadap rasa sakit daripada orang Eropa Utara. Walaupun sejumlah dokter merasakan bahwa warga dari kelompok-kelompok tersebut seharusnya memiliki ambang sakit yang lebih rendah dibandingkan dengan warga dari kelompok lain; perbedaannya tak diragukan lagi, bersifat budaya. Karena kebudayaan yahudi dan italia ‘membolehkan pengungkapan bebas perasaan dan emosi melalui kata-kata, bunyi, dan isyarat-isyarat, maka baik orang yahudi maupun orang italia merasa bebas untuk berbicara mengenai rasa sakit mereka, mengeluh dan menunjukan penderitaan mereka dengan mengaduh, menangis dan sebagainya. Mereka tidak merasa malu dengan ekspresi tersebut. Mereka dengan sukarela mengakui bahwa bila kesakitan mereka memang sangat banyak mengelu, minta tolong dan mengharapkan simpati serta bantuan dari warga kelompoknya dalam lingkungan sosialnya yang langsung’.

2.2. Pengaruh Sosiokultural dalam Kesehatan Fisik dan Proses Penyakit Medis
A. Faktor-faktor Psikososial yang Mempengaruhi Kesehatan dan Penyakit
Faktor-faktor psikososial yang berpengaruh terhadap kesehatan dan penyakit diantaranya Pengangguran dan kematian, Sosial Ekonomi, Stres. Menurut Adler dan rekannya, status sosial ekonomi berhubungan dengan kesehatan. Jika status sosial ekonomi seeorang tinggi maka orang itu dapat menikmati kesehatan dengan lebih baik, tetapi kalau status sosial ekonomi orang itu rendah maka tingkat kesehatannya pun buruk dan tidak mendapat pelayanan kesehatan yang memadai.

B. Isolasi Sosial dan Kematian
Para peneliti melakukan penelitian kepada hampir 7000 orang dengan tujuan untuk menemukan tingkat sosial mereka, penelitian yang dilakukan selama 9 tahun ini mendapat hasil akhir dengan jumlah objek menjadi 4725 (2275 orang dikeluarkan dari penelitian) yaitu bahwa individu yang tingkat atau tali sosialnya kecil mendapat tingkat kematian yang tinggi dan individu yang tingkat atau tali sosialnya tinggi mempunyai tingkat kematian yang rendah. Penelitian ini valid karena ditinjau secara statistik dan secara metodologikal yang dikontrol.
C. Individualisme dan Penyakit Cardiovaskular
Faktor-faktor budaya yang mempengaruhi perkembangan penyakit jantung diantaranya adalah:
a. Life style (gaya hidup). Dr Morten Grundtvig dan rekannya dari Innlandet Hospital Trust di Lillehammer, Norwegia, melakukan penelitian terhadap 1.784 pasien yang mendapat serangan jantung pertama kali dan dirawat di rumah sakit Lillehammer. Hasilnya terungkap bahwa pria non-perokok rata-rata akan mendapatkan serangan jantung pertama kali di usia 72 tahun, dan usia 64 tahun pada pria perokok. Sementara wanita nonperokok berpeluang mengalami serangan jantung pada usia 81 tahun, dan usia 66 tahun bagi wanita perokok. Serangan jantung ini dapat terjadi sekitar 8-15 tahun sejak mulai merokok. Apalagi jika ditunjang faktor risiko lain seperti tekanan darah tinggi, kolesterol, dan diabetes.
b. kehidupan sosial budaya. Pertumbuhan ekonomi, perkembangan sosial budaya dan teknologi juga menyebabkan perubahan yang berdampak buruk bagi kesehatan jantung seperti bertambah banyaknya konsumen rokok, narkotika dan minuman keras; menurunnya kebiasaan melakukan aktifitas fisik serta semakin tidak simbangnya pola konsumsi masyarakat. Kondisi itu juga tercermin pada hasil survei sosial ekonomi nasional (susenas) tahun 2004. Menurut hasil survei tersebut anak-anak mulai merokok sejak umur 10 tahun dan 60 persen dari anak-anak umur 15 tahun hingga 19 tahun telah menjadi perokok aktif. Hasil survei yang sama juga menyebutkan bahwa hanya sembilan persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang melakukan olah raga untuk kesehatan. Sementara yang berkaitan dengan pola konsumsi, hasil survei tersebut menyebutkan bahwa hampir 99 persen penduduk indonesia belum mengkonsumsi serat, sayur dan buah dalam jumlah cukup. "anak sekarang juga lebih suka bermain `game` di depan komputer dan mengonsumsi makanan cepat saji yang kandungan kolesterol serta garamnya tinggi," ujarnya serta menambahkan kebiasaan itu memicu obesitas/kegemukan dan selanjutnya dapat meningkatkan resiko terkena penyakit jantung.
c. dukungan sosial dan isolasi sosial. Maksudnya orang yang mendapat dukungan sosial tidak rentan terkena penyakit jantung dan orang yang terisolasi kehidupan sosialnya rentan terkena penyakit jantung.
Sebagai contoh Marmot dan Syme (1976) melakukan penelitian kepada orang Jepang Amerika, mereka mengelompokkan 3.809 orang Jepang yang hidup di Amerika yang masih menggunakan kehidupan tradisional seperti di Jepang tempat mereka berasal (seperti di rumah menggunakan bahasa Jepang, mempertahankan nilai dan kebiasaan orang-orang Jepang). Marmot & Syme menemukan bahwa orang Jepang Amerika yang masih menerapkan budaya Jepang mempunyai tingkat serangan jantung yang rendah sementara kelompok orang Jepang Amerika yang sudah tidak menerapkan budaya Jepang memiliki kecenderungan yang tinggi terkena serangan jantung. Temuan ini menunjukkan bahwa gaya hidup budaya dan sosial mempengaruhi perkembangan penyakit jantung.
D. Dimensi lain Budaya dan Penyakit Lainnnya
Dimensi lain kebudayaan yang mempengaruhi perkembangan penyakit diantaranya:
a. IC (Individualism vs Colectivism).
Individualism-collectivism yaitu sejauh mana derajat individualisme yang berlaku pada suatu masyarakat atau seberapa besar derajat kolektivitas yang terjadi pada masyarakat di suatu negara. Individualisme merupakan tingkat dimana orang-orang di suatu negara lebih memilih bertindak sebagai individu daripada sebagai kelompok. Individualisme bisa didefinisikan sebagai kecenderungan orang-orang untuk hanya memperhatikan kepentingan dirinya sendiri, keluarga atau kerabatnya dan tidak menghiraukan kepentingan masyarakat secara umum. Masyarakat di negara yang tinggi derajat individualismenya pada umumnya didukung oleh etos kerja protestan, tingginya inisiatif individu dan promosi didasarkan pada prestasi kerja. Pada negara-negara yang derajat kolektivitasnya tinggi, individu sangat dibatasi oleh pranata sosial dan norma-norma yang menekankan pada tujuan kelompok atau orang banyak, terdapat kecenderungan orang-orang untuk berkelompok dan saling menjaga satu sama lainnya agar tercipta loyalitas. Masyarakat di negara yang tinggi derajat kolektivitasnya pada umumnya kurang didukung oleh etos kerja protestan, rendahnya inisiatif individu dan promosi didasarkan pada senioritas.
b. PD (Power distance).
Power Distance didefinisikan sebagai tingkat ketidaksamaan diantara orang dalam suatu populasi dan bisa menggambarkan distribusi kekuasaan individu dalam suatu organisasi sehingga secara lebih luas bisa menggambarkan sejauh mana tingkat kesenjangan kekuasaan yang ada pada masyarakat di suatu negara. Jadi power distance menjelaskan bahwa orang-orang yang memiliki kekuasaan yang kecil dalam suatu organisasi menerima jika kekuasaan terdistribusi secara tidak merata atau tidak sama. Power distance merupakan dimensi kultur yang bersifat hirarkis dan menekankan pada eksistensi rentang antara atasan-bawahan berdasarkan kekuasaan formal, simbul-simbul prestise seperti pemisahan ruang kerja, ruang makan, tempat parkir dan adanya konsensus asumsi mengenai berhaknya atasan dalam memerintah bawahan. Power distance yang rendah (low power distance) diindikasikan oleh adanya desentralisasi, struktur organisasi yang bersifat datar atau pendek (flat), supervisor yang sedikit, tenaga kerja level bawah diisi oleh orang-orang yang berkualitas (berkompeten). Sedangkan power distance yang tinggi (high power distance) tercermin pada keberadaan sentralisasi kekuasaan, struktur organisasi yang berjenjang (tinggi), banyaknya tenaga supervisor, tenaga kerja level bawah mengisi pekerjaan yang berkualifikasi rendah. Kondisis tersebut akan memicu ketidakseimbangan kekuasaan antar berbagai tingkatan (level) dalam organisasi.
c. UA (Uncertainty Avoidance).
Uncertainty Avoidance didefinisikan sebagai tingkat dimana orang lebih menyukai situasi yang teratur atau terstruktur daripada situasi yang tidak terstruktur. Situasi yang teratur atau terstruktur menunjuk pada aturan yang jelas tentang bagaimana seseorang harus bertindak dalam melaksanakan segala aktivitasnya. Jadi Uncertainty Avoidance menjelaskan tentang orang yang merasa terancam oleh situasi yang tidak pasti dan telah memiliki keyakinan serta kebiasaan untuk menghindari ketidakpastian tersebut. Masyarakat yang tidak suka dengan ketidakpastian (high uncertainty avoidance) biasanya membutuhkan keamanan, sangat yakin dengan keahlian dan pengetahuan yang dimilikinya, aktivitasnya didasarkan pada struktur organisasi, banyak aturan-aturan tertulis, manajernya kurang berani mengambil risiko, labor turnover yang rendah dan pekerjanya kurang berambisi (misal: Jerman, Jepang, Spanyol). Pada masyarakat dengan derajat uncertainty avoidance yang rendah (low uncertainty avoidance) pada umumnya berani mengambil risiko, hidup harus terus berjalan walaupun penuh dengan risiko, aktivitasnya kurang bertumpu pada struktur organisasi, sedikit aturan-aturan tertulis, manajer lebih berani mengambil risiko, labor turnover relatif tinggi, banyaknya pegawai yang berambisi, organisasi mendorong anggotanya untuk menggunakan inisiatifnya dan berasumsi bahwa mereka akan bertanggung jawab atas semua tindakannya (misal: Denmark, Inggris). Pada level individu, operasional dari uncertainty avoidance bisa ditunjukkan oleh besarnya tuntutan seseorang terhadap keberadaan syarat-syarat pekerjaan dan instruksi yang rinci agar individu selalu tahu apa yang akan dilakukan; intensitas stress dan kecemasan yang menimpa seseorang pada khususnya dan masyarakat pada umumnya; seringnya timbul ketakutan atau kecemasan terhadap situasi yang tidak pasti dan risikonya; derajat implementasi secara konsekuen terhadap undang-undang, hukum dan peraturan yang ada.
d. MA (Masculinity).
Masculinity merupakan tingkat dimana nilai-nilai seperti assertiveness, performa, keberhasilan dan kompetisi yang hampir di seluruh masyarakat berhubungan dengan peranan pria. Jadi masculinity menunjuk pada nilai-nilai yang dominan dalam masyarakat yaitu: kesuksesan, uang dan materi (kebendaan), menekankan pada pendapatan (earning), pengakuan atau penghargaan (recognition), kemajuan (advancement), dan tantangan (challenge). Individu didorong untuk menjadi pengambil keputusan yang independen, keberhasilan ditunjukkan oleh penghargaan dan kemakmuran (kekayaan), stress kerja yang tinggi dan manajer percaya bahwa bawahannya tidak suka kerja maka perlu diawasi secara ketat (misal: Jepang).

E. Ketidaksesuaian Budaya dan Kesehatan Fisik
Ketidaksesuaian budaya berhubungan dengan kesehatan fisik. Semakin besar ketidaksesuaian, seseorang kan bertambah stress dan akibatnya banyak keresahan dan masalah kesehatan membesar.Penelitan matsumoto dan rekannya menunjukkan bahwa ketidaksesuaian nilai budaya yang tinggi antara dir dan masyarakat dapat menyebabkan seseorang stress secara psikologis, hal ini mengharuskan penguasaan diri yang baik jika tidak, maka akan mempengaruhi emosi dan pikiran sehingga indibidu itu akan menderita depresi dan ini dapat memunculkan masalah pada kesehatan fisik.
F. Budaya dan Pola Makan Tidak Teratur
Satu topik kesehatan yang telah banyak menerima perhatian adalah mengenai pola makan yang tidak teratur dan kegemukan. Beberapa penyelidikan telah dilaporkan bahwa terdapat korelasi negatif antara berat badan dengan pendapatan di Amerika Serikat; Seperti orang-orang yang mendapatkan kekayaan lebih, mereka merawat diri untuk menjadi kurus. Di banyak negara lain, hubungan itu justru sebaliknya dan ukuran tubuh dihubungkan dengan kekayaan dan keadan yang berlimpah
Perbedaan kebudayaan dalam menyikapi kegemukan dan kekurusan terlihat berhubungan dengan perbedaannya dalam meyikapi perilaku makan. Dalam penyelidikan Akan dan Grilo, untuk hal, masyarakat Eropa Amerika dilaporkan berada pada level tertinggi dalam pola makan tidak teratur dan perilaku diet, serta ketidakpuasan terhadap tubuh, daripada masyarakat Afrika Amerika.
Nilai-nilai budaya, pendirian, kepercayaan, opini tentang wibawa, kelimpahan, kecantikan dan ketertarikan, kekuatan, serta karakteristik psikologi lainnya mungkin memainkan peran utama dalam menentukan pendirian terhadap makan, kekurusan, dan kegemukkan. Pendirian terakhir itu, sebaliknya, mungkin langsung mempengaruhi hubungan kesehatan dengan perilaku seperti makanan, diet, dan latihan.

G. Budaya dan Bunuh Diri
Penelitian terhadap budaya dan bunuh diri memberi kesan bahwa banyak ketertarikan perbedaan lintas budaya dalam menyikapi bunuh diri, keseluruhan hal dalam perbedaan pemahaman tersebut di mana orang-orang yang berbeda budaya memperlihatkan tidak hanya kematian, tetapi kehidupan itu sendiri.
Satu dari banyak kemuliaan dan penghargaan terhadap perilaku bunuh diri dalam suatu budaya sebagai contoh negaranya adalah Jepang. Cerita para pilot Jepang yang dengan sengaja menubrukan pesawat mereka kedalam target-target musuh selama perang dunia II, membingungkan banyak orang dari kebudayaan lain. Para individu dengan jelas menempatkan keselamatan, jiwa, dan kehormatan negara mereka di atas kehidupan mereka sendiri. Untuk lebih meyakinkan, beberapa perbuatan mengorbankan diri bukanlah batas bagi orang-orang Jepang, maka dari itu para wanita Jepang harus mengetahui posisi pria dalam jangkauan perang, sehingga dapat memahami pengorbanan hidup mereka demi yang lain. Tetapi kasus orang-orang Jepang terhadap bunuh diri terlihat sebagai hal yang misterius dan menjadikan bunuh diri sebagai perbuatan kemuliaan secara alami dalam kebudayaannya.


2.3. Pengaruh Budaya dalam Sikap dan Kepercayaan yang Dikaitkan dengan Kesehatan dan Penyakit

Budaya dapat mempengaruhi kesehatan dalam berbagai jalan. Budaya mempengaruhi sikap tentang keperdulian terhadap kesehatan dan pengobatan, menghubungkan tentang penyebab kesehatan dan proses penyakit, terdapatnya perawatan kesehatan dan pengantar sistem perawatan kesehatan, membantu pencarian sikap, dan banyak aspek-aspek perawatan penyakit dan kesehatan yang lainnya. Kita mengetahui pentingnya keselarasan perbedaan sosial budaya ketika mengembangkan dan program-program intervensi untuk medis dan permasalahan-permasalahan psikologis.
Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap budaya dalam mempengaruhi variabel-variabel psikologis yang berimplikasi pada kesehatan dan penyakit menimbulkan kesan bahwa penyedia perawatan kesehatan membutuhkan kesepakatan tidak hanya dengan penyakit pasien tetapi juga, dan mungkin lebih penting, hubungannya dengan penyakit psikologis. Selalu, kita tidak dapat melupakan perbedaan budaya dalam menyikapi ukuran tubuh dan pendefinisian kesehatan dan penyakit. Sementara pelaksana kesehatan dan institusi di mana mereka bekerja, yaitu klinik, rumah sakit, dan laboratorium, memunculkan bertambahnya rasa sensitif terhadap persoalan itu.

2.4. Model Pengaruh Budaya Terhadap Kesehatan Fisik

Sejauh ini, dalam bahasan bab sebelumnya, telah kita tinjau suatu litelatur budaya mengenai pengaruh budaya terhadap proses penyakit dan kesehatan. Riset ini telah mulai mempengaruhi jenis sistem perawatan serta pelayanan kesehatan kepada masyarakat walaupun dalam varian atau latar budaya yang berbeda. hal itu juga menjadi sebuah gagasan atau bahasan utama dalam pembelajaran variabel-variabel kultur lainnya.
Jadi, seperti apa pengaruh budaya dalam memandang kesehatan dan penyakit? Gambar 9.1 menyimpulkan secara lebih jauh pengaruh budaya terhadap kesehatan fisik, sebagai berikut :

Budaya



Gaya Hidup Dan Perilaku Sikap Dan Keyakinan
Diet Definisi Kesehatan
Latihan Dan Tingkat Aktivitas Konsep Tentang Tubuh
Kesehatan-Dihubungkan Dengan Perilaku Atribut Tentang Penyebab Penyakit
• Merokok Sikap Terhadap Sakit Dan Penyakit
• Mengkonsumsi Tembakau Locus Control
• Mengkonsumsi Alkohol Pelaksanaan Treatmen
• dll Perilaku Mencari Pertolongan
Emosi/Stress/Coping Jaringan Dan Dukungan Sosial


Kesehatan/Penyakit



Lingkungan Sistem Peduli Kesehatan
Suhu Kadar Kepedulian
Iklim Sistem/Organisasi
Kebersihan Asuransi



2.5. Perbedaan Budaya dalam Menyepakati Penyakit
A. Perbedaan Budaya dalam Sistem Penanggulangan Kesehatan dan Pengantaran Medis
Roemer (1993) membagi empat jenis Sistem kesehatan Nasional :
1. Entrepreneurial,
2. Welfare-oriented
3. Komprehensif
4. Sosialis

B. Pendekatan perkembangan terhadap kepekaan budaya
Mengembangkan kepekaan budaya dan perawatan yang tepat. Beberapa penelitian :
1. Ponchilla (1993)
2. Wing, Crow dan Thompson (1995)
3. Deglado (1995)
4. Nemoto dan Coleagues (1998)

2.6. Hubungan Antara Kesehatan, Budaya, Dan Abnormalitas

Dalam pemaparan bab ini, mengenai budaya dan kesehatan fisik ternyata terdapat korelasi positif yang signifikan dengan kondisi psikis seorang individu. Terbukti dengan adanya berbagai penelitian yang dilakukan para ahli mengenai tanggapan para responden mengenai kesehatan pisik mereka. Di dapatkan bahwa kenyaman seseorang terhadap kondisi pisik ditentukan oleh bagaimana persepsi masyarakat khususnya lingkungan budaya mereka memandang hal tersebut, dan itulah yang menjadi pegangan para individu di suatu komunitas.
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan pandangan tersebut terjadi yaitu, adanya penyesuaian menyimpang (Maladjusment) yang dilakukan individu. Penyesuaian diri yang menyimpang atau tingkah laku abnormal ini ditandai dengan respon-respon berikut.
1. Reaksi bertahan (Defence reaction=flight from self).
Reaksi Bertahan merupakan respon yang tidak disadari yang berkembang dalam struktur kepribadian individu, dan menjadi menetap, sebab dapat mereduksi ketegangan dan frustasi, dan dapat memuaskan tuntutan-tuntutan penyesuaian diri.
2. Reaksi Menyerang (Agression Reaction) dan Delinquency.
Agresi dapat diartikan sebagai sebuah bentuk respon untuk mereduksi ketegangan dan frustasi melalui media tingkah laku yang merusak, berkuasa, atau mendominasi.
3. Reaksi melarikan diri dari kenyataan (Escsape & Withdrawal Reaction atau Flight from Reality).
Reaksi melarikan diri dari kenyataan merupakan perlawanan pertahanan diri individu terhadap tuntutan, desakan atau ancaman dari lingkungan dimana dia hidup.
4. Penyesuain diri yang patologis (Flight into Illness).
Penyesuaian yang patologis ini berarti bahwa individu yang mengalaminya perlu mendapatkan perawatan khusus, dan bersifat klinis, bahkan perlu perawatan di rumah sakit.

Pada point ketiga di atas banyak terjadi di negara Jepang saat ini, terutama dalam suicidal. Tetapi hal ini merupakan imbas dari sejarah negara mereka mengenai perilaku bunuh diri yang dianggap sebagai salah satu perbuatan terhormat dan bertanggungjawab.
Mengenai permasalahan abnormalitas, lintas-budaya memandang bahwa hal ini di sebabkan oleh adanya sindrom yang terikat budaya, diantaranya sebagai berikut.
1. Amok
Gangguan yang memiliki ciri, mudah meluapnya amarah dan agresi untuk membunuh yang datang tiba-tiba. Gangguan ini dianggap sebagai akibat stres, kurang tidur dan konsumsi alkohol, terutama terjadi pada laki-laki. Biasa ditemui di beberapa negara Asia (Malaysia, Filipina, Thailand). Tahapan kemunculan Amok:
 Mulai dari penarikan diri yang ektrem
 Munculnya perilaku menyerang,
 Kelelahan dan amnesia setelahnya.
2. Witiko (Windigo)
Gangguan yang diakibatkan masuknya arwah, arwah ini diyakini sebagai arwah Witiko-monster pemakan manusia. Gangguan ini biasa di temui pada orang-orang indian algonquin di Kanada. Akibat yang ditimbulkan:
 Perilaku kanibalistik
 Bunuh diri untuk menghindari perilaku kanibalistik
3. Anorexia nervosa
Gangguan yang timbul akibat dari adanya citra tubuh yang terdistorsi, ketakutan menjadi gemuk, dan berkurangnya berat badan secara drastis akbat menahan diri tidak makan atau memuntahkan makanan. Gangguan ini biasa timbul di Barat tapi belum ada di negara-negara Dunia ketiga. Faktor-faktor penyebab:
 Penekanan kultural pada kelangsingan tubuh perempuan ideal,
 Peran seks yang terikat, dan
 Ketakutan individual akan kehilangan kendali diri atau ketakutan terhadap tanggung jawab masa dewasa.

2.7. Solusi Menghadapi Maladjusment
Merespon Issue ini, para ahli psikologi menyarankan beberapa solusi yang dianggap mampu membantu proses penyembuhan konseli atau klien.
1. Sue dan beberapa orang lain menyarankan agar metode-metode perawatan yang ada dimodifikasi untuk lebih mencocokkannya dengan pandangan dunia dan pengalaman konseli dari berbagai budaya. Misalnya, pendekatan Psikoanalisis di dasarkan pada pandangan dunia yang mengasumsikan adanya konflik-konflik tak sadar (biasanya bersifat seksual) yang memunculkan perilaku abnormal. Tapi pandangan dunia seperti ini mungkin tidak sesuai bila di terapkan pada budaya-budaya yang menatribusikan perilaku abnormal pada faktor-faktor alami (seperti masalah fisik atau ketidakharmonisan dengan lingkungan) atau sebab-sebab supranatural (seperti kerasukan arwah).
2. Terapi. Untuk melakukan terapi, terapis perlu memiliki kompetensi dan dasar pengetahuan yang diperlukan agar dapat memberi perawatan lintas-budaya yang peka dan efektif. Sue dkk menyarankan bahwa terapis yang peka budaya sebaiknya memiliki;
a. Pengetahuan mengenai beragam budaya dan gaya hidup,
b. Keterampilan yang diperlukan dan bisa merasa nyaman untuk menggunakan metodeperawatan yang inovatif, dan
c. Pengalaman nyata bekerja dengan klien dari berbagai budaya.


Dagun, Save M. 1990. Psikologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta
Foster, George. 1999. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI Press.
Matsumoto, David. 2008. Culture and Pshycology. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Yusuf, Umar. 1991. Psikologi Antar Budaya. Bandung: Rosda