Selasa, 17 November 2009

A. Pengertian Bimbingan dan Konseling Lintas Budaya
Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja maupun orang dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri; dengan memanfaatkan kemampuan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan; berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien.
Bimbingan dan Konseling Lintas Budaya adalah berbagai hubugan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik/kelompok minoritas atau hubungan konseling yang melibatkan antara konselor dengan klien yang secara sosial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-variabel lain seperti seks, gender, orientasi seksual, faktor sosio ekonomik, dan usia (Alkinson, Morten & Sue).

B. Perkembangan Masa Remaja
Menurut istilah remaja dikenal dengan “adolescere” yang berasal dari kata dala bahasa latin “adolescer” (kata benda adolescentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Freud (yang teori kepribadiannya berorientasi kepada seksual libido; dorongan seksual), manafsirka masa remaja sebagai suatu masa mencari hidup seksual yang mempunyai bentuk yang definitif karena perpaduan (unifikasi) hidup seksual yang banyak bentuknya (poly morph) dan infantile (sifat kekanak-kanakan).
Batas usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12-15 tahun (masa remaja awal), 15-18 tahun (masa remaja pertengahan), 18-21 tahun (masa remaja akhir). Tetapi, Monks, Knoers & Harditono, (2001) membedakan masa remaja menjadi atas empat bagian, yaitu: 1) Masa pra-pubertas (10-12 tahun), 2) Masa remaja awal atau pubertas (12-15 tahun), 3) Masa remaja pertengahan (15-18 tahun), 4) Masa remaja akhir (18-21 tahun). Remaja awal hingga remaja akhir inilah yang disebut masa adolesen.

C. Perkembangan Fisik
Menurut Zigler dan Stevenson (1993), secara garis besarnya perubahan-perubahan tersebut dapat dikelompokan dlam dua kategori, yaitu perubahan-perubahan yang berhubungan dengan pertumbuhan fisik dan perubahan-perubahan yang berhubunga dengan perkembangan karakteristik seksual. Berikut ini akan dijelaskan beberapa dimensi perubahan fisik yang terjadi selama masa remaja.
a. Perubahan dalam Tinggi dan Berat
Rata-rata anak perempuan mencapai tinggi yang matang antara usia tujuh belas dan delapan belas tahun, dan rata-rata anak laki-laki kira-kira setahun sesudahnya. Tinggi rata-rata anak perempuan pada saat ia memulai percepatan pertumbuhannya adala sekitar 59 atau 55 inci, sedangkan tinggi rata-rata anak laki-laki adalah sekitar 59 atau 60 inci. Karena penambahan tinggi anak laki-laki dan permpuan selama masa remaja sekitar 9 atau 10 inci dan setelah itu pertumbuhan relatif lebih sedikit, maka perempuan pada akhirnya lebih pendek dibanding dengan rata-rata pria (Seifert & Hoffnung, 1994)
Perubahan berat badan mengikuti jadwal yang sama dengan perubahan tinggi. Tetapi berat badan sekarang tersebar kebagian-bagian tubuh yang tadinya hanya mengandung sedikit lemak atau tidak mengandung lamak sama sekali.
b. Perubahan dalam Proporsi Tubuh
Perubahan-perubahan dalam proporsi tubuh selama masa remaja, juga terlihat pada perubahan ciri-ciri wajah, dimana wajah anak-anak mulai menghilang, seperti dahi yang semula sempit sekarang menjadi lebih luas, mulut melebar, dan bibir menjadi lebih penuh.
Perubahan proporsi tubuh yang tidak seimbang ini menyebabkan remaja merasa kaku dan canggung, serta mereka khawatir bahwa badannya tidak akan pernah serasi.
c. Perubahan Pubertas
Pubertas (puberty) ialah suau periode dimana kematangan kerangka dan seksual terjadi dengan pesat terutama pada masa awal remaja. Perubahan ini ditandai dengan perubahan pada ciri-ciri seks primer (primary sex characteristics) dan ciri-ciri seks sekunder (secondary sex characteristics)
Perubahan ciri-ciri seks primer
Perubahan seks primer pada pria sngat dipengarui oleh horon perangsang yang diproduksi oleh kelenjarbawah otak (pituitary glad). Hormon perangsang pria ini merangsang testis, sehingga testis menghasilkan ormon testoteron da androgen serta speratozoa (Sarwono, 1994).
Sedangkan padaanak perempuan, perubahan ciri-ciri seks primer ditandai denga munculnya periode menstruasi, yang disebut dengan menarce, yaitu menstruasi yang pertama kali dialami oleh seorang gadis.
Perubahan ciri-ciri seks sekunder
Ciri-ciri sks sekunder adalah tanda-tanda jasmaniah yang tidak langsung berhubungan dengan proses reproduksi, namun merupakan tanda-tanda yang mebedaka antaralaki-laki dnegan perempuan. Tanda-tanda jasmaniah yang terlihat pada laki-laki adalah tumbuh kumis dan janggut, jakun, bahu dan dada melebar, suara berat, tumbuh bulu ketiak, di dada, di kaki dan di lengan, dan disekitar kemaluan, serta otot-otot mejadi kuat. Sedangkan pada permpuan terlihat payudara dan pinggul membesar, suara menjadi halus, tumbuh bulu di ketiak dan disekitar kemaluan.


D. Beberapa Ciri Khas Remaja
1. Perubahan peranan
Perubahan dari masa anak ke masa remaja membawa perubahan pada diri seorang individu. Kalau pada masa anak ia berperanan sebagai seorang individu yang bertingkah laku dan beraksi yang cenderung selalu bergantung dan dilingungi, maka pada masa remaja ia diharapkan untuk mampu berdiri sendiri dan ia pun berkeinginan mandiri.
Akan tetapi sebenarnya ia masih membutuhkan perlindungan dan tempat bergantung dari orang tuanya. Pertentangan antara keinginan untuk bersikap sebagai individu yang mampu berdiri sendiri dengan keinginan untuk tetap bergantung dan dilindungi, akan menimbulkan konflik pada diri remaja. Akibat konflik ini, dalam diri remaja timbul kegelisahan dan kecemasan yang akan mewarnai sikap dan tingkah lakunya. Ia menjadi mudah sekali tersinggung, marah, kecewa dan putus asa.
2. Daya fantasi yang berlebihan
Keterbatasan kemampuan yang ada pada diri remaja menyebabkan ia tidak selalu mampu untuk memenuhi berbagai macam dorongan kebutuhan dirinya.
3. Ikatan kelompok yang kuat
Ketidakmampuan remaja dalam menyalurkan segala keinginan dirinya menyebabkan timbulnya dorongan yang kuat untuk berkelompok. Dalam kelompok, segala kekuatan dirinya seolah-olah dihimpun sehingga menjadi sesuatu kekuatan yang besar. Remaja akan merasa lebih aman dan terlindungi apabila ia berada di tengah-tengah kelompoknya. Oleh karena itu ia berusaha keras untuk dapat diakui oleh kelompoknya dengan cara menyamakan dirinya dengan segala sesuatu yang ada dalam kelompoknya. Rasa setia kawan terjalin dengan erat dan kadang-kadang menjurus ke arah tindak yang membabi buta.
4. Krisis identitas
Tujuan akhir dari suatu perkembangan remaja adalah terbentuknya identitas diri. Dengan terbentuknya identitas diri, seorang individu sudah dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan: siapakah, apakah saya mampu dan dimanakah tempat saya berperan.
Ia telah dapat memahami dirinya sendiri, kemampuan dan kelamahan dirinya serta peranan dirinya dalam lingkungannya. Sebelum identitas diri terbentuk, pada umumnya akan terjadi suatu krisis identitas. Setiap remaja harus mampu melewati krisisnya dan menemukan jati dirinya.


Isu multicultural (lintas budaya) tentunya bukan merupakan hal yang asing dalam konteks bimbingan konseling, karena sesungguhnya proses bimbingan konseling itu sendiri merupakan proses multikultural atau proses pertemuan dua kebudayaan yang berbeda, yaitu kebudayaan yang dimiliki klien dan budaya yang dimiliki konselor.

Dalam multicultural counseling, klien harus dipahami sebagai indivdu yang tinggal dan dibesarkan di lingkungan dimana ia berada, dan dididik sesuai dengan aturan adat-istiadat daerah setempat. Sehingga ia akan berkembang dengan karakteristik-karakteristik psikologis yang unik dan mempunyai ciri khas tertentu, seperti kecerdasan, bakat, minat, sikap, motivasi, kehendak, dan tendensi-tendensi kepribadian lainnya yang tentunya akan berbeda denbgan individu lain yang ada disekitarnya. Ketika ternyata klien berasal dari kebudayaan yag berbeda dengan konselor, maka seorang konselor akan dituntut untuk bisa menyesuaikan atau menghormati budaya yang dimiliki klien demi lancarnya proses konseling.

Demikian juga konselor ketika menghadapi remaja, konselor harus memahami ciri khas yang dimiliki remaja seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya dan juga harus memahami latar belakang budaya yang membawanya memiliki sifat tersebut. Konselor dituntut untuk bisa memahami bahasa remaja yang kadang sulit untuk dimengerti, memahami gaya hidup remaja yang mungkin kita anggap aneh dan yang paling penting adalah dapat membantu mereka menemukan jati dirinya dan menuntun mereka kedalam sebuah pemahaman yang baik dan memadai tentang arti sebuah kehidupan.

Dalam menghadapi remaja membutuhkan kesabaran dan kerja yang ekstra keras, hal ini dikarenakan budaya yang lebih lekat kepada mereka adalah budaya teman atau kelompok tempat dia biasa bergaul, sehingga kadang banyak serkali perilaku yang membingungkan bagi kita sebagai konselor. Ada beberapa hal yang mungkin bagi kita atau bahkan masyarakat pada umumnya adalah hal yang tidak wajar, tapi bagi dia dan kelompoknya adalah hal yang biasa dan lumrah untuk dilakukan. Oleh karena itu bila dalam melakukan konseling konselor hanya terpaku pada diri remaja tersebut sebagai pribadi, proses konseling akan berjalan dengan tidak berdasarkan landasan yang kuat. Konselor harus bisa melihat remaja sebagai seorang anggota dari sebuah kelompok tertentu, dan sifat yang dimilikinya adalah bawaan dari norma dan etika yang dimiliki kelompok tersebut.

Pemahaman yang mendalam tentang remaja memang sangat diperlukan oleh konselor jika ingin proses konseling yang dilakukan bisa berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan dan diinginkan. Berikut akan kami tuliskan beberapa hal tentang aspek-aspek yang dimiliki remaja dan apa yang harus konselor lakukan dalam menghadapi setiap aspek yang dimiliki remaja tersebut.

1. Kondisi Fisik
Penampilan fisik merupakan aspek penting bagi remaja dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Biasanya mereka mempunyai standar-standar tertentu tentang sosok fisik ideal yang mereka dambakan. Misalnya, standar cantik adalah berpostur tinggi, bertubuh langsing, dan
berkulit putih.

Namun tentu saja tidak semua remaja memiliki kondisi fisik seideal itu. Karenanya, remaja mesti belajar menerima dan memanfaatkan seperti
apapun kondisi fisiknya dengan seefektif mungkin.

Remaja perlu menanamkan keyakinan bahwa keindahan lahiriah bukanlah makna yang sesungguhnya dari kecantikan. Kecantikan sejati justru bersumber dari hati nurani, akhlak, serta kepribadian yang baik. Seperti kata pepatah: “Beauty is not in the face, beauty is a light in the heart” (kecantikan bukan pada wajah, melainkan cahaya dari dalam hati). Bahkan dalam Islam, Rasulullah Muhammad SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk-bentuk tubuhmu dan harta-hartamu, tetapi
Allah melihat hati dan amal-amalmu." (HR Muslim)

2. Kebebasan emosional
Pada umumnya, remaja ingin memperoleh kebebasan emosional. Mereka ingin bebas melakukan apa saja yang mereka sukai. Tak heran, sebab dalam masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa, seorang remaja memang senantiasa berusaha agar pendapat atau pikiran-pikirannya diakui dan disejajarkan dengan orang dewasa, alam kedudukannya yang bukan lagi
sekadar objek.

Dengan demikian jika terjadi perbedaan pendapat antara anak dengan orang tua, maka pendekatan yang bersifat demokratis dan terbuka akan terasa lebih bijaksana. Salah satu caranya dapat dilakukan dengan membangun rasa saling pengertian, di mana masing-masing pihak berusaha memahami sudut pandang
pihak lain.


Saling pengertian juga dapat dibangkitkan dengan bertukar pengalaman atau dengan melakukan beberapa aktivitas tertentu bersama-sama, di mana orang tua dapat menempatkan dirinya dalam situasi remaja, dan sebaliknya. Menurut Gordon, inti dari metode pemecahan konflik yang aman antara orang tua dan
anak adalah dengan menjadi pendengar aktif.


3. Interaksi sosial
Kemampuan untuk melakukan interaksi sosial juga sangat penting dalam membentuk konsep diri yang positif, sehingga dia mampu melihat dirinya sebagai orang yang kompeten dan disenangi oleh lingkungannya. Dengan demikian, maka diharapkan dia dapat memiliki gambaran yang wajar tentang dirinya sesuai dengan kenyataan (tidak dikurangi atau dilebih-lebihkan).

Menurut Abdul Halim Abu Syuqqah, dalam bukunya Kebebasan Wanita, pergaulan yang sehat adalah pergaulan yang tidak terjebak dalam dua ekstrem, yakni terlalu sensitif (menutup diri) atau terlalu bebas. Konsep pergaulan semestinya lebih ditekankan kepada hal-hal positif, seperti untuk mempertegas eksistensi diri atau guna menjalin persaudaraan serta menambah wawasan
yang bermanfaat.

4. Pengetahuan terhadap kemampuan diri
Setiap kelebihan atau potensi yang ada dalam diri manusia sesungguhnya bersifat laten. Artinya, ia harus digali dan terus dirangsang agar keluar secara optimal. Dengan demikian, akan terlihat sejauh mana potensi yang ada dan di jalur mana potensi itu terkonsentrasi, untuk selanjutnya diperdalam hingga
dapat melahirkan karya yang berarti.

Dengan mengetahui dan menerima kemampuan diri secara positif, maka seorang remaja diharapkan lebih mampu menentukan keputusan yang tepat terhadap apa yang akan ia jalani, seperti memilih sekolah atau jenis kegiatan
yang akan diikutinya.

5. Penguasaan diri terhadap nilai-nilai moral dan agama
William James, seorang psikolog yang mendalami psikologi agama mengatakan bahwa orang yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai agama cenderung mempunyai jiwa yang lebih sehat. Kondisi tersebut ditampilkan dengan sikap yang positif, optimis, spontan, bahagia, serta penuh gairah dan vitalitas.

Sebaliknya, orang yang memandang agama sebagai suatu kebiasaan yang membosankan atau perjuangan yang berat dan penuh beban, akan memiliki jiwa yang sakit (sick soul). Dia akan dihinggapi oleh penyesalan diri, rasa
bersalah, murung serta tertekan.

Bagi keluarga Muslim, nampaknya harus mulai ditanamkan pemahaman bahwa di usianya si remaja sudah termasuk baligh. Artinya dia sudah taklif, atau bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban agama serta menanggung sendiri dosa-dosanya apabila melanggar kewajiban-kewajiban tersebut. Dengan pemahaman yang kuat terhadap nilai-nilai moral dan agama, maka lingkungan yang buruk tidak akan membuatnya menjadi buruk. Bahkan boleh jadi, si remaja sanggup proaktif mempengaruhi lingkungannya dengan frame
religius

Boeree, C (2005) Personality Theory “Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia“ Jakarta, Risma Sophie

Hurlock (2004) Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga

Nurihsan, Juntika (2005) Strategi Layanan Bimbingan dan Konserling. Bandung: PT. Refika Aditama

Supriadi, Dedi (2001) Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Bimbingan dan Konseling Pendidikan “Konseling Lintas Budaya; Isu-Isu dan Relevansinya di Indonesia ”(tidak diterbitkan)

Surya, Muhammad (2003) Teori-Teori Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar