Selasa, 17 November 2009

BUDAYA DAN KESEHATAN FISIK

Kesehatan dalam kebudayaan Amerika diidentikan dengan gaya hidup, dahulu mereka mengira bahwa gaya hidup dapat menyebabkan arah negatif pada kesehatan masyarakat tetapi sekarang mereka menyadari bahwa gaya hidup merupakan salah satu faktor pendukung akan kesehatan masyarakat itu sendiri. Dalam kebudayaan Yunani dan Cina, kesehatan diidentikan dengan kesinergian antara kekuatan diri, alam, dan faktor lainnya. Jika ketiga unsur tersebut seimbang, maka akan terjadi kesehatan yang diharapkan.
Hippocrates menyatakan bahwa pengaruh pandangan terhadap tubuh manusia dan penyakit di banyak negara industri saat itu, memberi kesan bahwa tubuh manusia dipengaruhi oleh empat unsur cairan yang ada dalam tubuh manusia. Cairan tersebut adalah darah, plegma, empedu hitam, dan getah kuning. Jika ke empat unsur cairan tersebut tidak seimbang maka seseorang akan terserang penyakit.
Lain halnya dengan Hippocrates, MacLachlan menyatakan bahwa tubuh manusia dipengaruhi oleh dua faktor yaitu unsur panas dan dingin. Tapi istilah panas dan dingin tersebut tidak sama dengan suhu, melainkan pengertiannya lebih mengacu pada kekuatan hakiki dari substansi-substansi yang berbeda di dalam tubuh manusia. Jika kondisi tubuh sedang panas atau pun dingin maka harus diberi asupan yang sebaliknya. Konsep ini juga serua dengan konsep Yin dan Yang dari Cina.
Sebagai contoh; dalam kebudayaan barat, ternyata sangat memandang tinggi bentuk tubuh yang ideal, seperti tubuh yang kurus. Sedangkan pada masyarakat Kenya keturunan Asia tidaklah demikian, mereka justru sangat menjunjung tinggi orang-orang yang bertubuh gemuk.

2.1. Budaya dan tingkah laku sakit

Tingkah laku sakit, yakni istilah yang Paling umum, didefinisikan sebagai cara-cara dimana gejala ditanggapi, dievaluasi, dan diperankan oleh individu yang mengalami sakit, kurang nyaman, atau tanda-tanda lain dari fungsi tubuh yang kurang baik. (mechanic & Volkhart 1961 : 52).
Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat diperngaruhi oleh factor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama (yang ditentukan secara klinis), tergantung dari variabel-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien. Koos misalnya, telah menunjukan bagaimana tingkah laku sakit berbeda secara mencolok sesuai dengan kelas sosial dan ekonomi dalam populasi yang sekurang-kurangnya homogen. Ia menemukan bahwa para warga lapisan sosial atas dalam suatu masyarakan kecil di bilangan kota New York yang ditelitinya tampaknya lebi cepat menginterpretasi gejala khusus sebagai indikasi sakit, dibandingkan dengan warga kelas sosial bawah; karena itu mereka akan lebih cenderung untuk segera mencari perawatan dokter (Koos 1954: 32-33).
Perbedaan budaya dalam tingkah laku sakit barangkali lebih menonjol daripada perbedaan ekonomi. Dalam suatu studi yang dilakukan pada sebuah rumah sakit veteran di New York, Zborowsky menemukan bahwa orang yahudi dan italia lebih emosional dalam respon mereka terhadap rasa sakit daripada orang Eropa Utara. Walaupun sejumlah dokter merasakan bahwa warga dari kelompok-kelompok tersebut seharusnya memiliki ambang sakit yang lebih rendah dibandingkan dengan warga dari kelompok lain; perbedaannya tak diragukan lagi, bersifat budaya. Karena kebudayaan yahudi dan italia ‘membolehkan pengungkapan bebas perasaan dan emosi melalui kata-kata, bunyi, dan isyarat-isyarat, maka baik orang yahudi maupun orang italia merasa bebas untuk berbicara mengenai rasa sakit mereka, mengeluh dan menunjukan penderitaan mereka dengan mengaduh, menangis dan sebagainya. Mereka tidak merasa malu dengan ekspresi tersebut. Mereka dengan sukarela mengakui bahwa bila kesakitan mereka memang sangat banyak mengelu, minta tolong dan mengharapkan simpati serta bantuan dari warga kelompoknya dalam lingkungan sosialnya yang langsung’.

2.2. Pengaruh Sosiokultural dalam Kesehatan Fisik dan Proses Penyakit Medis
A. Faktor-faktor Psikososial yang Mempengaruhi Kesehatan dan Penyakit
Faktor-faktor psikososial yang berpengaruh terhadap kesehatan dan penyakit diantaranya Pengangguran dan kematian, Sosial Ekonomi, Stres. Menurut Adler dan rekannya, status sosial ekonomi berhubungan dengan kesehatan. Jika status sosial ekonomi seeorang tinggi maka orang itu dapat menikmati kesehatan dengan lebih baik, tetapi kalau status sosial ekonomi orang itu rendah maka tingkat kesehatannya pun buruk dan tidak mendapat pelayanan kesehatan yang memadai.

B. Isolasi Sosial dan Kematian
Para peneliti melakukan penelitian kepada hampir 7000 orang dengan tujuan untuk menemukan tingkat sosial mereka, penelitian yang dilakukan selama 9 tahun ini mendapat hasil akhir dengan jumlah objek menjadi 4725 (2275 orang dikeluarkan dari penelitian) yaitu bahwa individu yang tingkat atau tali sosialnya kecil mendapat tingkat kematian yang tinggi dan individu yang tingkat atau tali sosialnya tinggi mempunyai tingkat kematian yang rendah. Penelitian ini valid karena ditinjau secara statistik dan secara metodologikal yang dikontrol.
C. Individualisme dan Penyakit Cardiovaskular
Faktor-faktor budaya yang mempengaruhi perkembangan penyakit jantung diantaranya adalah:
a. Life style (gaya hidup). Dr Morten Grundtvig dan rekannya dari Innlandet Hospital Trust di Lillehammer, Norwegia, melakukan penelitian terhadap 1.784 pasien yang mendapat serangan jantung pertama kali dan dirawat di rumah sakit Lillehammer. Hasilnya terungkap bahwa pria non-perokok rata-rata akan mendapatkan serangan jantung pertama kali di usia 72 tahun, dan usia 64 tahun pada pria perokok. Sementara wanita nonperokok berpeluang mengalami serangan jantung pada usia 81 tahun, dan usia 66 tahun bagi wanita perokok. Serangan jantung ini dapat terjadi sekitar 8-15 tahun sejak mulai merokok. Apalagi jika ditunjang faktor risiko lain seperti tekanan darah tinggi, kolesterol, dan diabetes.
b. kehidupan sosial budaya. Pertumbuhan ekonomi, perkembangan sosial budaya dan teknologi juga menyebabkan perubahan yang berdampak buruk bagi kesehatan jantung seperti bertambah banyaknya konsumen rokok, narkotika dan minuman keras; menurunnya kebiasaan melakukan aktifitas fisik serta semakin tidak simbangnya pola konsumsi masyarakat. Kondisi itu juga tercermin pada hasil survei sosial ekonomi nasional (susenas) tahun 2004. Menurut hasil survei tersebut anak-anak mulai merokok sejak umur 10 tahun dan 60 persen dari anak-anak umur 15 tahun hingga 19 tahun telah menjadi perokok aktif. Hasil survei yang sama juga menyebutkan bahwa hanya sembilan persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang melakukan olah raga untuk kesehatan. Sementara yang berkaitan dengan pola konsumsi, hasil survei tersebut menyebutkan bahwa hampir 99 persen penduduk indonesia belum mengkonsumsi serat, sayur dan buah dalam jumlah cukup. "anak sekarang juga lebih suka bermain `game` di depan komputer dan mengonsumsi makanan cepat saji yang kandungan kolesterol serta garamnya tinggi," ujarnya serta menambahkan kebiasaan itu memicu obesitas/kegemukan dan selanjutnya dapat meningkatkan resiko terkena penyakit jantung.
c. dukungan sosial dan isolasi sosial. Maksudnya orang yang mendapat dukungan sosial tidak rentan terkena penyakit jantung dan orang yang terisolasi kehidupan sosialnya rentan terkena penyakit jantung.
Sebagai contoh Marmot dan Syme (1976) melakukan penelitian kepada orang Jepang Amerika, mereka mengelompokkan 3.809 orang Jepang yang hidup di Amerika yang masih menggunakan kehidupan tradisional seperti di Jepang tempat mereka berasal (seperti di rumah menggunakan bahasa Jepang, mempertahankan nilai dan kebiasaan orang-orang Jepang). Marmot & Syme menemukan bahwa orang Jepang Amerika yang masih menerapkan budaya Jepang mempunyai tingkat serangan jantung yang rendah sementara kelompok orang Jepang Amerika yang sudah tidak menerapkan budaya Jepang memiliki kecenderungan yang tinggi terkena serangan jantung. Temuan ini menunjukkan bahwa gaya hidup budaya dan sosial mempengaruhi perkembangan penyakit jantung.
D. Dimensi lain Budaya dan Penyakit Lainnnya
Dimensi lain kebudayaan yang mempengaruhi perkembangan penyakit diantaranya:
a. IC (Individualism vs Colectivism).
Individualism-collectivism yaitu sejauh mana derajat individualisme yang berlaku pada suatu masyarakat atau seberapa besar derajat kolektivitas yang terjadi pada masyarakat di suatu negara. Individualisme merupakan tingkat dimana orang-orang di suatu negara lebih memilih bertindak sebagai individu daripada sebagai kelompok. Individualisme bisa didefinisikan sebagai kecenderungan orang-orang untuk hanya memperhatikan kepentingan dirinya sendiri, keluarga atau kerabatnya dan tidak menghiraukan kepentingan masyarakat secara umum. Masyarakat di negara yang tinggi derajat individualismenya pada umumnya didukung oleh etos kerja protestan, tingginya inisiatif individu dan promosi didasarkan pada prestasi kerja. Pada negara-negara yang derajat kolektivitasnya tinggi, individu sangat dibatasi oleh pranata sosial dan norma-norma yang menekankan pada tujuan kelompok atau orang banyak, terdapat kecenderungan orang-orang untuk berkelompok dan saling menjaga satu sama lainnya agar tercipta loyalitas. Masyarakat di negara yang tinggi derajat kolektivitasnya pada umumnya kurang didukung oleh etos kerja protestan, rendahnya inisiatif individu dan promosi didasarkan pada senioritas.
b. PD (Power distance).
Power Distance didefinisikan sebagai tingkat ketidaksamaan diantara orang dalam suatu populasi dan bisa menggambarkan distribusi kekuasaan individu dalam suatu organisasi sehingga secara lebih luas bisa menggambarkan sejauh mana tingkat kesenjangan kekuasaan yang ada pada masyarakat di suatu negara. Jadi power distance menjelaskan bahwa orang-orang yang memiliki kekuasaan yang kecil dalam suatu organisasi menerima jika kekuasaan terdistribusi secara tidak merata atau tidak sama. Power distance merupakan dimensi kultur yang bersifat hirarkis dan menekankan pada eksistensi rentang antara atasan-bawahan berdasarkan kekuasaan formal, simbul-simbul prestise seperti pemisahan ruang kerja, ruang makan, tempat parkir dan adanya konsensus asumsi mengenai berhaknya atasan dalam memerintah bawahan. Power distance yang rendah (low power distance) diindikasikan oleh adanya desentralisasi, struktur organisasi yang bersifat datar atau pendek (flat), supervisor yang sedikit, tenaga kerja level bawah diisi oleh orang-orang yang berkualitas (berkompeten). Sedangkan power distance yang tinggi (high power distance) tercermin pada keberadaan sentralisasi kekuasaan, struktur organisasi yang berjenjang (tinggi), banyaknya tenaga supervisor, tenaga kerja level bawah mengisi pekerjaan yang berkualifikasi rendah. Kondisis tersebut akan memicu ketidakseimbangan kekuasaan antar berbagai tingkatan (level) dalam organisasi.
c. UA (Uncertainty Avoidance).
Uncertainty Avoidance didefinisikan sebagai tingkat dimana orang lebih menyukai situasi yang teratur atau terstruktur daripada situasi yang tidak terstruktur. Situasi yang teratur atau terstruktur menunjuk pada aturan yang jelas tentang bagaimana seseorang harus bertindak dalam melaksanakan segala aktivitasnya. Jadi Uncertainty Avoidance menjelaskan tentang orang yang merasa terancam oleh situasi yang tidak pasti dan telah memiliki keyakinan serta kebiasaan untuk menghindari ketidakpastian tersebut. Masyarakat yang tidak suka dengan ketidakpastian (high uncertainty avoidance) biasanya membutuhkan keamanan, sangat yakin dengan keahlian dan pengetahuan yang dimilikinya, aktivitasnya didasarkan pada struktur organisasi, banyak aturan-aturan tertulis, manajernya kurang berani mengambil risiko, labor turnover yang rendah dan pekerjanya kurang berambisi (misal: Jerman, Jepang, Spanyol). Pada masyarakat dengan derajat uncertainty avoidance yang rendah (low uncertainty avoidance) pada umumnya berani mengambil risiko, hidup harus terus berjalan walaupun penuh dengan risiko, aktivitasnya kurang bertumpu pada struktur organisasi, sedikit aturan-aturan tertulis, manajer lebih berani mengambil risiko, labor turnover relatif tinggi, banyaknya pegawai yang berambisi, organisasi mendorong anggotanya untuk menggunakan inisiatifnya dan berasumsi bahwa mereka akan bertanggung jawab atas semua tindakannya (misal: Denmark, Inggris). Pada level individu, operasional dari uncertainty avoidance bisa ditunjukkan oleh besarnya tuntutan seseorang terhadap keberadaan syarat-syarat pekerjaan dan instruksi yang rinci agar individu selalu tahu apa yang akan dilakukan; intensitas stress dan kecemasan yang menimpa seseorang pada khususnya dan masyarakat pada umumnya; seringnya timbul ketakutan atau kecemasan terhadap situasi yang tidak pasti dan risikonya; derajat implementasi secara konsekuen terhadap undang-undang, hukum dan peraturan yang ada.
d. MA (Masculinity).
Masculinity merupakan tingkat dimana nilai-nilai seperti assertiveness, performa, keberhasilan dan kompetisi yang hampir di seluruh masyarakat berhubungan dengan peranan pria. Jadi masculinity menunjuk pada nilai-nilai yang dominan dalam masyarakat yaitu: kesuksesan, uang dan materi (kebendaan), menekankan pada pendapatan (earning), pengakuan atau penghargaan (recognition), kemajuan (advancement), dan tantangan (challenge). Individu didorong untuk menjadi pengambil keputusan yang independen, keberhasilan ditunjukkan oleh penghargaan dan kemakmuran (kekayaan), stress kerja yang tinggi dan manajer percaya bahwa bawahannya tidak suka kerja maka perlu diawasi secara ketat (misal: Jepang).

E. Ketidaksesuaian Budaya dan Kesehatan Fisik
Ketidaksesuaian budaya berhubungan dengan kesehatan fisik. Semakin besar ketidaksesuaian, seseorang kan bertambah stress dan akibatnya banyak keresahan dan masalah kesehatan membesar.Penelitan matsumoto dan rekannya menunjukkan bahwa ketidaksesuaian nilai budaya yang tinggi antara dir dan masyarakat dapat menyebabkan seseorang stress secara psikologis, hal ini mengharuskan penguasaan diri yang baik jika tidak, maka akan mempengaruhi emosi dan pikiran sehingga indibidu itu akan menderita depresi dan ini dapat memunculkan masalah pada kesehatan fisik.
F. Budaya dan Pola Makan Tidak Teratur
Satu topik kesehatan yang telah banyak menerima perhatian adalah mengenai pola makan yang tidak teratur dan kegemukan. Beberapa penyelidikan telah dilaporkan bahwa terdapat korelasi negatif antara berat badan dengan pendapatan di Amerika Serikat; Seperti orang-orang yang mendapatkan kekayaan lebih, mereka merawat diri untuk menjadi kurus. Di banyak negara lain, hubungan itu justru sebaliknya dan ukuran tubuh dihubungkan dengan kekayaan dan keadan yang berlimpah
Perbedaan kebudayaan dalam menyikapi kegemukan dan kekurusan terlihat berhubungan dengan perbedaannya dalam meyikapi perilaku makan. Dalam penyelidikan Akan dan Grilo, untuk hal, masyarakat Eropa Amerika dilaporkan berada pada level tertinggi dalam pola makan tidak teratur dan perilaku diet, serta ketidakpuasan terhadap tubuh, daripada masyarakat Afrika Amerika.
Nilai-nilai budaya, pendirian, kepercayaan, opini tentang wibawa, kelimpahan, kecantikan dan ketertarikan, kekuatan, serta karakteristik psikologi lainnya mungkin memainkan peran utama dalam menentukan pendirian terhadap makan, kekurusan, dan kegemukkan. Pendirian terakhir itu, sebaliknya, mungkin langsung mempengaruhi hubungan kesehatan dengan perilaku seperti makanan, diet, dan latihan.

G. Budaya dan Bunuh Diri
Penelitian terhadap budaya dan bunuh diri memberi kesan bahwa banyak ketertarikan perbedaan lintas budaya dalam menyikapi bunuh diri, keseluruhan hal dalam perbedaan pemahaman tersebut di mana orang-orang yang berbeda budaya memperlihatkan tidak hanya kematian, tetapi kehidupan itu sendiri.
Satu dari banyak kemuliaan dan penghargaan terhadap perilaku bunuh diri dalam suatu budaya sebagai contoh negaranya adalah Jepang. Cerita para pilot Jepang yang dengan sengaja menubrukan pesawat mereka kedalam target-target musuh selama perang dunia II, membingungkan banyak orang dari kebudayaan lain. Para individu dengan jelas menempatkan keselamatan, jiwa, dan kehormatan negara mereka di atas kehidupan mereka sendiri. Untuk lebih meyakinkan, beberapa perbuatan mengorbankan diri bukanlah batas bagi orang-orang Jepang, maka dari itu para wanita Jepang harus mengetahui posisi pria dalam jangkauan perang, sehingga dapat memahami pengorbanan hidup mereka demi yang lain. Tetapi kasus orang-orang Jepang terhadap bunuh diri terlihat sebagai hal yang misterius dan menjadikan bunuh diri sebagai perbuatan kemuliaan secara alami dalam kebudayaannya.


2.3. Pengaruh Budaya dalam Sikap dan Kepercayaan yang Dikaitkan dengan Kesehatan dan Penyakit

Budaya dapat mempengaruhi kesehatan dalam berbagai jalan. Budaya mempengaruhi sikap tentang keperdulian terhadap kesehatan dan pengobatan, menghubungkan tentang penyebab kesehatan dan proses penyakit, terdapatnya perawatan kesehatan dan pengantar sistem perawatan kesehatan, membantu pencarian sikap, dan banyak aspek-aspek perawatan penyakit dan kesehatan yang lainnya. Kita mengetahui pentingnya keselarasan perbedaan sosial budaya ketika mengembangkan dan program-program intervensi untuk medis dan permasalahan-permasalahan psikologis.
Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap budaya dalam mempengaruhi variabel-variabel psikologis yang berimplikasi pada kesehatan dan penyakit menimbulkan kesan bahwa penyedia perawatan kesehatan membutuhkan kesepakatan tidak hanya dengan penyakit pasien tetapi juga, dan mungkin lebih penting, hubungannya dengan penyakit psikologis. Selalu, kita tidak dapat melupakan perbedaan budaya dalam menyikapi ukuran tubuh dan pendefinisian kesehatan dan penyakit. Sementara pelaksana kesehatan dan institusi di mana mereka bekerja, yaitu klinik, rumah sakit, dan laboratorium, memunculkan bertambahnya rasa sensitif terhadap persoalan itu.

2.4. Model Pengaruh Budaya Terhadap Kesehatan Fisik

Sejauh ini, dalam bahasan bab sebelumnya, telah kita tinjau suatu litelatur budaya mengenai pengaruh budaya terhadap proses penyakit dan kesehatan. Riset ini telah mulai mempengaruhi jenis sistem perawatan serta pelayanan kesehatan kepada masyarakat walaupun dalam varian atau latar budaya yang berbeda. hal itu juga menjadi sebuah gagasan atau bahasan utama dalam pembelajaran variabel-variabel kultur lainnya.
Jadi, seperti apa pengaruh budaya dalam memandang kesehatan dan penyakit? Gambar 9.1 menyimpulkan secara lebih jauh pengaruh budaya terhadap kesehatan fisik, sebagai berikut :

Budaya



Gaya Hidup Dan Perilaku Sikap Dan Keyakinan
Diet Definisi Kesehatan
Latihan Dan Tingkat Aktivitas Konsep Tentang Tubuh
Kesehatan-Dihubungkan Dengan Perilaku Atribut Tentang Penyebab Penyakit
• Merokok Sikap Terhadap Sakit Dan Penyakit
• Mengkonsumsi Tembakau Locus Control
• Mengkonsumsi Alkohol Pelaksanaan Treatmen
• dll Perilaku Mencari Pertolongan
Emosi/Stress/Coping Jaringan Dan Dukungan Sosial


Kesehatan/Penyakit



Lingkungan Sistem Peduli Kesehatan
Suhu Kadar Kepedulian
Iklim Sistem/Organisasi
Kebersihan Asuransi



2.5. Perbedaan Budaya dalam Menyepakati Penyakit
A. Perbedaan Budaya dalam Sistem Penanggulangan Kesehatan dan Pengantaran Medis
Roemer (1993) membagi empat jenis Sistem kesehatan Nasional :
1. Entrepreneurial,
2. Welfare-oriented
3. Komprehensif
4. Sosialis

B. Pendekatan perkembangan terhadap kepekaan budaya
Mengembangkan kepekaan budaya dan perawatan yang tepat. Beberapa penelitian :
1. Ponchilla (1993)
2. Wing, Crow dan Thompson (1995)
3. Deglado (1995)
4. Nemoto dan Coleagues (1998)

2.6. Hubungan Antara Kesehatan, Budaya, Dan Abnormalitas

Dalam pemaparan bab ini, mengenai budaya dan kesehatan fisik ternyata terdapat korelasi positif yang signifikan dengan kondisi psikis seorang individu. Terbukti dengan adanya berbagai penelitian yang dilakukan para ahli mengenai tanggapan para responden mengenai kesehatan pisik mereka. Di dapatkan bahwa kenyaman seseorang terhadap kondisi pisik ditentukan oleh bagaimana persepsi masyarakat khususnya lingkungan budaya mereka memandang hal tersebut, dan itulah yang menjadi pegangan para individu di suatu komunitas.
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan pandangan tersebut terjadi yaitu, adanya penyesuaian menyimpang (Maladjusment) yang dilakukan individu. Penyesuaian diri yang menyimpang atau tingkah laku abnormal ini ditandai dengan respon-respon berikut.
1. Reaksi bertahan (Defence reaction=flight from self).
Reaksi Bertahan merupakan respon yang tidak disadari yang berkembang dalam struktur kepribadian individu, dan menjadi menetap, sebab dapat mereduksi ketegangan dan frustasi, dan dapat memuaskan tuntutan-tuntutan penyesuaian diri.
2. Reaksi Menyerang (Agression Reaction) dan Delinquency.
Agresi dapat diartikan sebagai sebuah bentuk respon untuk mereduksi ketegangan dan frustasi melalui media tingkah laku yang merusak, berkuasa, atau mendominasi.
3. Reaksi melarikan diri dari kenyataan (Escsape & Withdrawal Reaction atau Flight from Reality).
Reaksi melarikan diri dari kenyataan merupakan perlawanan pertahanan diri individu terhadap tuntutan, desakan atau ancaman dari lingkungan dimana dia hidup.
4. Penyesuain diri yang patologis (Flight into Illness).
Penyesuaian yang patologis ini berarti bahwa individu yang mengalaminya perlu mendapatkan perawatan khusus, dan bersifat klinis, bahkan perlu perawatan di rumah sakit.

Pada point ketiga di atas banyak terjadi di negara Jepang saat ini, terutama dalam suicidal. Tetapi hal ini merupakan imbas dari sejarah negara mereka mengenai perilaku bunuh diri yang dianggap sebagai salah satu perbuatan terhormat dan bertanggungjawab.
Mengenai permasalahan abnormalitas, lintas-budaya memandang bahwa hal ini di sebabkan oleh adanya sindrom yang terikat budaya, diantaranya sebagai berikut.
1. Amok
Gangguan yang memiliki ciri, mudah meluapnya amarah dan agresi untuk membunuh yang datang tiba-tiba. Gangguan ini dianggap sebagai akibat stres, kurang tidur dan konsumsi alkohol, terutama terjadi pada laki-laki. Biasa ditemui di beberapa negara Asia (Malaysia, Filipina, Thailand). Tahapan kemunculan Amok:
 Mulai dari penarikan diri yang ektrem
 Munculnya perilaku menyerang,
 Kelelahan dan amnesia setelahnya.
2. Witiko (Windigo)
Gangguan yang diakibatkan masuknya arwah, arwah ini diyakini sebagai arwah Witiko-monster pemakan manusia. Gangguan ini biasa di temui pada orang-orang indian algonquin di Kanada. Akibat yang ditimbulkan:
 Perilaku kanibalistik
 Bunuh diri untuk menghindari perilaku kanibalistik
3. Anorexia nervosa
Gangguan yang timbul akibat dari adanya citra tubuh yang terdistorsi, ketakutan menjadi gemuk, dan berkurangnya berat badan secara drastis akbat menahan diri tidak makan atau memuntahkan makanan. Gangguan ini biasa timbul di Barat tapi belum ada di negara-negara Dunia ketiga. Faktor-faktor penyebab:
 Penekanan kultural pada kelangsingan tubuh perempuan ideal,
 Peran seks yang terikat, dan
 Ketakutan individual akan kehilangan kendali diri atau ketakutan terhadap tanggung jawab masa dewasa.

2.7. Solusi Menghadapi Maladjusment
Merespon Issue ini, para ahli psikologi menyarankan beberapa solusi yang dianggap mampu membantu proses penyembuhan konseli atau klien.
1. Sue dan beberapa orang lain menyarankan agar metode-metode perawatan yang ada dimodifikasi untuk lebih mencocokkannya dengan pandangan dunia dan pengalaman konseli dari berbagai budaya. Misalnya, pendekatan Psikoanalisis di dasarkan pada pandangan dunia yang mengasumsikan adanya konflik-konflik tak sadar (biasanya bersifat seksual) yang memunculkan perilaku abnormal. Tapi pandangan dunia seperti ini mungkin tidak sesuai bila di terapkan pada budaya-budaya yang menatribusikan perilaku abnormal pada faktor-faktor alami (seperti masalah fisik atau ketidakharmonisan dengan lingkungan) atau sebab-sebab supranatural (seperti kerasukan arwah).
2. Terapi. Untuk melakukan terapi, terapis perlu memiliki kompetensi dan dasar pengetahuan yang diperlukan agar dapat memberi perawatan lintas-budaya yang peka dan efektif. Sue dkk menyarankan bahwa terapis yang peka budaya sebaiknya memiliki;
a. Pengetahuan mengenai beragam budaya dan gaya hidup,
b. Keterampilan yang diperlukan dan bisa merasa nyaman untuk menggunakan metodeperawatan yang inovatif, dan
c. Pengalaman nyata bekerja dengan klien dari berbagai budaya.


Dagun, Save M. 1990. Psikologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta
Foster, George. 1999. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI Press.
Matsumoto, David. 2008. Culture and Pshycology. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Yusuf, Umar. 1991. Psikologi Antar Budaya. Bandung: Rosda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar