Kesehatan dalam kebudayaan Amerika diidentikan dengan gaya hidup, dahulu mereka mengira bahwa gaya hidup dapat menyebabkan arah negatif pada kesehatan masyarakat tetapi sekarang mereka menyadari bahwa gaya hidup merupakan salah satu faktor pendukung akan kesehatan masyarakat itu sendiri. Dalam kebudayaan Yunani dan Cina, kesehatan diidentikan dengan kesinergian antara kekuatan diri, alam, dan faktor lainnya. Jika ketiga unsur tersebut seimbang, maka akan terjadi kesehatan yang diharapkan.
Hippocrates menyatakan bahwa pengaruh pandangan terhadap tubuh manusia dan penyakit di banyak negara industri saat itu, memberi kesan bahwa tubuh manusia dipengaruhi oleh empat unsur cairan yang ada dalam tubuh manusia. Cairan tersebut adalah darah, plegma, empedu hitam, dan getah kuning. Jika ke empat unsur cairan tersebut tidak seimbang maka seseorang akan terserang penyakit.
Lain halnya dengan Hippocrates, MacLachlan menyatakan bahwa tubuh manusia dipengaruhi oleh dua faktor yaitu unsur panas dan dingin. Tapi istilah panas dan dingin tersebut tidak sama dengan suhu, melainkan pengertiannya lebih mengacu pada kekuatan hakiki dari substansi-substansi yang berbeda di dalam tubuh manusia. Jika kondisi tubuh sedang panas atau pun dingin maka harus diberi asupan yang sebaliknya. Konsep ini juga serua dengan konsep Yin dan Yang dari Cina.
Sebagai contoh; dalam kebudayaan barat, ternyata sangat memandang tinggi bentuk tubuh yang ideal, seperti tubuh yang kurus. Sedangkan pada masyarakat Kenya keturunan Asia tidaklah demikian, mereka justru sangat menjunjung tinggi orang-orang yang bertubuh gemuk.
2.1. Budaya dan tingkah laku sakit
Tingkah laku sakit, yakni istilah yang Paling umum, didefinisikan sebagai cara-cara dimana gejala ditanggapi, dievaluasi, dan diperankan oleh individu yang mengalami sakit, kurang nyaman, atau tanda-tanda lain dari fungsi tubuh yang kurang baik. (mechanic & Volkhart 1961 : 52).
Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat diperngaruhi oleh factor-faktor seperti kelas sosial, perbedaan suku bangsa dan budaya. Maka ancaman kesehatan yang sama (yang ditentukan secara klinis), tergantung dari variabel-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi yang berbeda di kalangan pasien. Koos misalnya, telah menunjukan bagaimana tingkah laku sakit berbeda secara mencolok sesuai dengan kelas sosial dan ekonomi dalam populasi yang sekurang-kurangnya homogen. Ia menemukan bahwa para warga lapisan sosial atas dalam suatu masyarakan kecil di bilangan kota New York yang ditelitinya tampaknya lebi cepat menginterpretasi gejala khusus sebagai indikasi sakit, dibandingkan dengan warga kelas sosial bawah; karena itu mereka akan lebih cenderung untuk segera mencari perawatan dokter (Koos 1954: 32-33).
Perbedaan budaya dalam tingkah laku sakit barangkali lebih menonjol daripada perbedaan ekonomi. Dalam suatu studi yang dilakukan pada sebuah rumah sakit veteran di New York, Zborowsky menemukan bahwa orang yahudi dan italia lebih emosional dalam respon mereka terhadap rasa sakit daripada orang Eropa Utara. Walaupun sejumlah dokter merasakan bahwa warga dari kelompok-kelompok tersebut seharusnya memiliki ambang sakit yang lebih rendah dibandingkan dengan warga dari kelompok lain; perbedaannya tak diragukan lagi, bersifat budaya. Karena kebudayaan yahudi dan italia ‘membolehkan pengungkapan bebas perasaan dan emosi melalui kata-kata, bunyi, dan isyarat-isyarat, maka baik orang yahudi maupun orang italia merasa bebas untuk berbicara mengenai rasa sakit mereka, mengeluh dan menunjukan penderitaan mereka dengan mengaduh, menangis dan sebagainya. Mereka tidak merasa malu dengan ekspresi tersebut. Mereka dengan sukarela mengakui bahwa bila kesakitan mereka memang sangat banyak mengelu, minta tolong dan mengharapkan simpati serta bantuan dari warga kelompoknya dalam lingkungan sosialnya yang langsung’.
2.2. Pengaruh Sosiokultural dalam Kesehatan Fisik dan Proses Penyakit Medis
A. Faktor-faktor Psikososial yang Mempengaruhi Kesehatan dan Penyakit
Faktor-faktor psikososial yang berpengaruh terhadap kesehatan dan penyakit diantaranya Pengangguran dan kematian, Sosial Ekonomi, Stres. Menurut Adler dan rekannya, status sosial ekonomi berhubungan dengan kesehatan. Jika status sosial ekonomi seeorang tinggi maka orang itu dapat menikmati kesehatan dengan lebih baik, tetapi kalau status sosial ekonomi orang itu rendah maka tingkat kesehatannya pun buruk dan tidak mendapat pelayanan kesehatan yang memadai.
B. Isolasi Sosial dan Kematian
Para peneliti melakukan penelitian kepada hampir 7000 orang dengan tujuan untuk menemukan tingkat sosial mereka, penelitian yang dilakukan selama 9 tahun ini mendapat hasil akhir dengan jumlah objek menjadi 4725 (2275 orang dikeluarkan dari penelitian) yaitu bahwa individu yang tingkat atau tali sosialnya kecil mendapat tingkat kematian yang tinggi dan individu yang tingkat atau tali sosialnya tinggi mempunyai tingkat kematian yang rendah. Penelitian ini valid karena ditinjau secara statistik dan secara metodologikal yang dikontrol.
C. Individualisme dan Penyakit Cardiovaskular
Faktor-faktor budaya yang mempengaruhi perkembangan penyakit jantung diantaranya adalah:
a. Life style (gaya hidup). Dr Morten Grundtvig dan rekannya dari Innlandet Hospital Trust di Lillehammer, Norwegia, melakukan penelitian terhadap 1.784 pasien yang mendapat serangan jantung pertama kali dan dirawat di rumah sakit Lillehammer. Hasilnya terungkap bahwa pria non-perokok rata-rata akan mendapatkan serangan jantung pertama kali di usia 72 tahun, dan usia 64 tahun pada pria perokok. Sementara wanita nonperokok berpeluang mengalami serangan jantung pada usia 81 tahun, dan usia 66 tahun bagi wanita perokok. Serangan jantung ini dapat terjadi sekitar 8-15 tahun sejak mulai merokok. Apalagi jika ditunjang faktor risiko lain seperti tekanan darah tinggi, kolesterol, dan diabetes.
b. kehidupan sosial budaya. Pertumbuhan ekonomi, perkembangan sosial budaya dan teknologi juga menyebabkan perubahan yang berdampak buruk bagi kesehatan jantung seperti bertambah banyaknya konsumen rokok, narkotika dan minuman keras; menurunnya kebiasaan melakukan aktifitas fisik serta semakin tidak simbangnya pola konsumsi masyarakat. Kondisi itu juga tercermin pada hasil survei sosial ekonomi nasional (susenas) tahun 2004. Menurut hasil survei tersebut anak-anak mulai merokok sejak umur 10 tahun dan 60 persen dari anak-anak umur 15 tahun hingga 19 tahun telah menjadi perokok aktif. Hasil survei yang sama juga menyebutkan bahwa hanya sembilan persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang melakukan olah raga untuk kesehatan. Sementara yang berkaitan dengan pola konsumsi, hasil survei tersebut menyebutkan bahwa hampir 99 persen penduduk indonesia belum mengkonsumsi serat, sayur dan buah dalam jumlah cukup. "anak sekarang juga lebih suka bermain `game` di depan komputer dan mengonsumsi makanan cepat saji yang kandungan kolesterol serta garamnya tinggi," ujarnya serta menambahkan kebiasaan itu memicu obesitas/kegemukan dan selanjutnya dapat meningkatkan resiko terkena penyakit jantung.
c. dukungan sosial dan isolasi sosial. Maksudnya orang yang mendapat dukungan sosial tidak rentan terkena penyakit jantung dan orang yang terisolasi kehidupan sosialnya rentan terkena penyakit jantung.
Sebagai contoh Marmot dan Syme (1976) melakukan penelitian kepada orang Jepang Amerika, mereka mengelompokkan 3.809 orang Jepang yang hidup di Amerika yang masih menggunakan kehidupan tradisional seperti di Jepang tempat mereka berasal (seperti di rumah menggunakan bahasa Jepang, mempertahankan nilai dan kebiasaan orang-orang Jepang). Marmot & Syme menemukan bahwa orang Jepang Amerika yang masih menerapkan budaya Jepang mempunyai tingkat serangan jantung yang rendah sementara kelompok orang Jepang Amerika yang sudah tidak menerapkan budaya Jepang memiliki kecenderungan yang tinggi terkena serangan jantung. Temuan ini menunjukkan bahwa gaya hidup budaya dan sosial mempengaruhi perkembangan penyakit jantung.
D. Dimensi lain Budaya dan Penyakit Lainnnya
Dimensi lain kebudayaan yang mempengaruhi perkembangan penyakit diantaranya:
a. IC (Individualism vs Colectivism).
Individualism-collectivism yaitu sejauh mana derajat individualisme yang berlaku pada suatu masyarakat atau seberapa besar derajat kolektivitas yang terjadi pada masyarakat di suatu negara. Individualisme merupakan tingkat dimana orang-orang di suatu negara lebih memilih bertindak sebagai individu daripada sebagai kelompok. Individualisme bisa didefinisikan sebagai kecenderungan orang-orang untuk hanya memperhatikan kepentingan dirinya sendiri, keluarga atau kerabatnya dan tidak menghiraukan kepentingan masyarakat secara umum. Masyarakat di negara yang tinggi derajat individualismenya pada umumnya didukung oleh etos kerja protestan, tingginya inisiatif individu dan promosi didasarkan pada prestasi kerja. Pada negara-negara yang derajat kolektivitasnya tinggi, individu sangat dibatasi oleh pranata sosial dan norma-norma yang menekankan pada tujuan kelompok atau orang banyak, terdapat kecenderungan orang-orang untuk berkelompok dan saling menjaga satu sama lainnya agar tercipta loyalitas. Masyarakat di negara yang tinggi derajat kolektivitasnya pada umumnya kurang didukung oleh etos kerja protestan, rendahnya inisiatif individu dan promosi didasarkan pada senioritas.
b. PD (Power distance).
Power Distance didefinisikan sebagai tingkat ketidaksamaan diantara orang dalam suatu populasi dan bisa menggambarkan distribusi kekuasaan individu dalam suatu organisasi sehingga secara lebih luas bisa menggambarkan sejauh mana tingkat kesenjangan kekuasaan yang ada pada masyarakat di suatu negara. Jadi power distance menjelaskan bahwa orang-orang yang memiliki kekuasaan yang kecil dalam suatu organisasi menerima jika kekuasaan terdistribusi secara tidak merata atau tidak sama. Power distance merupakan dimensi kultur yang bersifat hirarkis dan menekankan pada eksistensi rentang antara atasan-bawahan berdasarkan kekuasaan formal, simbul-simbul prestise seperti pemisahan ruang kerja, ruang makan, tempat parkir dan adanya konsensus asumsi mengenai berhaknya atasan dalam memerintah bawahan. Power distance yang rendah (low power distance) diindikasikan oleh adanya desentralisasi, struktur organisasi yang bersifat datar atau pendek (flat), supervisor yang sedikit, tenaga kerja level bawah diisi oleh orang-orang yang berkualitas (berkompeten). Sedangkan power distance yang tinggi (high power distance) tercermin pada keberadaan sentralisasi kekuasaan, struktur organisasi yang berjenjang (tinggi), banyaknya tenaga supervisor, tenaga kerja level bawah mengisi pekerjaan yang berkualifikasi rendah. Kondisis tersebut akan memicu ketidakseimbangan kekuasaan antar berbagai tingkatan (level) dalam organisasi.
c. UA (Uncertainty Avoidance).
Uncertainty Avoidance didefinisikan sebagai tingkat dimana orang lebih menyukai situasi yang teratur atau terstruktur daripada situasi yang tidak terstruktur. Situasi yang teratur atau terstruktur menunjuk pada aturan yang jelas tentang bagaimana seseorang harus bertindak dalam melaksanakan segala aktivitasnya. Jadi Uncertainty Avoidance menjelaskan tentang orang yang merasa terancam oleh situasi yang tidak pasti dan telah memiliki keyakinan serta kebiasaan untuk menghindari ketidakpastian tersebut. Masyarakat yang tidak suka dengan ketidakpastian (high uncertainty avoidance) biasanya membutuhkan keamanan, sangat yakin dengan keahlian dan pengetahuan yang dimilikinya, aktivitasnya didasarkan pada struktur organisasi, banyak aturan-aturan tertulis, manajernya kurang berani mengambil risiko, labor turnover yang rendah dan pekerjanya kurang berambisi (misal: Jerman, Jepang, Spanyol). Pada masyarakat dengan derajat uncertainty avoidance yang rendah (low uncertainty avoidance) pada umumnya berani mengambil risiko, hidup harus terus berjalan walaupun penuh dengan risiko, aktivitasnya kurang bertumpu pada struktur organisasi, sedikit aturan-aturan tertulis, manajer lebih berani mengambil risiko, labor turnover relatif tinggi, banyaknya pegawai yang berambisi, organisasi mendorong anggotanya untuk menggunakan inisiatifnya dan berasumsi bahwa mereka akan bertanggung jawab atas semua tindakannya (misal: Denmark, Inggris). Pada level individu, operasional dari uncertainty avoidance bisa ditunjukkan oleh besarnya tuntutan seseorang terhadap keberadaan syarat-syarat pekerjaan dan instruksi yang rinci agar individu selalu tahu apa yang akan dilakukan; intensitas stress dan kecemasan yang menimpa seseorang pada khususnya dan masyarakat pada umumnya; seringnya timbul ketakutan atau kecemasan terhadap situasi yang tidak pasti dan risikonya; derajat implementasi secara konsekuen terhadap undang-undang, hukum dan peraturan yang ada.
d. MA (Masculinity).
Masculinity merupakan tingkat dimana nilai-nilai seperti assertiveness, performa, keberhasilan dan kompetisi yang hampir di seluruh masyarakat berhubungan dengan peranan pria. Jadi masculinity menunjuk pada nilai-nilai yang dominan dalam masyarakat yaitu: kesuksesan, uang dan materi (kebendaan), menekankan pada pendapatan (earning), pengakuan atau penghargaan (recognition), kemajuan (advancement), dan tantangan (challenge). Individu didorong untuk menjadi pengambil keputusan yang independen, keberhasilan ditunjukkan oleh penghargaan dan kemakmuran (kekayaan), stress kerja yang tinggi dan manajer percaya bahwa bawahannya tidak suka kerja maka perlu diawasi secara ketat (misal: Jepang).
E. Ketidaksesuaian Budaya dan Kesehatan Fisik
Ketidaksesuaian budaya berhubungan dengan kesehatan fisik. Semakin besar ketidaksesuaian, seseorang kan bertambah stress dan akibatnya banyak keresahan dan masalah kesehatan membesar.Penelitan matsumoto dan rekannya menunjukkan bahwa ketidaksesuaian nilai budaya yang tinggi antara dir dan masyarakat dapat menyebabkan seseorang stress secara psikologis, hal ini mengharuskan penguasaan diri yang baik jika tidak, maka akan mempengaruhi emosi dan pikiran sehingga indibidu itu akan menderita depresi dan ini dapat memunculkan masalah pada kesehatan fisik.
F. Budaya dan Pola Makan Tidak Teratur
Satu topik kesehatan yang telah banyak menerima perhatian adalah mengenai pola makan yang tidak teratur dan kegemukan. Beberapa penyelidikan telah dilaporkan bahwa terdapat korelasi negatif antara berat badan dengan pendapatan di Amerika Serikat; Seperti orang-orang yang mendapatkan kekayaan lebih, mereka merawat diri untuk menjadi kurus. Di banyak negara lain, hubungan itu justru sebaliknya dan ukuran tubuh dihubungkan dengan kekayaan dan keadan yang berlimpah
Perbedaan kebudayaan dalam menyikapi kegemukan dan kekurusan terlihat berhubungan dengan perbedaannya dalam meyikapi perilaku makan. Dalam penyelidikan Akan dan Grilo, untuk hal, masyarakat Eropa Amerika dilaporkan berada pada level tertinggi dalam pola makan tidak teratur dan perilaku diet, serta ketidakpuasan terhadap tubuh, daripada masyarakat Afrika Amerika.
Nilai-nilai budaya, pendirian, kepercayaan, opini tentang wibawa, kelimpahan, kecantikan dan ketertarikan, kekuatan, serta karakteristik psikologi lainnya mungkin memainkan peran utama dalam menentukan pendirian terhadap makan, kekurusan, dan kegemukkan. Pendirian terakhir itu, sebaliknya, mungkin langsung mempengaruhi hubungan kesehatan dengan perilaku seperti makanan, diet, dan latihan.
G. Budaya dan Bunuh Diri
Penelitian terhadap budaya dan bunuh diri memberi kesan bahwa banyak ketertarikan perbedaan lintas budaya dalam menyikapi bunuh diri, keseluruhan hal dalam perbedaan pemahaman tersebut di mana orang-orang yang berbeda budaya memperlihatkan tidak hanya kematian, tetapi kehidupan itu sendiri.
Satu dari banyak kemuliaan dan penghargaan terhadap perilaku bunuh diri dalam suatu budaya sebagai contoh negaranya adalah Jepang. Cerita para pilot Jepang yang dengan sengaja menubrukan pesawat mereka kedalam target-target musuh selama perang dunia II, membingungkan banyak orang dari kebudayaan lain. Para individu dengan jelas menempatkan keselamatan, jiwa, dan kehormatan negara mereka di atas kehidupan mereka sendiri. Untuk lebih meyakinkan, beberapa perbuatan mengorbankan diri bukanlah batas bagi orang-orang Jepang, maka dari itu para wanita Jepang harus mengetahui posisi pria dalam jangkauan perang, sehingga dapat memahami pengorbanan hidup mereka demi yang lain. Tetapi kasus orang-orang Jepang terhadap bunuh diri terlihat sebagai hal yang misterius dan menjadikan bunuh diri sebagai perbuatan kemuliaan secara alami dalam kebudayaannya.
2.3. Pengaruh Budaya dalam Sikap dan Kepercayaan yang Dikaitkan dengan Kesehatan dan Penyakit
Budaya dapat mempengaruhi kesehatan dalam berbagai jalan. Budaya mempengaruhi sikap tentang keperdulian terhadap kesehatan dan pengobatan, menghubungkan tentang penyebab kesehatan dan proses penyakit, terdapatnya perawatan kesehatan dan pengantar sistem perawatan kesehatan, membantu pencarian sikap, dan banyak aspek-aspek perawatan penyakit dan kesehatan yang lainnya. Kita mengetahui pentingnya keselarasan perbedaan sosial budaya ketika mengembangkan dan program-program intervensi untuk medis dan permasalahan-permasalahan psikologis.
Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap budaya dalam mempengaruhi variabel-variabel psikologis yang berimplikasi pada kesehatan dan penyakit menimbulkan kesan bahwa penyedia perawatan kesehatan membutuhkan kesepakatan tidak hanya dengan penyakit pasien tetapi juga, dan mungkin lebih penting, hubungannya dengan penyakit psikologis. Selalu, kita tidak dapat melupakan perbedaan budaya dalam menyikapi ukuran tubuh dan pendefinisian kesehatan dan penyakit. Sementara pelaksana kesehatan dan institusi di mana mereka bekerja, yaitu klinik, rumah sakit, dan laboratorium, memunculkan bertambahnya rasa sensitif terhadap persoalan itu.
2.4. Model Pengaruh Budaya Terhadap Kesehatan Fisik
Sejauh ini, dalam bahasan bab sebelumnya, telah kita tinjau suatu litelatur budaya mengenai pengaruh budaya terhadap proses penyakit dan kesehatan. Riset ini telah mulai mempengaruhi jenis sistem perawatan serta pelayanan kesehatan kepada masyarakat walaupun dalam varian atau latar budaya yang berbeda. hal itu juga menjadi sebuah gagasan atau bahasan utama dalam pembelajaran variabel-variabel kultur lainnya.
Jadi, seperti apa pengaruh budaya dalam memandang kesehatan dan penyakit? Gambar 9.1 menyimpulkan secara lebih jauh pengaruh budaya terhadap kesehatan fisik, sebagai berikut :
Budaya
Gaya Hidup Dan Perilaku Sikap Dan Keyakinan
Diet Definisi Kesehatan
Latihan Dan Tingkat Aktivitas Konsep Tentang Tubuh
Kesehatan-Dihubungkan Dengan Perilaku Atribut Tentang Penyebab Penyakit
• Merokok Sikap Terhadap Sakit Dan Penyakit
• Mengkonsumsi Tembakau Locus Control
• Mengkonsumsi Alkohol Pelaksanaan Treatmen
• dll Perilaku Mencari Pertolongan
Emosi/Stress/Coping Jaringan Dan Dukungan Sosial
Kesehatan/Penyakit
Lingkungan Sistem Peduli Kesehatan
Suhu Kadar Kepedulian
Iklim Sistem/Organisasi
Kebersihan Asuransi
2.5. Perbedaan Budaya dalam Menyepakati Penyakit
A. Perbedaan Budaya dalam Sistem Penanggulangan Kesehatan dan Pengantaran Medis
Roemer (1993) membagi empat jenis Sistem kesehatan Nasional :
1. Entrepreneurial,
2. Welfare-oriented
3. Komprehensif
4. Sosialis
B. Pendekatan perkembangan terhadap kepekaan budaya
Mengembangkan kepekaan budaya dan perawatan yang tepat. Beberapa penelitian :
1. Ponchilla (1993)
2. Wing, Crow dan Thompson (1995)
3. Deglado (1995)
4. Nemoto dan Coleagues (1998)
2.6. Hubungan Antara Kesehatan, Budaya, Dan Abnormalitas
Dalam pemaparan bab ini, mengenai budaya dan kesehatan fisik ternyata terdapat korelasi positif yang signifikan dengan kondisi psikis seorang individu. Terbukti dengan adanya berbagai penelitian yang dilakukan para ahli mengenai tanggapan para responden mengenai kesehatan pisik mereka. Di dapatkan bahwa kenyaman seseorang terhadap kondisi pisik ditentukan oleh bagaimana persepsi masyarakat khususnya lingkungan budaya mereka memandang hal tersebut, dan itulah yang menjadi pegangan para individu di suatu komunitas.
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan pandangan tersebut terjadi yaitu, adanya penyesuaian menyimpang (Maladjusment) yang dilakukan individu. Penyesuaian diri yang menyimpang atau tingkah laku abnormal ini ditandai dengan respon-respon berikut.
1. Reaksi bertahan (Defence reaction=flight from self).
Reaksi Bertahan merupakan respon yang tidak disadari yang berkembang dalam struktur kepribadian individu, dan menjadi menetap, sebab dapat mereduksi ketegangan dan frustasi, dan dapat memuaskan tuntutan-tuntutan penyesuaian diri.
2. Reaksi Menyerang (Agression Reaction) dan Delinquency.
Agresi dapat diartikan sebagai sebuah bentuk respon untuk mereduksi ketegangan dan frustasi melalui media tingkah laku yang merusak, berkuasa, atau mendominasi.
3. Reaksi melarikan diri dari kenyataan (Escsape & Withdrawal Reaction atau Flight from Reality).
Reaksi melarikan diri dari kenyataan merupakan perlawanan pertahanan diri individu terhadap tuntutan, desakan atau ancaman dari lingkungan dimana dia hidup.
4. Penyesuain diri yang patologis (Flight into Illness).
Penyesuaian yang patologis ini berarti bahwa individu yang mengalaminya perlu mendapatkan perawatan khusus, dan bersifat klinis, bahkan perlu perawatan di rumah sakit.
Pada point ketiga di atas banyak terjadi di negara Jepang saat ini, terutama dalam suicidal. Tetapi hal ini merupakan imbas dari sejarah negara mereka mengenai perilaku bunuh diri yang dianggap sebagai salah satu perbuatan terhormat dan bertanggungjawab.
Mengenai permasalahan abnormalitas, lintas-budaya memandang bahwa hal ini di sebabkan oleh adanya sindrom yang terikat budaya, diantaranya sebagai berikut.
1. Amok
Gangguan yang memiliki ciri, mudah meluapnya amarah dan agresi untuk membunuh yang datang tiba-tiba. Gangguan ini dianggap sebagai akibat stres, kurang tidur dan konsumsi alkohol, terutama terjadi pada laki-laki. Biasa ditemui di beberapa negara Asia (Malaysia, Filipina, Thailand). Tahapan kemunculan Amok:
Mulai dari penarikan diri yang ektrem
Munculnya perilaku menyerang,
Kelelahan dan amnesia setelahnya.
2. Witiko (Windigo)
Gangguan yang diakibatkan masuknya arwah, arwah ini diyakini sebagai arwah Witiko-monster pemakan manusia. Gangguan ini biasa di temui pada orang-orang indian algonquin di Kanada. Akibat yang ditimbulkan:
Perilaku kanibalistik
Bunuh diri untuk menghindari perilaku kanibalistik
3. Anorexia nervosa
Gangguan yang timbul akibat dari adanya citra tubuh yang terdistorsi, ketakutan menjadi gemuk, dan berkurangnya berat badan secara drastis akbat menahan diri tidak makan atau memuntahkan makanan. Gangguan ini biasa timbul di Barat tapi belum ada di negara-negara Dunia ketiga. Faktor-faktor penyebab:
Penekanan kultural pada kelangsingan tubuh perempuan ideal,
Peran seks yang terikat, dan
Ketakutan individual akan kehilangan kendali diri atau ketakutan terhadap tanggung jawab masa dewasa.
2.7. Solusi Menghadapi Maladjusment
Merespon Issue ini, para ahli psikologi menyarankan beberapa solusi yang dianggap mampu membantu proses penyembuhan konseli atau klien.
1. Sue dan beberapa orang lain menyarankan agar metode-metode perawatan yang ada dimodifikasi untuk lebih mencocokkannya dengan pandangan dunia dan pengalaman konseli dari berbagai budaya. Misalnya, pendekatan Psikoanalisis di dasarkan pada pandangan dunia yang mengasumsikan adanya konflik-konflik tak sadar (biasanya bersifat seksual) yang memunculkan perilaku abnormal. Tapi pandangan dunia seperti ini mungkin tidak sesuai bila di terapkan pada budaya-budaya yang menatribusikan perilaku abnormal pada faktor-faktor alami (seperti masalah fisik atau ketidakharmonisan dengan lingkungan) atau sebab-sebab supranatural (seperti kerasukan arwah).
2. Terapi. Untuk melakukan terapi, terapis perlu memiliki kompetensi dan dasar pengetahuan yang diperlukan agar dapat memberi perawatan lintas-budaya yang peka dan efektif. Sue dkk menyarankan bahwa terapis yang peka budaya sebaiknya memiliki;
a. Pengetahuan mengenai beragam budaya dan gaya hidup,
b. Keterampilan yang diperlukan dan bisa merasa nyaman untuk menggunakan metodeperawatan yang inovatif, dan
c. Pengalaman nyata bekerja dengan klien dari berbagai budaya.
Dagun, Save M. 1990. Psikologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta
Foster, George. 1999. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI Press.
Matsumoto, David. 2008. Culture and Pshycology. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Yusuf, Umar. 1991. Psikologi Antar Budaya. Bandung: Rosda
Selasa, 17 November 2009
INITIAL ASSESMENT IN COUNSELLING
INITIAL ASSESMENT IN COUNSELLING
(Asesmen Awal Dalam Konseling)
Konseli seringkali datang untuk berkonsultasi dengan informasi persoalan dan masalah terkini yang samar dan merupakan pendefinisian suatu gejala penyakit. Konselor sangat memerlukan keterampilan dalam mengatasi masalah-masalah yang terlihat samar ini dan harus bisa mengidentifikasi persoalan dan masalah yang relefan. Cormier and cormier (1998) berpendapat bahwa masalah itu jarang hanya berkaitan dengan satu faktor, biasanya bersifat multidmensionl, dan memiliki ciri khas terjadi dalam kontex sosial. Oleh karena itu, konselor perlu menguasai keterampilan awal asesmen untuk mengidentifikasi faktor yang berkaitan degan masalah konseli dalam suatu interaksi yang kompleks. Konseling akan cenderung lebih efektif ketika konselor mampu dengan cepat menangkap persoalan yang sedang terjadi. Sexton dan reknnya juga mengemukakan bahwa jika konselor bisa membangun dugaan yang positif selama proses cepat ini berlangsung, maka konseling akan lebih efektif. sebuah penelitian menemukan bahwa dugaan konseli tentang konseling sebelum mendaptkan pengaruh yang sangat kecil pada hasil akhir: bagaimanapun, dugaan bagi konseli dibangun selama sesi awal memiliki pegaruh yang signifikan pada hasilnya.
A. Wawancara Awal
Nelson (1983) mengemukakan bahwa wawancara adalah salah satu cara yang biasa dilakukan dalam strategi asesmen. Walaupun faktanya wawancara adalah suatu strategi asesmen yang lazim digunakan, tapi tidak mudah untuk membuatnya efektif. Pada kenyataannya garis pedoaman dan pelatihan perlu memperoleh informasi yang akurat dan sah dari sebuah wawancara. (Duley, cancelli, Kratochwill, Bergan dan Meredith. 1983)
Wawancara awal yang efektif adalah yang seimbang antara mengumpulkan informasi dan membangun sebuah hubungan yang therapeutik. Informasi yang terkumpul dalam wawancara awal
1. Informasi Yang Terkumpul Dalam Wawancara
informasi yang tekumpul akan merubah beberapa hal yang dipercayai dalam suatu lingkungan dan layanan yang disampaikan. Ada beberapa area penting bagi konselor untuk diteliti sebelum mulai tahapan perawatan dalam konseling diantaranya :
1. Haruskah orang ini melakukan konseling?
2. Apa persoalan atau masalah utamanya?
3. Apa perawatan yang paling efekif atau pendekatan konseling seperti apa untuk konseli ini?
4. Haruskah dia melibatkan anggota keluarga dalam konseling yang rumit?
5. Bisakah saya bekerja efektif dengan konseli ini?
6. Tipe hubungan yang seperti apa yang harus saya jalin dengan konseli ini?
7. Bagaimana caranya untuk mengevaluasi keefektifan konseling?
Area final dari penelitian konselor untuk menilai dalam tahap awal konseling adalah pada tahapan konseli mengalami perubahan proses. (See Prochask, Diclemente dan Norcross, 1992).
a. Informasi Demografis
Ciri khas dari informasi demografis adalah dikumpulkan dari kertas kerja suatu agen, atau sudah tersedia dalam organisasi itu seperti sekolah. Dalam situasi krisis informasi demografis perlu dikumpulkan berkaitan dengan pembuatan keputusan klinis.
b. Memperlihatkan Perhatian
Hasil dari peneltian mengindikasian bahwa ada hubungan antara menunjukan perhatian kepada konseli dengan hasil yang efektif. Proses ini tidak hanya melputi komplain saja, tapi juga meliputi pengumpulan informasi dalam waktu yang sama. Seorang konselor harus juga mengexplore frekuensi masalah, tingkat pengaruh masalah itu dalam keseharian konseli dan metode yang pernah dilakukan konseli dalam mengatasi masalah itu di masa lalu.
c. Informasi Latar Belakang Konseli
Kebanyakan konselor mengumpulkan informasi latar belakang dengan cara ”Psychosocial Interview”. Pengumpulan informasi mengenai latar belakang konseli tidak harus terlalu detil, cukup yang berkaitan dengan masalah konseli sekarang. Semua informasi ini tidak dikumpulkan dengan wawancara serius. Lebih baik pengumpulan informasi ini dilakukan dengan cara yang lebih ringan. Cormier dan Cormier (1998) berpendapat konselor dalam kondisi apapun harus mengumpilkan beberapa inforasi latar belakang konseli.
informasi latar belakang yang termasuk wawancara awal:
1) Identifikasi informasi, Nama konseli, alamat, Nomor telepon, umur, jens kelamin, status perkawinan, pekerjaan, tempat bekerja atau sekolah, telepn kantor, dan nomor kontak yang dapat dihubungi dalam keadaan darurat.
2) Tujuan konseling/penyelesaian masalah
3) Penampilan fisik
4) Tingkat partisipasi di tempat bekerja atau sekolah, hubungan, waktu luang
5) Sejarah Medis dan Status
6) Pengalaman konseling atau Sejarah Psychiatric
7) Informasi Keluarga
8) Sosial/ Sejarah perkembangan
9) Pendidikan/ Sejarah Pekerjaan
d. Kesehatan dan sejarah medis konseli
Konselor perlu memiliki pengetahuan mengenai kondisi medis konseli untuk dapat memahami kondisi konseli secara holistik. Jika konseli memiliki pemerikasaan fisik terakhir, penting bagi konselor untuk mengumpulkan informasi medis dan menyelediki efek yang mungkin timbul dari pemeriksaan yang pernah dilakukan konseli. Konselor juga harus mengumpulkan informasi penyakit dan treatmen yang pernah diberikan pada konseli.
e. Menjabarkan masalah konseli
Asesmen masalah menempati peran yang penting dalam konseling, karena petingnya hal ini konselor harus memiliki pemahaman yang jelas mengenai persoalan dan masalah yang terjadi. Mohr (1995) berpendapat bahwa konseling dapat memberikan dampak yang negatif bagi konseli dan salah satu penyebab utamanya adalah konselor meremehkan kerumitan masalah konseli. Setelah konselor dapat mengidentifikasi masalah yang dominan, konselor harus menyelidiki persoalan-persoalan ini lebih detil. Di bawah ini adalah topik untuk menjabarkan masalah konseli:
1) Pecahkan masalahnya dari berbagai sudut pandang. Konselor harus bisa menampilkan masalah-masalah iu dari bermacam-macam poin yan g menguntungkan. Ini bisa menjadi baik, jika konseli dapat menggambarkan masalahnya dari sudut pandang Affective, Behavioral, Cognitive dan Relational
2) Kumpulkan informasi-informasi spesifik dari persoalan utama. Konselor harus mendorong konseli untuk menggambarkan permasalahannya secara detil.
3) Intensitas penilaian masalah. Konselor perlu menilai tingkat masalah atau persoalan itu berpengaruh kepada konseli. Dalam situasi tertentu seperti kegelisahan, konselor harus memiliki rekapan dari kebiasaan permasalahannya.
4) Tingkat penilaian konseli untuk percaya bahwa masalah itu bisa berubah. Penilaian dalam wilayah ini akan sangat membantu pada saat menentukan intervensi dan kemungkinan penugasan di rumah.
5) Identifikasi metode yang pernah konseli gunakan untuk memcahkan masalah sebenarnya. Ini akan memberikan pengertian pada konseli dan menghindari penggandaan upaya yang sudah pernah dia lakukan.
Konsselor telah menilai masing-masing masalah signifikan yang telah dialami oleh klien. Langkah selanjutnya adalah memprioritaskan masalah tersebut. Keputusan untuk menetapkan sekelompok masalah-masalah sebagai kelompok pertama tergantung pada situasi, klien dan hubungan konseling.
f. Penilaian proses perubahan (assessing the change process). Dalam dunia konseling, muncul perkembangan yang menarik dalam memahami prinsip-prinsip fundamental dan proses dari perubahan. Model perpindahan teori Prochaska dkk (1992) dianggap sebagai model yang sangat berpengaruh dari perubahan sikap (Morera dkk, 1998). Prochaska dkk berpendapat bahwa konselor perlu memilih cara berdasarkan tingkatan klien pada proses perubahan. Mereka mempelajari kedua hal tentang perubahan-perubahan diri dan kemampuan untuk mengidentifikasi tingkatan perubahan.
Prochaska dan rekan telah menemukan bahwa orang berkembang melalui lima tahap seperti yang mereka ubah dan konseling akan lebih efektif jika penanganan masalah disesuaikan dengan tingkatan individu dalam proses perubahan. Pada tingkatan ini, individu tidak mempunyai niat untuk berubah dimasa depan. Beberapa klien mungkin tidak menyadari atau dibawah sadar mereka bahwa di sana ada masalah. Mereka harus berusaha untuk menunjukkan perubahan karena tekanan tersebut, tapi mereka akan kembali dengan cepat ke sikap sebelumnya ketika tekanan tersebut berakhir.
Langkah ke-2 adalah contemplation, dimana individu menjadi sadar bahwa masalah itu ada dan mulai menyadari permasalahan tersebut. Pada tingkat ini, walaupun demikian, mereka tidak mempunyai komitmen untuk bertindak. Tingkatn contemplation ditandai olaeh kesadaran yang seruis akan sebuah masalah, dan lien mulai mempertimbangkan pro dan kontra dalam mencari solusi sebuah masalah.
Dalam tahap persiapan (Preparation) klien mulai membuat aliterasi kecil dalam sikap dengan niatan mengambil tindakan pada bulan selanjutnya. Pada tingkatan aksi/tindakan (action), individu memodifikasi sikap, pengalaman atau lingkungan mereka. Tingkatan akhir dalam proses ini adalah pertahanan (maintenance), selama individu melakukan pecegahan untuk berbuat tidak baik lagi dan konsolidasi keuntungan prestasi pada tingkatan tindakan.
Secara umum, pertahanan akhir berjalan paling sebentar selama enam bulan. Penilaian tingkatan klien dan tingkatan perubahan bukan merupakan tindakan tradisional dari hasil wawancara. Penilaian tingkatan klien dalam proses perubahan bisa diselesaikan melalui wawancara klien. Respon dari pertanyan, berhubungan dengan latar belakang dan focus klien saat ini akan merefleksikan tingkatan mereka secara khas dalam proses perubahan. Ada juga sebuah instrumen/alat tingkatan-tingkatan daftar pertanyaan perubahan (the stages of change questionnaire) (McConnaughy, DiClemente, Prochaska, dan velicer, 1989; McConnaughy, Prochaska, dan velicer, 1983) yang bisa digunakan klien untuk mengakses tingkatan mereka dalam proses perubahan.
Kesimpulannya, isi dari wawncara tahap awal adalah, konselor harus menyadari tipe utama informasi yang ingin mereka timbulkan dari klien sebelum mereka memulai wawancara tahap awal. Wawancara tahap awal sering menjadi pondasi penilaian lebih jauh, oleh karena itu harus melewati jajaran topic.
2. Teknik dan Keahlian Dalam Wawancara
Wawancara tahap awal merupakan interaksi pertama dengan klien dan merupakan pandangan pertama yang mempunyai pengaruh pada hasil konseling. Konselor harus merefleksikan bagaimana mereka bias menunjukkan kredibilitas pada klien dalam koteks merekam bisa dipergaya, ahli dan atraktif.
Sejumlah individu telah menulis tentang pentingnya menggunakan keahlian komunikasi yang efektif dalam komunikasi. Kemampuam berkomunikasi dibutuhkan untuk mengomunikasikan bahwa klien didengar dan dimengerti melalui respon mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan wawancara. Pertanyaan tak terbatas sering digunakan dalam wawancara Karena pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin tidak terkesan “memimpin” dan sangat mempengaruhi klien. Pada pertanyaan yang terbatas, ada seperangkat respon “tutup/terbatas” (closed) dari klien yang bias memiliki sebuah jawaban, seperti jawaban salah satu dari “ya” atau ”tidak” untuk pertanyaan seperti “apakah anda menjalani konseling karena anda depresi?” pertnyaan-pertanyaan tak terbatas membutuuhkan jawaban yang lebih rinci dari klien. Wawancara yang tidak mempunyai format struktur maka konselor akan sering menggunakan keahlian berkomunikasi yang lain untuk membuat hasil dari wawancar klien. Secar umum menggunakan teknik paraphrase, klarifikasi, refleksi, interpretasi dan penyimpulan.
3. Wawancara Awal Berstruktur dan Tidak Berstruktur
Salah satu keputusaan yang harus diambil konselor untuk membuat bagian awal apakah menggunakan wawancara berstruktur atau tidak. Sebuah wawancara berstruktur salah satunya terjadi dimana konselor mempunyai seperangkat alat pembangun yang membuat klien bertanya dalam cara yang sam dan dalam setiap tahapan klien.dalam sebuah waawncara tak berstruktur, konselor boleh punya ide tentang jenis kemungkinan tapi melengkapi wawancara dalam cara yang unik dan berbeda, tergantung pada kebutuhan klien.wawancara semi struktur merupakan kombinasi dari wawancara berstruktur dan tidak dimana pertanyaan-pertanyaan khusus selalu ditanyakan tapi ada ruang untuk bereksplorasi dan menambah pertanyaan. Ada keuntungan dan kerugian dalam ketiga metode wawancara ini.
Keuntungan yang utama dari wawancara berstruktur adalah bahwa metode ini lebih dipercaya (Aiken, 1996). Kepercayaan dikhususkan pa proporsi eror yang imgin diminimalisr oleh konselor. Lebih jauhnya, seperti yang telah dikelompokkan sebelumnya, kepercayaan merupakan sebuah persyaratan menuju validitas. Jadi, wawancara berstruktur kemungkinan bias lebih valid daripada wawancara tak berstruktur, tapi ini tidak menjadi jaminan. Beberapa praktisi percaya bahwa berstruktur akan mempunyai pengaruh negatif dalam hubungan konseling karena klien akan merasa diintrogasi. Ini tak selalu akurat karena style/tipe pewawancara mempunyai pengaruh yang signifikan dalam informasi. Suara-suara dalam wawancara berstruktur terhubung secara inten pada pertanyaan-pertanyaan termasuk dalam waawncara dan kemampuan konselor untuk menimbulkan informasi-informasi krusial. Memang sulit untuk menciptakan wawancara berstruktur yang bias merespon kesatuan masalah yang luas dan situasi yang dihadapi oleh klien. Dengan wawancara berstruktur, merupakan sesuatu yang penting untuk melibatkan sebuah pertanyaan pada akhir wawancara yang akn membuat klien mudah memberikan informasi yang mungkn belum terkelompokkan.
Keuntungan dari wawancara tak berstruktur adalah bahwa wawancara ini bias diadaptasi untuk merespon kebuthan yang unik dari klien secara mudah. Waancara tak berstruktur bagaimanapun kurang terpercaya dan lebih mudah mengalami eror daripada wawancara berstruktur. Wawancara tak berstruktur cenderung lebih lama dalam mencari informasi seperti dibandingkan dengan wawancara berstruktur yang dibangun dengan baik. Keputusan untuk menggunakan wawancara berstruktur atau tak berstruktur harus berdasarkan tujuan. misalnya, jika tujuannya adalah untuk menyaring klien untuk melihat jika mereka tepat untuk sebuah klinik, lalu wawancara berstruktur yang mengurangi sejumlah eror mungkin lebih baik. Jika dilain pihak, tujuan wawancaranya adalah untuk memahami dengan lebih baik kspesifikan individu klien, lalu wawancara tak berstruktur mungkin mengiginkan eksplorasi individu yang lebih. Wawancara tak berstruktur membutuhkan kemampuan/skill yang lebih pada bagian pewawancara daripada wawancara berstruktur.
Petunjuk umum untuk menghubungkan wawancara tahap awal:
• menjamin rahasia klien (kecuali beberapa keadaan seperti bahaya bagi diri mereka atau orang lain)
• menanyakan pertanyaan dengan sopan dan dengan tatakrama yang diterima
• kata petanyaan diberikan dalam bentuk jawaban tak terbatas daripada bentuk yang terbatas
• hindari pertanyaan menguasai
• dengarkan dengan penuh perhatian
• perhatikn budaya dan latar belakang teknik klien dalam susunan wawancara
• sesuaikan pendekatan individu ke klien ( beberapa klien lebih nyaman dengan proses yang lebih formal,sedang yang lainnya lebih menyukai pendekatan yang ramah dan penuh kasih saying
• hindari “basa-basi” tentang topic yang tidak penting
• berikan semangat pada klien untuk mengekspresikan perasaan, pikiran dan sikap-sikapnya secara terbuka
• hindari istilah-istilah psikologi
• gunakan suara yang penuh kasih saying dan mengundang, tapi tetap professional
• berikan waktu yang cukup dan jangan membuat klien tergesa-gesa menyelesaikan pertanyaan kompleks
• jika respon klien tidak sesuai dengan topic, maka dengan sopan, bimbinglah mereka untuk kembali pada topic yang tepat
• ubah posisi tubuh untuk menghindari penampilan yang statis.
4. Mewawancarai Anak
Saran/sugesti sebelumnya dalam wawancara, seperti membangun hubungan, melengkapi kosakata sesuai tingkat pendidikan klien. Mengajukan pertanyaan dalam cara yang professional dilakukan dengan baik pada anak-anak. Konselor juga butuh untuk melengkapi wawancaral terhadap tingkat perkembangan anak. Sattler (1993) mengajukan petunjuk-petunjuk di bawah ini ketika mewawancarai anak-anak.:
1. susunlah pertanyaan pembuka yang tepat
2. buatlah komentar deskriptif
3. gunakanlah refleksi
4. berikanlah pujian secara berkala
5. hindarilah pernyataan kritik
6. gunakanlah kalimat sederhana dan referensi yang konkrit
7. susunlah pertanyaan dalam bentuk pengandaian saat dibutuhkan
8. harus bijaksana
9. gunakanlah alat-alat pementasan, krayon, tanah liat, atau mainan untuk membantu anak kecil berkomunikasi.
10. gunakanklah teknis khusus untuk menunjukkan ekspresi respon yang tidak bias diterima secara budaya
11. klarifikasi semua episode dari sikap jahat denagn menceritakannya kembali
12. tanganilah anak-anak yang berkomunikasi sedikit dengan mengklarifikasi prosedur waancara
13. tangani penghindaran topic dengan mendiskusikannya sendiri
14. mengertilah keadaan diam
15. tangani perlawanan dan kegelisahan dengan memberukan dukubgan dan penentraman hati lagi.
Jika anak menjadi bagian dari kekacauan permainan, mulai menangis, atau berbuat jahat, Greenspan dan Greenspan (1981) merekomendasikan untyuk tidak memberhentikan perbuatan itu terlalu cepat. Dia menyarankan bahwa observasi sikap ini bias menjadi waasan dan disiplin terlalu cepat yang bias membawa efek negative pada wawancara awal. Dilain pihak konselor tidak boleh hanya diam dan melihat anak merusak kantor konseling.
5. Kelebihan dan Kekurangan dari Wawancara
Validitas dari interview akan berpengaruh pada kualitas pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Para konselor harus mempertimbangkan validitas dari fakta-fakta dan kesimpulan yang mereka buat tentang klien berdasarkan pada wawancara pertama (awal). Kelebihan dari wawancara adalah wawancara memiliki kemampuan untuk menanyakan secara langsung permasalahan kepada klien tentang berbagai isu, masalah, dan informasi mengenai pribadi klien. Kekurangan-kekurangan dari wawancara sering berhubungan dengan validitas dari fakta yang kurang dan adanya pengaruh dari subjektifitas konselor. Peran gender dan budaya harus dipertimbangkan dalam menentukan strategi penilaian (assessment) yang mana yang akan digunakan.
B. Instrumen-instrumen Lain Yang Dapat Digunakan Dalam Initial Assesment.
Proses konseling sering kali dimulai dengan mengumpulkan informasi mengenai klien dan permasalahan-permasalahannya. Beberapa dari alat-alat tersebut adalah instrumen pengukuran (penilaian) yang informal (pendataan dan skala penilaian) yang tergabung dalam lembar laporan awal. Alat pengukuran (penilaian) yang lain dapat digunakan insrument yang lebih formal yang dapat memberikan informasi tentang gejala-gejala dan masalah-masalah.
1. Pendataan
Secara relatif, pendataan dapat dikatakan mudah dan metode lebih efektif untuk mengumpulkan informasi awal dari klien. Biasanya dalam pendataan, individu diinstruksikan untuk memilih kata atau frase pada daftar yang mereka terima.
a. Pendataan yang standar
Konselor dapat menyusun sendiri pendataan yang akan digunakan atau menggunakan beberapa pendataan yang sudah standar. Beberapa pendataan yang sudah terstandarisasi fokus pada laporan tentang gejala-gejala yang sedang klien rasakan saat itu juga. Symptom Cheklist-90-Revised (SCL-90-R, Derogatis, 1994) dan Brief Symptoms Inventory (BSI, Derogatis, 1993) adalah dua instrumen yang sudah populer dan sering digunakan dalam beberapa lingkungan kedokteran kesehatan mental. Instrumen-instrumen ini saling berhubungan dan sangat sama, kecuali SCL-90-R berisi 90 gejala menggunakan 5- skala poin kesulitan (0-4) berkisar dari 0 (tidak sama sekali) sampai 4 (luar biasa). SCL-90-R memerlukan waktu sekitar 15 menit dalam pelaksanaannya; BSI memakan waktu yang lebih sedikit.
Terdapat dua metode dimana dua inventori dapat digunakan sebagai screening tools yang bernilai. Clinician dapat dengan mudah meninjau hasil dari instrumen-instrumen dan menolong gejala-gejala yang diderita klien. Yang termasuk ke dalam pengukuran ini adalah permasalahan pikiran untuk mengakhiri hidupnya, perasaan tidak berharga, perasaan takut untuk terbuka, dan perasaan bahwa semua orang tidak bisa dipercaya. SCL-90-R dan BSI dapat dinilai dengan menetapkan ukuran-ukuran dalam 9 skala: somatization, obsesive-compulsive, sensitifitas interpersonal, depresi, kegelisahan/kecemasan, permusuhan, kecemasan karena phobia, paranoid, dan kegilaan. Terdapat tiga komposisi nilai yang sangat membantu konselor dalam menentukan apakah akan menyerahkan klien pada penilaian psikiater: Global Security Index, Positive Symptom Total, dan Positive Symptom Distress Index. Respon klien dapat dibandingkan antara dewasa yang tidak dalam perawatan, remaja yang tidak dalam perawatan, pasien psikiatri yang dirawat di rumah (bukan di RS), dan pasien psikiatri yang dirawat di RS. Konsistensi dalam pengukuran dan koefisien tes-tes ulang adalah cukup tinggi pada periode-periode terakhir. Ahli pengukuran merekomendasikan bahwa hasil dari SCL-90-R atau BSI baik selama tidak lebih dari 7 hari.
Pendataan yang sudah sering digunakan untuk anak yaitu Child Behaviour Checklist, meliputi 5 skala penilaian yang terpisah (orang tua/laporan pengawasan, laporan guru, laporan pribadi, observasi secara langsung, dan wawancara). Terdapat versi untuk anak usia 2 sampai 3 tahun, tapi yang paling sering digunakan adalah untuk anak usia 4 sampai 18 tahun. Child Behaviour Cheklist untuk anak 4-18 tahun (Achenbach, 1997) menilai masalah tingkah laku dan kompetensi-kompetensi, yang dinilai dengan tujuh area: Kecemasan/depresi, Pendiam, Somatic Complaints, Masalah Sosial, Masalah Pemikiran, Masalah Perhatian, Agresif, dan Kenakalan/kejahatan. Ada juga tiga aspek yang berhubungan dengan Internalizing, Externalizing, dan Total Problems.
b. Pendataan Informal
Pendataan informal ini dapat memberikan beberapa informasi permulaan, tetapi konselor perlu berhati-hati dalam menggunakan hasil yang tanpa informasi yang reliable dan valid. Dalam menggunakan pendataan ini, clinicians harus juga waspada pada beberapa individu yang memiliki kecenderungan untuk menandai banyak item sedangkan yang lainnya hanya menandai sedikit saja. Oleh karena itu, klien yang sudah menandai banyak masalah tidak harus dipandang sebagai klien yang lebih bermasalah dibandingkan dengan klien yang hanya menandari sedikit masalah saja.
2. Skala Penilaian
Skala penilaian ini meminta klien atau observer untuk memberikan beberapa indikasi dari sejumlah atau tingkatan masalah, sikap, atau ciri khas (karakter ) kepribadian yang dapat diukur.
Terdapat beberapa angka dalam skala penilaian yang berhubungan erat dengan saat konselor menafsirkan penilaian ini. Pada umumnya manusia cenderung untuk merespon nilai pertengahan, yang disebut central tendency error. Individu kurang menyukai untuk menilai diri mereka sendiri atau orang lain atau bahkan kedua-duanya terlalu rendah atau terlalu luar biasa tinggi. Hal lain ini menyinggun leniency error, dimana perhatian individual enggan memberikan penilaian pada hal yang tidak disukai. Manusia lebih menyukai untuk memilih hal yang positif jika dibandingkan dengan hal yang negatif. Akhirnya, penilaian pada orang lain sering terjadi sebuah halo effect. Penelitian ini mengindikasikan bahwa manusia dipengaruhi oleh kesan pertama dan kesan pertama in mempengaruhi penilaian-penilaian selanjutnya. Dengan demikian, dapat terbentuk positive halo atau negative halo.
Skala penilaian bisa saja tergabung pada assesmen awal dengan klien. Skala penilaian yang informal ini dapat dapat dilakukan secara verbal atau tergabung dengan formulir yang diberikan. Terdapat skala penilaian yang terstandarisasi seperti Conners Rating Scales- Revised (Conners, 1996). Conners Rating Scales- Revised adalah instrumen yang dibuat untuk menilai anak usia 3 – 17 tahun, instrumen dilengkapi oleh salah satu dari orang tua, guru, atau remaja. Terdapat dua formulir yaitu formulir panjang dan yang singkat untuk masin-masing dari tiga versi (orang tua, guru, dan remaja). Conners ADHD (Attention Defisit Hyperactivity Disorders) index dapat diperoleh dari semua versi dari skala ini. Disamping indikator kemungkinan ADHD, ada skala lain (perlawanan, cemas/malu, masalah sosial).
3. Screening Inventori lainnya
Ada beberapa screening instrumens awal selain pendataan dan skala penilaian. Sebuah contoh dari instrument ini adalah Problem Oriented Screening Instrument for Teenager (POSIT). POSIT adalah pragram inisiasi terbaru yang dikembangkan oleh National Institute Drug Abuse (NIDA) yang disebut Adolescent Assesment/Referal System (Rahdert, 1997). Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pengukuran dan sistem referal untuk masalah remaja berusia 12 sampai 19 tahun. Dewasa ini, POSIT dan daftar pertanyaan mengenai sejarah personal digunakan untuk menentukan apakah perlu dilakukan asesmen lebih lanjut. Screening tool ini baru mulai digunakan tetapi sangat berpotensi untuk sangat berguna.
Kesimpulannya, terdapat beberapa instrumen baik yang formal maupun yang informal yang dapat membantu pengumpulan informasi melalui wawancara yang dilakukan. Beberapa konselor menggabungkan teknik ini secara rutin mengingat yang lain akan secara periodik menggunakan checklist (pendataan), skala penilaian, atau inventori lainnya. Konselor dapat meningkatkan efektifitas mereka dengan menggunakan banyak metode dalam mengumpulkan informasi. Terkadang dalam proses pengumpulan informasi, konselor akan menentukan perlunya penilaian klien secara terus menerus. Untuk contoh, selama wawancara berlangsung, konselor mungkin melihat tanda-tanda depresi dan membutuhkan pengumpulan informasi yang lebih spesifik mengenai depresi ini.
C. Menilai Masalah Spesifik Pada Tahap Awal
Beberapa masalah spesifik harus benar-benar diperimabngkan pada konseling tahap awal, karena jika masalah-masalah spesifik ini terlupakan maka dapat mengakibatkan hasil yang negatif, bahkan sampai pada kematian klien. Untuk contoh, jika konselor tidak dapat mengukur potensi klien untuk bunuh diri, lalu klien melakukan bunuh diri saat masih bisa dihalangi dan akan mampu mempertahankan klien untuk tetap hidup.
1. Assesmen terhadap potensi untuk bunuh diri
Pada sesi awal konseling, konselor perlu untuk mengevaluasi potensi untuk bunuh diri pada tiap klien. Pengidentifikasian keinginan bunuh diri pada klien bisa menghindari kematian. Kemungkinan bekerja menghadapi klien yang berpotensi untuk bunuh diri sangatlah tinggi. Seorang konselor mungkin bekerja menghadapi klien yang nampaknya beresiko kecil untuk bunuh diri; tapi bagaimanapun, beberapa jam kemudian sesuatu mungkin terjadi dan mengubah secara signifikan resiko bunuh diri tersebut.
Memiliki informasi hasil penelitian demografi dapat membantu konselor menjaring klien yang berpotensi bunuh diri. Umumnya, pria lebih rentan untuk bunuh diri dari pada wanita, meskipun beberapa study menunjukan wanita lebih rentan untuk mencoba bunuh diri. (Garrison, 1992). Hasil tersebut, bagaimanapun, tidak mengindikasikan bahwa penyikapan masalah bunuh diri pada wanita kurang serius daripada penyikapan pada pria. Klien berkulit putih cenderung lebih rentan bunuh diri daripada klien yang berasal dari kaum minoritas, dimana klien berkulit putih keturunan Afrika-Amerika dua kali lipat lebih banyak melakukan bunuh diri. Bagaimanapun, angka bunuh diri penduduk asli amerika lebih tinggi daripada angka pada populasi pada umumnya (Berlin, 1987). Status perkawinan seseorang juga ditemukan memiliki kaitan dengan resiko untuk melakukan bunuh diri.
Depresi dan kecanduan alkohol teridentifikasi antara 57% dan 86% terjadi pada semua korban bunuh diri, dengan mayoritas kesemuanya itu sangat berkaitan dengan depresi. Satu ciri penting yang harus dilihat saat melakukan assesmen keinginan bunuh diri adalah perasaan keputusasaan atau ketidakberdayaan.
Stelmacher (1995) merekomendasikan ada tujuh area yang menjadi fokus clinician saat melakukan assesmen resiko bunuh diri.
1) Komunikasi verbal. Jika klien mengungkapkan secara verbal bahwa dia berniat untuk bunuh diri, itulah tanda yang sangat jelas dan dapat diidentifikasi untuk selanjutnya diadakan investigasi terhadap situasi yang mungkin dapat mematikan.
2) Rencana. Jika ada indikasi yang memungkinkan adanya pemikiran untuk bunuh diri. Perhatian konselor terhadap klien harus meningkat jika ada sebuah perencanaan dan rencana tersebut spesifik, kongkrit, dan detil. Bagaimanapun, kata hati klien mungkin tidak bermaksud mengembangkan sebuah rencana tapi mungkin tetap akan melakukan bunuh diri jika situasi memburuk.
3) Metode. Konselor harus menginvestigasi apakah metode bunuh diri tertentu sudah dipilih. Dalam menganalisa metodenya, konselor harus mengevaluasi ketersediaan metode itu dan derajat mematikannya metode itu. Seorang konselor perlu menentukan Tingkatannya untuk mengetahui resiko dan kemungkinan terlaksananya rencana bunuh diri. Konselor juga harus mengeksplor apakah metode tersebut juga meliputi persediaan untuk menghindari pertolongan. (atau sebalikannya, apakah rencana itu dapat tertolong).
4) Persiapan. bagian lain yang perlu dieksplor yaitu apakah klien telah mulai melakukan proses persiapan. Karena tingkat bahayanya sangat berhubungan erat dengan persiapan tersebut.
5) Stresor. Salah satu bagian lain yang harus diassesmen yaitu stresor. Klien mungkin tidak berada dalam keadaan bahaya yang mendesak, tapi mungkin mempercepat terjadinya bunuh diri apa bila keadaan benar-benar memungkinkan.
6) Keadaan Mental. Asesmen terhadap keadaan mental klien sangat penting dalam menentukan resiko yang akan timbul, baik resika yang mendesak ataupun resiko jangka panjang. Faktor psikologis seperti depresi, jelas-jelas berkaitan erat dengan percobaan bunuh diri. Beberapa klien yang sedang dalam proses akan melaksanakan bunuh diri akan mengalami peningkatan spirit karena mereka akhirnya menemukan sosusi untuk mengakhiri rasa sakit mereka.
7) Keputusasaan. Level atau tingkat keputusasaan adalah ukuran untuk menenentukan resiko bagi klien yang tidak melaporkan pemikiran apapun mengenai bunuh diri.
Semua dugaan bunuh diri memiliki keterbatasan waktu dan menyinggung resiko hanya saat sekarang. Konselor perlu mengevaluasi kembali secara terus menerus potensi bunuh diri pada diri klien.
Instrumen potensi bunuh diri. Skala kemungkinan bunuh diri (Cull & Gill, 1992) adalah 36 macam instrumen yang menyediakan keseluruhan ukuran resiko bunuh diri. untuk informasi lebih detil, subskala yang menilai adalah keputus asaan, ide untuk bunuh diri, evaluasi diri yang negatif, dan permusuhan. Keuntungan dari instrumen ini adalah terpisahnya norma bagi individu normal, pasien psikiter, dan pencoba bunuh diri yang mematikan (mereka yang mencoba bunuh diri menggunakan metode yang bisa menimbulkan kematian).
Aaron Beck, penulis terapi kognitif, telah membuat dua skala yang menghubungkan potensi bunuh diri. the Beck Scale for Suicide Ideation (Beck & Steer, 1991) dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menyaring klien yang mengakui adanya pemikiran untuk bunuh diri. terdapat lima macam saringan yang mereduksi sejumlah waktu bagi klien yang tidak melaporkan ide untuk bunuh diri. penulis merekomendasikan untuk tidak menggunakan instrumen itu sendiri, tetapi dengan mengkombinasikannya dengan alat-alat assesmen. Instrumen Beck lainnya, The Beck Hopelessness Scale (Beck & Steer, 1993) telah menunjukan adanya hubungan dalam mengukur tujuan dan ide bunuh diri. instrumen ini sudak memenuhi norma-norma yang tersedia bagi klien yang berniat bunuh diri.
Validitas instrumen yang akan menilai potensi untuk melakukan bunuh diri sedikit banyak menimbulkan problema. Itu akan menjadi tidak etis untuk memberikan sebuah sampel individu yang berpotensi bunuh diri dengan sebuah instrumen dan mengumpulkan satu data yang mana menunjukan fakta akan melakukan bunuh diri. Seorang konselor seharusnya mengkonsultasikan dengan profesi yang lain apakah ada perhatian lain yang berhubungan dengan penilaian resiko bunuh diri. Sangat sering terjadi dengan klien yang berpotensi bunuh diri, seorang konselor mungkin perlu menjamin kliennya menerima evaluasi psikiatrik.
2. Assesmen Depresi
Untuk menilai apakah seorang klien depresi, seorang konselor perlu memiliki pemahaman beberapa karakteristik umum klien yang mengalami depresi itu. Menurut McNamara (1992), simptom depresi biasanya mencakup mood dysphoric yang sering disertai perasaan kegelisahan, rasa bersalah dan dendam. Depresi ditandai dengan kesulitan konsentrasi, pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Klien cenderung pesimis dan memiliki sikap negatif terhadap diri mereka sendiri, orang lain dan dunia. Simptom-simptom fisik dan perilaku juga biasanya sementara, terutama apabila depresi itu lebih mengkhawatirkan. Penarikan diri dari masyarakat adalah suatu gejala, cenderung udah menangis, tak beraktvitas dan kehilangan minat dalam aktivitas yang dahulunya menyenangkan.
1) Inventori Depresi Beck.
Ponterotto, Pace, dan Kavan (1989) mengidentifikasi 73 tindakan depresi yang berbeda yang digunakan para peneliti atau para praktisi kesehatan mentaln dari tindakan-tindakan berbeda ini, the Beck Depression Inventory (DBI) yang paling banyak digunakan. Pada faktanya, BDI digunakan sepuluh kali lenih sering dibandingkan dengan intrumen terpopuler kedua. Versi yang baru dari BDI baru-baru ini sudah diterbitkan. the Beck Depression Inventory II (DBI II, Beck, Steer, & Brown, 1996). BDI direvisi untuk meluruskan diagnosa dan statistik manual Mental disorder (DSM-IV) kriteria depresi seperti pendahulunya, BDI-II hanya berisi 21 hal pokok dan biasanya membutuhkan waktu 5 menit bagi klien untuk menyelesaikannya. Pada setiap hal pokok, ada 4 pilihan yang menambah level keparahan. Oleh karena itu, hasil BDI-II menyediakan suatu indeks keparahan depresi. Berkenaan revisi baru-baru ini, pada BDI-II ada ketersediaan informasi psikometri yang terbatas. Koefisien alpha secara keseluruhan lebih tinggi BDI-II daripada BDI. Penelitian Steer & Clarks (1997) pada mahasiswa yang mendukung kepercayaan tinggi pada BDI-II dan berkontribusi terhadap pembangunan validitas instrumen. BDI-II berdasarkan BDI yang diteliti secara luas. Tinjauan terhadap BDI (conoley, 1994; Sundberg, 1994) pada umumnya positif tapi menekankan BDI untuk tidak digunakan sendiri dalam assesmen depresi. Sebagai tambahan, Conoley mengingatkan bahwa hal-hal pokok yang berhubungan dengan bunuh diri dapat dipalsukan dengan mudah.
2) Instrumen-instrumen Depresi yang lain.
Terdapat beberapa instrument yang terstandarisasi yang dapat digunakan untuk melakukan assessment depresi. Untuk anak-anak dan remaja, terdapat Children’s Depression Inventory (Kovacs, 1992), Children’s Depression Rating Scale, Revised (Poznanski&Makros, 1996), dan Reynolds Adolescent Depression Scale (Reynolds, 1987), dan Reynolds Child Depression Scale (Reynolds, 1989). Instrumen-instrumen lain disamping BDI-II untuk orang dewasa adalah Hamilton Depression Inventory (Reynolds & Kobak, 1995), dan State Trait-Depression Adjective Check Lists (Lubin, 1994). Revised Hamilton Rating Scale for Depression (Warrren, 1994) adalah instrument lain yang dibuat untuk mengukur tingkat depresi yang dirasakan oleh klien; bagaimanapun, ahli klinis daripada klien melengkapi instrument.
3. Asesmen Penyalahgunaan Zat
Berdasarkan Greene dan Banken (1995), para ahli klinis sering mengalami kegagalan untuk mengenali simptom-simptom sebagai refleksi penyalahgunaan zat atau ketergantungan. Lazimnya penyalahgunaan zat dalam setting klinis sudah tinggi, dengan berkisar antara 12 dan 30 persen (Moore et al., 1989). Hal ini masih belum bisa ditentukan mengenai konstitusi penyalahgunaan zat. Pada bab 13, akan didiskusikan mengenai criteria dari diagnosis penyalahgunaan zat.
Dalam konseling perlu dengan segera diidentifikasi apakah klien melakukan penyalahgunaan zat. Seorang konselor yang menggali kemungkinan dari penyalahgunaan zat dapat dengan mudah dimulai dengan menemukan isu-isu yang secara esensial mengakibatkan penyalahgunaan zat. Satu metode untuk menggali kemungkinan dari penyalahgunaan zat dengan menanyakannya langsung pada klien. Oetting dan Beauvais (1990) menemukan bahwa self-report dapat diterima dan reliable. Biar bagaimanapun, beberapa masalah memiliki validitas karena banyak klien enggan untuk memperlihatkan penggunaan dari zat-zat atau mengenai jumlah yang digunakan. Akan tetapi, para konselor harus mencari informasi mengenai jenis drugs yang digunakan dan jumlah alcohol yang dikonsumsi oleh klien. Dalam istilah pengobatan, resep-resep, melebihi batas, dan jenis drugs harus diketahui. Hal-hal tersebut harus diselidiki, pertama, karena penggunaaan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan permasalahan. Alasan kedua adalah untuk mengetahui semua tipe drugs karena meskipun ada beberapa yang secara biasa digunakan untuk pengobatan, jika digunakan berlebihan maka akan memberikan efek tertentu. Kadang-kadang beberapa symptom yang ada pada klien (selalu merasa lelah) merupakan akibat dari pengobatan; konselor harus berkonsultasi pada Physician’s Desk Reference agar mengetahui tentang akibat penggunaan drugs.
Standarisasi Instrumen Penyalahgunaan zat.
Terdapat beberapa standarisasi instrument yang dibuat secara spesifik untuk mengukur penyalahgunaan zat. Tabel 6.5 melibatkan daftar beberapa instrument yang sering digunakan. Satu instrument yang digunakan oleh para praktisi adalah Substance Abuse Subtle Screening Inventory (SASSI-2, SASSI Institute, 1996). SASSI Institute berisi bahwa SASSI-2 memiliki 88 persen akurasi dalam mengidentifikasi individual dengan gangguan yang berhubungan dengan zat. Oleh karena terdapat pembaharuan dari instrument ini, maka tidak cukup dilakukan riset untuk melihat hal ini apabila ada peneliti-peneliti lain mendukung penemuan-penemuan ini. Hal lain yang sudah biasa digunakan sebagai alat asesmen adalah CAGE, yang merupakan teknik wawancara yang sederhana yang sering digunakan dalam lingkungan medis. CAGE (Mayfield, McLeod, & Hall, 1974) adalah alat untuk membantu untuk empat pertanyaan berikut ini:
1) Apakah Anda pernah merasa bahwa Anda harus mengakhiri kebiasaan anda minum minuman keras?
2) Pernahkah anda merasa terganggu dengan kritikan orang-orang di sekitar ini?
3) Apakah Anda pernah merasa buruk atau merasa bersalah dalam kebiasaan meminum minuman keras?
4) Apakah Anda pernah merasakan kegelisahan atau mencoba untuk menghilangkan rasa sakit pada saat bangun tidur di pagi hari ?
Apabila jawaban yang didapat mengindikasikan masalah, ahli klinis harus mengumpulkan informasi yang lebih detail mengenai kebiasaan minum minuman keras. Terkadang, biar bagaimana pun, klien akan menolak pernyataan bahwa minum minuman keras atau menggunakan obat terlarang adalah masalah. Satu teknik untuk membuat klien memiliki self-monitor dan merekam saat-saat klien minum minuman keras. Beberapa klien akan terkejut sendiri setelah melihat rekaman jumlah minuman keras yang ia konsumsi. Teknik lainnya, kadang menghubungkan dengan “acid test” yaitu untuk bertanya pada klien untuk mengontrol atau membatasi konsumsi minuman keras. Sebagai contoh, klien akan membatasi kuantitas minuman yaitu tidak lebih dari tiga kali dalam kurun waktu tiga bulan. Hal ini akan memberikan indikasi bahwa mengkonsumsi minuman keras dapat terkontrol.
(Asesmen Awal Dalam Konseling)
Konseli seringkali datang untuk berkonsultasi dengan informasi persoalan dan masalah terkini yang samar dan merupakan pendefinisian suatu gejala penyakit. Konselor sangat memerlukan keterampilan dalam mengatasi masalah-masalah yang terlihat samar ini dan harus bisa mengidentifikasi persoalan dan masalah yang relefan. Cormier and cormier (1998) berpendapat bahwa masalah itu jarang hanya berkaitan dengan satu faktor, biasanya bersifat multidmensionl, dan memiliki ciri khas terjadi dalam kontex sosial. Oleh karena itu, konselor perlu menguasai keterampilan awal asesmen untuk mengidentifikasi faktor yang berkaitan degan masalah konseli dalam suatu interaksi yang kompleks. Konseling akan cenderung lebih efektif ketika konselor mampu dengan cepat menangkap persoalan yang sedang terjadi. Sexton dan reknnya juga mengemukakan bahwa jika konselor bisa membangun dugaan yang positif selama proses cepat ini berlangsung, maka konseling akan lebih efektif. sebuah penelitian menemukan bahwa dugaan konseli tentang konseling sebelum mendaptkan pengaruh yang sangat kecil pada hasil akhir: bagaimanapun, dugaan bagi konseli dibangun selama sesi awal memiliki pegaruh yang signifikan pada hasilnya.
A. Wawancara Awal
Nelson (1983) mengemukakan bahwa wawancara adalah salah satu cara yang biasa dilakukan dalam strategi asesmen. Walaupun faktanya wawancara adalah suatu strategi asesmen yang lazim digunakan, tapi tidak mudah untuk membuatnya efektif. Pada kenyataannya garis pedoaman dan pelatihan perlu memperoleh informasi yang akurat dan sah dari sebuah wawancara. (Duley, cancelli, Kratochwill, Bergan dan Meredith. 1983)
Wawancara awal yang efektif adalah yang seimbang antara mengumpulkan informasi dan membangun sebuah hubungan yang therapeutik. Informasi yang terkumpul dalam wawancara awal
1. Informasi Yang Terkumpul Dalam Wawancara
informasi yang tekumpul akan merubah beberapa hal yang dipercayai dalam suatu lingkungan dan layanan yang disampaikan. Ada beberapa area penting bagi konselor untuk diteliti sebelum mulai tahapan perawatan dalam konseling diantaranya :
1. Haruskah orang ini melakukan konseling?
2. Apa persoalan atau masalah utamanya?
3. Apa perawatan yang paling efekif atau pendekatan konseling seperti apa untuk konseli ini?
4. Haruskah dia melibatkan anggota keluarga dalam konseling yang rumit?
5. Bisakah saya bekerja efektif dengan konseli ini?
6. Tipe hubungan yang seperti apa yang harus saya jalin dengan konseli ini?
7. Bagaimana caranya untuk mengevaluasi keefektifan konseling?
Area final dari penelitian konselor untuk menilai dalam tahap awal konseling adalah pada tahapan konseli mengalami perubahan proses. (See Prochask, Diclemente dan Norcross, 1992).
a. Informasi Demografis
Ciri khas dari informasi demografis adalah dikumpulkan dari kertas kerja suatu agen, atau sudah tersedia dalam organisasi itu seperti sekolah. Dalam situasi krisis informasi demografis perlu dikumpulkan berkaitan dengan pembuatan keputusan klinis.
b. Memperlihatkan Perhatian
Hasil dari peneltian mengindikasian bahwa ada hubungan antara menunjukan perhatian kepada konseli dengan hasil yang efektif. Proses ini tidak hanya melputi komplain saja, tapi juga meliputi pengumpulan informasi dalam waktu yang sama. Seorang konselor harus juga mengexplore frekuensi masalah, tingkat pengaruh masalah itu dalam keseharian konseli dan metode yang pernah dilakukan konseli dalam mengatasi masalah itu di masa lalu.
c. Informasi Latar Belakang Konseli
Kebanyakan konselor mengumpulkan informasi latar belakang dengan cara ”Psychosocial Interview”. Pengumpulan informasi mengenai latar belakang konseli tidak harus terlalu detil, cukup yang berkaitan dengan masalah konseli sekarang. Semua informasi ini tidak dikumpulkan dengan wawancara serius. Lebih baik pengumpulan informasi ini dilakukan dengan cara yang lebih ringan. Cormier dan Cormier (1998) berpendapat konselor dalam kondisi apapun harus mengumpilkan beberapa inforasi latar belakang konseli.
informasi latar belakang yang termasuk wawancara awal:
1) Identifikasi informasi, Nama konseli, alamat, Nomor telepon, umur, jens kelamin, status perkawinan, pekerjaan, tempat bekerja atau sekolah, telepn kantor, dan nomor kontak yang dapat dihubungi dalam keadaan darurat.
2) Tujuan konseling/penyelesaian masalah
3) Penampilan fisik
4) Tingkat partisipasi di tempat bekerja atau sekolah, hubungan, waktu luang
5) Sejarah Medis dan Status
6) Pengalaman konseling atau Sejarah Psychiatric
7) Informasi Keluarga
8) Sosial/ Sejarah perkembangan
9) Pendidikan/ Sejarah Pekerjaan
d. Kesehatan dan sejarah medis konseli
Konselor perlu memiliki pengetahuan mengenai kondisi medis konseli untuk dapat memahami kondisi konseli secara holistik. Jika konseli memiliki pemerikasaan fisik terakhir, penting bagi konselor untuk mengumpulkan informasi medis dan menyelediki efek yang mungkin timbul dari pemeriksaan yang pernah dilakukan konseli. Konselor juga harus mengumpulkan informasi penyakit dan treatmen yang pernah diberikan pada konseli.
e. Menjabarkan masalah konseli
Asesmen masalah menempati peran yang penting dalam konseling, karena petingnya hal ini konselor harus memiliki pemahaman yang jelas mengenai persoalan dan masalah yang terjadi. Mohr (1995) berpendapat bahwa konseling dapat memberikan dampak yang negatif bagi konseli dan salah satu penyebab utamanya adalah konselor meremehkan kerumitan masalah konseli. Setelah konselor dapat mengidentifikasi masalah yang dominan, konselor harus menyelidiki persoalan-persoalan ini lebih detil. Di bawah ini adalah topik untuk menjabarkan masalah konseli:
1) Pecahkan masalahnya dari berbagai sudut pandang. Konselor harus bisa menampilkan masalah-masalah iu dari bermacam-macam poin yan g menguntungkan. Ini bisa menjadi baik, jika konseli dapat menggambarkan masalahnya dari sudut pandang Affective, Behavioral, Cognitive dan Relational
2) Kumpulkan informasi-informasi spesifik dari persoalan utama. Konselor harus mendorong konseli untuk menggambarkan permasalahannya secara detil.
3) Intensitas penilaian masalah. Konselor perlu menilai tingkat masalah atau persoalan itu berpengaruh kepada konseli. Dalam situasi tertentu seperti kegelisahan, konselor harus memiliki rekapan dari kebiasaan permasalahannya.
4) Tingkat penilaian konseli untuk percaya bahwa masalah itu bisa berubah. Penilaian dalam wilayah ini akan sangat membantu pada saat menentukan intervensi dan kemungkinan penugasan di rumah.
5) Identifikasi metode yang pernah konseli gunakan untuk memcahkan masalah sebenarnya. Ini akan memberikan pengertian pada konseli dan menghindari penggandaan upaya yang sudah pernah dia lakukan.
Konsselor telah menilai masing-masing masalah signifikan yang telah dialami oleh klien. Langkah selanjutnya adalah memprioritaskan masalah tersebut. Keputusan untuk menetapkan sekelompok masalah-masalah sebagai kelompok pertama tergantung pada situasi, klien dan hubungan konseling.
f. Penilaian proses perubahan (assessing the change process). Dalam dunia konseling, muncul perkembangan yang menarik dalam memahami prinsip-prinsip fundamental dan proses dari perubahan. Model perpindahan teori Prochaska dkk (1992) dianggap sebagai model yang sangat berpengaruh dari perubahan sikap (Morera dkk, 1998). Prochaska dkk berpendapat bahwa konselor perlu memilih cara berdasarkan tingkatan klien pada proses perubahan. Mereka mempelajari kedua hal tentang perubahan-perubahan diri dan kemampuan untuk mengidentifikasi tingkatan perubahan.
Prochaska dan rekan telah menemukan bahwa orang berkembang melalui lima tahap seperti yang mereka ubah dan konseling akan lebih efektif jika penanganan masalah disesuaikan dengan tingkatan individu dalam proses perubahan. Pada tingkatan ini, individu tidak mempunyai niat untuk berubah dimasa depan. Beberapa klien mungkin tidak menyadari atau dibawah sadar mereka bahwa di sana ada masalah. Mereka harus berusaha untuk menunjukkan perubahan karena tekanan tersebut, tapi mereka akan kembali dengan cepat ke sikap sebelumnya ketika tekanan tersebut berakhir.
Langkah ke-2 adalah contemplation, dimana individu menjadi sadar bahwa masalah itu ada dan mulai menyadari permasalahan tersebut. Pada tingkat ini, walaupun demikian, mereka tidak mempunyai komitmen untuk bertindak. Tingkatn contemplation ditandai olaeh kesadaran yang seruis akan sebuah masalah, dan lien mulai mempertimbangkan pro dan kontra dalam mencari solusi sebuah masalah.
Dalam tahap persiapan (Preparation) klien mulai membuat aliterasi kecil dalam sikap dengan niatan mengambil tindakan pada bulan selanjutnya. Pada tingkatan aksi/tindakan (action), individu memodifikasi sikap, pengalaman atau lingkungan mereka. Tingkatan akhir dalam proses ini adalah pertahanan (maintenance), selama individu melakukan pecegahan untuk berbuat tidak baik lagi dan konsolidasi keuntungan prestasi pada tingkatan tindakan.
Secara umum, pertahanan akhir berjalan paling sebentar selama enam bulan. Penilaian tingkatan klien dan tingkatan perubahan bukan merupakan tindakan tradisional dari hasil wawancara. Penilaian tingkatan klien dalam proses perubahan bisa diselesaikan melalui wawancara klien. Respon dari pertanyan, berhubungan dengan latar belakang dan focus klien saat ini akan merefleksikan tingkatan mereka secara khas dalam proses perubahan. Ada juga sebuah instrumen/alat tingkatan-tingkatan daftar pertanyaan perubahan (the stages of change questionnaire) (McConnaughy, DiClemente, Prochaska, dan velicer, 1989; McConnaughy, Prochaska, dan velicer, 1983) yang bisa digunakan klien untuk mengakses tingkatan mereka dalam proses perubahan.
Kesimpulannya, isi dari wawncara tahap awal adalah, konselor harus menyadari tipe utama informasi yang ingin mereka timbulkan dari klien sebelum mereka memulai wawancara tahap awal. Wawancara tahap awal sering menjadi pondasi penilaian lebih jauh, oleh karena itu harus melewati jajaran topic.
2. Teknik dan Keahlian Dalam Wawancara
Wawancara tahap awal merupakan interaksi pertama dengan klien dan merupakan pandangan pertama yang mempunyai pengaruh pada hasil konseling. Konselor harus merefleksikan bagaimana mereka bias menunjukkan kredibilitas pada klien dalam koteks merekam bisa dipergaya, ahli dan atraktif.
Sejumlah individu telah menulis tentang pentingnya menggunakan keahlian komunikasi yang efektif dalam komunikasi. Kemampuam berkomunikasi dibutuhkan untuk mengomunikasikan bahwa klien didengar dan dimengerti melalui respon mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan wawancara. Pertanyaan tak terbatas sering digunakan dalam wawancara Karena pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin tidak terkesan “memimpin” dan sangat mempengaruhi klien. Pada pertanyaan yang terbatas, ada seperangkat respon “tutup/terbatas” (closed) dari klien yang bias memiliki sebuah jawaban, seperti jawaban salah satu dari “ya” atau ”tidak” untuk pertanyaan seperti “apakah anda menjalani konseling karena anda depresi?” pertnyaan-pertanyaan tak terbatas membutuuhkan jawaban yang lebih rinci dari klien. Wawancara yang tidak mempunyai format struktur maka konselor akan sering menggunakan keahlian berkomunikasi yang lain untuk membuat hasil dari wawancar klien. Secar umum menggunakan teknik paraphrase, klarifikasi, refleksi, interpretasi dan penyimpulan.
3. Wawancara Awal Berstruktur dan Tidak Berstruktur
Salah satu keputusaan yang harus diambil konselor untuk membuat bagian awal apakah menggunakan wawancara berstruktur atau tidak. Sebuah wawancara berstruktur salah satunya terjadi dimana konselor mempunyai seperangkat alat pembangun yang membuat klien bertanya dalam cara yang sam dan dalam setiap tahapan klien.dalam sebuah waawncara tak berstruktur, konselor boleh punya ide tentang jenis kemungkinan tapi melengkapi wawancara dalam cara yang unik dan berbeda, tergantung pada kebutuhan klien.wawancara semi struktur merupakan kombinasi dari wawancara berstruktur dan tidak dimana pertanyaan-pertanyaan khusus selalu ditanyakan tapi ada ruang untuk bereksplorasi dan menambah pertanyaan. Ada keuntungan dan kerugian dalam ketiga metode wawancara ini.
Keuntungan yang utama dari wawancara berstruktur adalah bahwa metode ini lebih dipercaya (Aiken, 1996). Kepercayaan dikhususkan pa proporsi eror yang imgin diminimalisr oleh konselor. Lebih jauhnya, seperti yang telah dikelompokkan sebelumnya, kepercayaan merupakan sebuah persyaratan menuju validitas. Jadi, wawancara berstruktur kemungkinan bias lebih valid daripada wawancara tak berstruktur, tapi ini tidak menjadi jaminan. Beberapa praktisi percaya bahwa berstruktur akan mempunyai pengaruh negatif dalam hubungan konseling karena klien akan merasa diintrogasi. Ini tak selalu akurat karena style/tipe pewawancara mempunyai pengaruh yang signifikan dalam informasi. Suara-suara dalam wawancara berstruktur terhubung secara inten pada pertanyaan-pertanyaan termasuk dalam waawncara dan kemampuan konselor untuk menimbulkan informasi-informasi krusial. Memang sulit untuk menciptakan wawancara berstruktur yang bias merespon kesatuan masalah yang luas dan situasi yang dihadapi oleh klien. Dengan wawancara berstruktur, merupakan sesuatu yang penting untuk melibatkan sebuah pertanyaan pada akhir wawancara yang akn membuat klien mudah memberikan informasi yang mungkn belum terkelompokkan.
Keuntungan dari wawancara tak berstruktur adalah bahwa wawancara ini bias diadaptasi untuk merespon kebuthan yang unik dari klien secara mudah. Waancara tak berstruktur bagaimanapun kurang terpercaya dan lebih mudah mengalami eror daripada wawancara berstruktur. Wawancara tak berstruktur cenderung lebih lama dalam mencari informasi seperti dibandingkan dengan wawancara berstruktur yang dibangun dengan baik. Keputusan untuk menggunakan wawancara berstruktur atau tak berstruktur harus berdasarkan tujuan. misalnya, jika tujuannya adalah untuk menyaring klien untuk melihat jika mereka tepat untuk sebuah klinik, lalu wawancara berstruktur yang mengurangi sejumlah eror mungkin lebih baik. Jika dilain pihak, tujuan wawancaranya adalah untuk memahami dengan lebih baik kspesifikan individu klien, lalu wawancara tak berstruktur mungkin mengiginkan eksplorasi individu yang lebih. Wawancara tak berstruktur membutuhkan kemampuan/skill yang lebih pada bagian pewawancara daripada wawancara berstruktur.
Petunjuk umum untuk menghubungkan wawancara tahap awal:
• menjamin rahasia klien (kecuali beberapa keadaan seperti bahaya bagi diri mereka atau orang lain)
• menanyakan pertanyaan dengan sopan dan dengan tatakrama yang diterima
• kata petanyaan diberikan dalam bentuk jawaban tak terbatas daripada bentuk yang terbatas
• hindari pertanyaan menguasai
• dengarkan dengan penuh perhatian
• perhatikn budaya dan latar belakang teknik klien dalam susunan wawancara
• sesuaikan pendekatan individu ke klien ( beberapa klien lebih nyaman dengan proses yang lebih formal,sedang yang lainnya lebih menyukai pendekatan yang ramah dan penuh kasih saying
• hindari “basa-basi” tentang topic yang tidak penting
• berikan semangat pada klien untuk mengekspresikan perasaan, pikiran dan sikap-sikapnya secara terbuka
• hindari istilah-istilah psikologi
• gunakan suara yang penuh kasih saying dan mengundang, tapi tetap professional
• berikan waktu yang cukup dan jangan membuat klien tergesa-gesa menyelesaikan pertanyaan kompleks
• jika respon klien tidak sesuai dengan topic, maka dengan sopan, bimbinglah mereka untuk kembali pada topic yang tepat
• ubah posisi tubuh untuk menghindari penampilan yang statis.
4. Mewawancarai Anak
Saran/sugesti sebelumnya dalam wawancara, seperti membangun hubungan, melengkapi kosakata sesuai tingkat pendidikan klien. Mengajukan pertanyaan dalam cara yang professional dilakukan dengan baik pada anak-anak. Konselor juga butuh untuk melengkapi wawancaral terhadap tingkat perkembangan anak. Sattler (1993) mengajukan petunjuk-petunjuk di bawah ini ketika mewawancarai anak-anak.:
1. susunlah pertanyaan pembuka yang tepat
2. buatlah komentar deskriptif
3. gunakanlah refleksi
4. berikanlah pujian secara berkala
5. hindarilah pernyataan kritik
6. gunakanlah kalimat sederhana dan referensi yang konkrit
7. susunlah pertanyaan dalam bentuk pengandaian saat dibutuhkan
8. harus bijaksana
9. gunakanlah alat-alat pementasan, krayon, tanah liat, atau mainan untuk membantu anak kecil berkomunikasi.
10. gunakanklah teknis khusus untuk menunjukkan ekspresi respon yang tidak bias diterima secara budaya
11. klarifikasi semua episode dari sikap jahat denagn menceritakannya kembali
12. tanganilah anak-anak yang berkomunikasi sedikit dengan mengklarifikasi prosedur waancara
13. tangani penghindaran topic dengan mendiskusikannya sendiri
14. mengertilah keadaan diam
15. tangani perlawanan dan kegelisahan dengan memberukan dukubgan dan penentraman hati lagi.
Jika anak menjadi bagian dari kekacauan permainan, mulai menangis, atau berbuat jahat, Greenspan dan Greenspan (1981) merekomendasikan untyuk tidak memberhentikan perbuatan itu terlalu cepat. Dia menyarankan bahwa observasi sikap ini bias menjadi waasan dan disiplin terlalu cepat yang bias membawa efek negative pada wawancara awal. Dilain pihak konselor tidak boleh hanya diam dan melihat anak merusak kantor konseling.
5. Kelebihan dan Kekurangan dari Wawancara
Validitas dari interview akan berpengaruh pada kualitas pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Para konselor harus mempertimbangkan validitas dari fakta-fakta dan kesimpulan yang mereka buat tentang klien berdasarkan pada wawancara pertama (awal). Kelebihan dari wawancara adalah wawancara memiliki kemampuan untuk menanyakan secara langsung permasalahan kepada klien tentang berbagai isu, masalah, dan informasi mengenai pribadi klien. Kekurangan-kekurangan dari wawancara sering berhubungan dengan validitas dari fakta yang kurang dan adanya pengaruh dari subjektifitas konselor. Peran gender dan budaya harus dipertimbangkan dalam menentukan strategi penilaian (assessment) yang mana yang akan digunakan.
B. Instrumen-instrumen Lain Yang Dapat Digunakan Dalam Initial Assesment.
Proses konseling sering kali dimulai dengan mengumpulkan informasi mengenai klien dan permasalahan-permasalahannya. Beberapa dari alat-alat tersebut adalah instrumen pengukuran (penilaian) yang informal (pendataan dan skala penilaian) yang tergabung dalam lembar laporan awal. Alat pengukuran (penilaian) yang lain dapat digunakan insrument yang lebih formal yang dapat memberikan informasi tentang gejala-gejala dan masalah-masalah.
1. Pendataan
Secara relatif, pendataan dapat dikatakan mudah dan metode lebih efektif untuk mengumpulkan informasi awal dari klien. Biasanya dalam pendataan, individu diinstruksikan untuk memilih kata atau frase pada daftar yang mereka terima.
a. Pendataan yang standar
Konselor dapat menyusun sendiri pendataan yang akan digunakan atau menggunakan beberapa pendataan yang sudah standar. Beberapa pendataan yang sudah terstandarisasi fokus pada laporan tentang gejala-gejala yang sedang klien rasakan saat itu juga. Symptom Cheklist-90-Revised (SCL-90-R, Derogatis, 1994) dan Brief Symptoms Inventory (BSI, Derogatis, 1993) adalah dua instrumen yang sudah populer dan sering digunakan dalam beberapa lingkungan kedokteran kesehatan mental. Instrumen-instrumen ini saling berhubungan dan sangat sama, kecuali SCL-90-R berisi 90 gejala menggunakan 5- skala poin kesulitan (0-4) berkisar dari 0 (tidak sama sekali) sampai 4 (luar biasa). SCL-90-R memerlukan waktu sekitar 15 menit dalam pelaksanaannya; BSI memakan waktu yang lebih sedikit.
Terdapat dua metode dimana dua inventori dapat digunakan sebagai screening tools yang bernilai. Clinician dapat dengan mudah meninjau hasil dari instrumen-instrumen dan menolong gejala-gejala yang diderita klien. Yang termasuk ke dalam pengukuran ini adalah permasalahan pikiran untuk mengakhiri hidupnya, perasaan tidak berharga, perasaan takut untuk terbuka, dan perasaan bahwa semua orang tidak bisa dipercaya. SCL-90-R dan BSI dapat dinilai dengan menetapkan ukuran-ukuran dalam 9 skala: somatization, obsesive-compulsive, sensitifitas interpersonal, depresi, kegelisahan/kecemasan, permusuhan, kecemasan karena phobia, paranoid, dan kegilaan. Terdapat tiga komposisi nilai yang sangat membantu konselor dalam menentukan apakah akan menyerahkan klien pada penilaian psikiater: Global Security Index, Positive Symptom Total, dan Positive Symptom Distress Index. Respon klien dapat dibandingkan antara dewasa yang tidak dalam perawatan, remaja yang tidak dalam perawatan, pasien psikiatri yang dirawat di rumah (bukan di RS), dan pasien psikiatri yang dirawat di RS. Konsistensi dalam pengukuran dan koefisien tes-tes ulang adalah cukup tinggi pada periode-periode terakhir. Ahli pengukuran merekomendasikan bahwa hasil dari SCL-90-R atau BSI baik selama tidak lebih dari 7 hari.
Pendataan yang sudah sering digunakan untuk anak yaitu Child Behaviour Checklist, meliputi 5 skala penilaian yang terpisah (orang tua/laporan pengawasan, laporan guru, laporan pribadi, observasi secara langsung, dan wawancara). Terdapat versi untuk anak usia 2 sampai 3 tahun, tapi yang paling sering digunakan adalah untuk anak usia 4 sampai 18 tahun. Child Behaviour Cheklist untuk anak 4-18 tahun (Achenbach, 1997) menilai masalah tingkah laku dan kompetensi-kompetensi, yang dinilai dengan tujuh area: Kecemasan/depresi, Pendiam, Somatic Complaints, Masalah Sosial, Masalah Pemikiran, Masalah Perhatian, Agresif, dan Kenakalan/kejahatan. Ada juga tiga aspek yang berhubungan dengan Internalizing, Externalizing, dan Total Problems.
b. Pendataan Informal
Pendataan informal ini dapat memberikan beberapa informasi permulaan, tetapi konselor perlu berhati-hati dalam menggunakan hasil yang tanpa informasi yang reliable dan valid. Dalam menggunakan pendataan ini, clinicians harus juga waspada pada beberapa individu yang memiliki kecenderungan untuk menandai banyak item sedangkan yang lainnya hanya menandai sedikit saja. Oleh karena itu, klien yang sudah menandai banyak masalah tidak harus dipandang sebagai klien yang lebih bermasalah dibandingkan dengan klien yang hanya menandari sedikit masalah saja.
2. Skala Penilaian
Skala penilaian ini meminta klien atau observer untuk memberikan beberapa indikasi dari sejumlah atau tingkatan masalah, sikap, atau ciri khas (karakter ) kepribadian yang dapat diukur.
Terdapat beberapa angka dalam skala penilaian yang berhubungan erat dengan saat konselor menafsirkan penilaian ini. Pada umumnya manusia cenderung untuk merespon nilai pertengahan, yang disebut central tendency error. Individu kurang menyukai untuk menilai diri mereka sendiri atau orang lain atau bahkan kedua-duanya terlalu rendah atau terlalu luar biasa tinggi. Hal lain ini menyinggun leniency error, dimana perhatian individual enggan memberikan penilaian pada hal yang tidak disukai. Manusia lebih menyukai untuk memilih hal yang positif jika dibandingkan dengan hal yang negatif. Akhirnya, penilaian pada orang lain sering terjadi sebuah halo effect. Penelitian ini mengindikasikan bahwa manusia dipengaruhi oleh kesan pertama dan kesan pertama in mempengaruhi penilaian-penilaian selanjutnya. Dengan demikian, dapat terbentuk positive halo atau negative halo.
Skala penilaian bisa saja tergabung pada assesmen awal dengan klien. Skala penilaian yang informal ini dapat dapat dilakukan secara verbal atau tergabung dengan formulir yang diberikan. Terdapat skala penilaian yang terstandarisasi seperti Conners Rating Scales- Revised (Conners, 1996). Conners Rating Scales- Revised adalah instrumen yang dibuat untuk menilai anak usia 3 – 17 tahun, instrumen dilengkapi oleh salah satu dari orang tua, guru, atau remaja. Terdapat dua formulir yaitu formulir panjang dan yang singkat untuk masin-masing dari tiga versi (orang tua, guru, dan remaja). Conners ADHD (Attention Defisit Hyperactivity Disorders) index dapat diperoleh dari semua versi dari skala ini. Disamping indikator kemungkinan ADHD, ada skala lain (perlawanan, cemas/malu, masalah sosial).
3. Screening Inventori lainnya
Ada beberapa screening instrumens awal selain pendataan dan skala penilaian. Sebuah contoh dari instrument ini adalah Problem Oriented Screening Instrument for Teenager (POSIT). POSIT adalah pragram inisiasi terbaru yang dikembangkan oleh National Institute Drug Abuse (NIDA) yang disebut Adolescent Assesment/Referal System (Rahdert, 1997). Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pengukuran dan sistem referal untuk masalah remaja berusia 12 sampai 19 tahun. Dewasa ini, POSIT dan daftar pertanyaan mengenai sejarah personal digunakan untuk menentukan apakah perlu dilakukan asesmen lebih lanjut. Screening tool ini baru mulai digunakan tetapi sangat berpotensi untuk sangat berguna.
Kesimpulannya, terdapat beberapa instrumen baik yang formal maupun yang informal yang dapat membantu pengumpulan informasi melalui wawancara yang dilakukan. Beberapa konselor menggabungkan teknik ini secara rutin mengingat yang lain akan secara periodik menggunakan checklist (pendataan), skala penilaian, atau inventori lainnya. Konselor dapat meningkatkan efektifitas mereka dengan menggunakan banyak metode dalam mengumpulkan informasi. Terkadang dalam proses pengumpulan informasi, konselor akan menentukan perlunya penilaian klien secara terus menerus. Untuk contoh, selama wawancara berlangsung, konselor mungkin melihat tanda-tanda depresi dan membutuhkan pengumpulan informasi yang lebih spesifik mengenai depresi ini.
C. Menilai Masalah Spesifik Pada Tahap Awal
Beberapa masalah spesifik harus benar-benar diperimabngkan pada konseling tahap awal, karena jika masalah-masalah spesifik ini terlupakan maka dapat mengakibatkan hasil yang negatif, bahkan sampai pada kematian klien. Untuk contoh, jika konselor tidak dapat mengukur potensi klien untuk bunuh diri, lalu klien melakukan bunuh diri saat masih bisa dihalangi dan akan mampu mempertahankan klien untuk tetap hidup.
1. Assesmen terhadap potensi untuk bunuh diri
Pada sesi awal konseling, konselor perlu untuk mengevaluasi potensi untuk bunuh diri pada tiap klien. Pengidentifikasian keinginan bunuh diri pada klien bisa menghindari kematian. Kemungkinan bekerja menghadapi klien yang berpotensi untuk bunuh diri sangatlah tinggi. Seorang konselor mungkin bekerja menghadapi klien yang nampaknya beresiko kecil untuk bunuh diri; tapi bagaimanapun, beberapa jam kemudian sesuatu mungkin terjadi dan mengubah secara signifikan resiko bunuh diri tersebut.
Memiliki informasi hasil penelitian demografi dapat membantu konselor menjaring klien yang berpotensi bunuh diri. Umumnya, pria lebih rentan untuk bunuh diri dari pada wanita, meskipun beberapa study menunjukan wanita lebih rentan untuk mencoba bunuh diri. (Garrison, 1992). Hasil tersebut, bagaimanapun, tidak mengindikasikan bahwa penyikapan masalah bunuh diri pada wanita kurang serius daripada penyikapan pada pria. Klien berkulit putih cenderung lebih rentan bunuh diri daripada klien yang berasal dari kaum minoritas, dimana klien berkulit putih keturunan Afrika-Amerika dua kali lipat lebih banyak melakukan bunuh diri. Bagaimanapun, angka bunuh diri penduduk asli amerika lebih tinggi daripada angka pada populasi pada umumnya (Berlin, 1987). Status perkawinan seseorang juga ditemukan memiliki kaitan dengan resiko untuk melakukan bunuh diri.
Depresi dan kecanduan alkohol teridentifikasi antara 57% dan 86% terjadi pada semua korban bunuh diri, dengan mayoritas kesemuanya itu sangat berkaitan dengan depresi. Satu ciri penting yang harus dilihat saat melakukan assesmen keinginan bunuh diri adalah perasaan keputusasaan atau ketidakberdayaan.
Stelmacher (1995) merekomendasikan ada tujuh area yang menjadi fokus clinician saat melakukan assesmen resiko bunuh diri.
1) Komunikasi verbal. Jika klien mengungkapkan secara verbal bahwa dia berniat untuk bunuh diri, itulah tanda yang sangat jelas dan dapat diidentifikasi untuk selanjutnya diadakan investigasi terhadap situasi yang mungkin dapat mematikan.
2) Rencana. Jika ada indikasi yang memungkinkan adanya pemikiran untuk bunuh diri. Perhatian konselor terhadap klien harus meningkat jika ada sebuah perencanaan dan rencana tersebut spesifik, kongkrit, dan detil. Bagaimanapun, kata hati klien mungkin tidak bermaksud mengembangkan sebuah rencana tapi mungkin tetap akan melakukan bunuh diri jika situasi memburuk.
3) Metode. Konselor harus menginvestigasi apakah metode bunuh diri tertentu sudah dipilih. Dalam menganalisa metodenya, konselor harus mengevaluasi ketersediaan metode itu dan derajat mematikannya metode itu. Seorang konselor perlu menentukan Tingkatannya untuk mengetahui resiko dan kemungkinan terlaksananya rencana bunuh diri. Konselor juga harus mengeksplor apakah metode tersebut juga meliputi persediaan untuk menghindari pertolongan. (atau sebalikannya, apakah rencana itu dapat tertolong).
4) Persiapan. bagian lain yang perlu dieksplor yaitu apakah klien telah mulai melakukan proses persiapan. Karena tingkat bahayanya sangat berhubungan erat dengan persiapan tersebut.
5) Stresor. Salah satu bagian lain yang harus diassesmen yaitu stresor. Klien mungkin tidak berada dalam keadaan bahaya yang mendesak, tapi mungkin mempercepat terjadinya bunuh diri apa bila keadaan benar-benar memungkinkan.
6) Keadaan Mental. Asesmen terhadap keadaan mental klien sangat penting dalam menentukan resiko yang akan timbul, baik resika yang mendesak ataupun resiko jangka panjang. Faktor psikologis seperti depresi, jelas-jelas berkaitan erat dengan percobaan bunuh diri. Beberapa klien yang sedang dalam proses akan melaksanakan bunuh diri akan mengalami peningkatan spirit karena mereka akhirnya menemukan sosusi untuk mengakhiri rasa sakit mereka.
7) Keputusasaan. Level atau tingkat keputusasaan adalah ukuran untuk menenentukan resiko bagi klien yang tidak melaporkan pemikiran apapun mengenai bunuh diri.
Semua dugaan bunuh diri memiliki keterbatasan waktu dan menyinggung resiko hanya saat sekarang. Konselor perlu mengevaluasi kembali secara terus menerus potensi bunuh diri pada diri klien.
Instrumen potensi bunuh diri. Skala kemungkinan bunuh diri (Cull & Gill, 1992) adalah 36 macam instrumen yang menyediakan keseluruhan ukuran resiko bunuh diri. untuk informasi lebih detil, subskala yang menilai adalah keputus asaan, ide untuk bunuh diri, evaluasi diri yang negatif, dan permusuhan. Keuntungan dari instrumen ini adalah terpisahnya norma bagi individu normal, pasien psikiter, dan pencoba bunuh diri yang mematikan (mereka yang mencoba bunuh diri menggunakan metode yang bisa menimbulkan kematian).
Aaron Beck, penulis terapi kognitif, telah membuat dua skala yang menghubungkan potensi bunuh diri. the Beck Scale for Suicide Ideation (Beck & Steer, 1991) dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menyaring klien yang mengakui adanya pemikiran untuk bunuh diri. terdapat lima macam saringan yang mereduksi sejumlah waktu bagi klien yang tidak melaporkan ide untuk bunuh diri. penulis merekomendasikan untuk tidak menggunakan instrumen itu sendiri, tetapi dengan mengkombinasikannya dengan alat-alat assesmen. Instrumen Beck lainnya, The Beck Hopelessness Scale (Beck & Steer, 1993) telah menunjukan adanya hubungan dalam mengukur tujuan dan ide bunuh diri. instrumen ini sudak memenuhi norma-norma yang tersedia bagi klien yang berniat bunuh diri.
Validitas instrumen yang akan menilai potensi untuk melakukan bunuh diri sedikit banyak menimbulkan problema. Itu akan menjadi tidak etis untuk memberikan sebuah sampel individu yang berpotensi bunuh diri dengan sebuah instrumen dan mengumpulkan satu data yang mana menunjukan fakta akan melakukan bunuh diri. Seorang konselor seharusnya mengkonsultasikan dengan profesi yang lain apakah ada perhatian lain yang berhubungan dengan penilaian resiko bunuh diri. Sangat sering terjadi dengan klien yang berpotensi bunuh diri, seorang konselor mungkin perlu menjamin kliennya menerima evaluasi psikiatrik.
2. Assesmen Depresi
Untuk menilai apakah seorang klien depresi, seorang konselor perlu memiliki pemahaman beberapa karakteristik umum klien yang mengalami depresi itu. Menurut McNamara (1992), simptom depresi biasanya mencakup mood dysphoric yang sering disertai perasaan kegelisahan, rasa bersalah dan dendam. Depresi ditandai dengan kesulitan konsentrasi, pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Klien cenderung pesimis dan memiliki sikap negatif terhadap diri mereka sendiri, orang lain dan dunia. Simptom-simptom fisik dan perilaku juga biasanya sementara, terutama apabila depresi itu lebih mengkhawatirkan. Penarikan diri dari masyarakat adalah suatu gejala, cenderung udah menangis, tak beraktvitas dan kehilangan minat dalam aktivitas yang dahulunya menyenangkan.
1) Inventori Depresi Beck.
Ponterotto, Pace, dan Kavan (1989) mengidentifikasi 73 tindakan depresi yang berbeda yang digunakan para peneliti atau para praktisi kesehatan mentaln dari tindakan-tindakan berbeda ini, the Beck Depression Inventory (DBI) yang paling banyak digunakan. Pada faktanya, BDI digunakan sepuluh kali lenih sering dibandingkan dengan intrumen terpopuler kedua. Versi yang baru dari BDI baru-baru ini sudah diterbitkan. the Beck Depression Inventory II (DBI II, Beck, Steer, & Brown, 1996). BDI direvisi untuk meluruskan diagnosa dan statistik manual Mental disorder (DSM-IV) kriteria depresi seperti pendahulunya, BDI-II hanya berisi 21 hal pokok dan biasanya membutuhkan waktu 5 menit bagi klien untuk menyelesaikannya. Pada setiap hal pokok, ada 4 pilihan yang menambah level keparahan. Oleh karena itu, hasil BDI-II menyediakan suatu indeks keparahan depresi. Berkenaan revisi baru-baru ini, pada BDI-II ada ketersediaan informasi psikometri yang terbatas. Koefisien alpha secara keseluruhan lebih tinggi BDI-II daripada BDI. Penelitian Steer & Clarks (1997) pada mahasiswa yang mendukung kepercayaan tinggi pada BDI-II dan berkontribusi terhadap pembangunan validitas instrumen. BDI-II berdasarkan BDI yang diteliti secara luas. Tinjauan terhadap BDI (conoley, 1994; Sundberg, 1994) pada umumnya positif tapi menekankan BDI untuk tidak digunakan sendiri dalam assesmen depresi. Sebagai tambahan, Conoley mengingatkan bahwa hal-hal pokok yang berhubungan dengan bunuh diri dapat dipalsukan dengan mudah.
2) Instrumen-instrumen Depresi yang lain.
Terdapat beberapa instrument yang terstandarisasi yang dapat digunakan untuk melakukan assessment depresi. Untuk anak-anak dan remaja, terdapat Children’s Depression Inventory (Kovacs, 1992), Children’s Depression Rating Scale, Revised (Poznanski&Makros, 1996), dan Reynolds Adolescent Depression Scale (Reynolds, 1987), dan Reynolds Child Depression Scale (Reynolds, 1989). Instrumen-instrumen lain disamping BDI-II untuk orang dewasa adalah Hamilton Depression Inventory (Reynolds & Kobak, 1995), dan State Trait-Depression Adjective Check Lists (Lubin, 1994). Revised Hamilton Rating Scale for Depression (Warrren, 1994) adalah instrument lain yang dibuat untuk mengukur tingkat depresi yang dirasakan oleh klien; bagaimanapun, ahli klinis daripada klien melengkapi instrument.
3. Asesmen Penyalahgunaan Zat
Berdasarkan Greene dan Banken (1995), para ahli klinis sering mengalami kegagalan untuk mengenali simptom-simptom sebagai refleksi penyalahgunaan zat atau ketergantungan. Lazimnya penyalahgunaan zat dalam setting klinis sudah tinggi, dengan berkisar antara 12 dan 30 persen (Moore et al., 1989). Hal ini masih belum bisa ditentukan mengenai konstitusi penyalahgunaan zat. Pada bab 13, akan didiskusikan mengenai criteria dari diagnosis penyalahgunaan zat.
Dalam konseling perlu dengan segera diidentifikasi apakah klien melakukan penyalahgunaan zat. Seorang konselor yang menggali kemungkinan dari penyalahgunaan zat dapat dengan mudah dimulai dengan menemukan isu-isu yang secara esensial mengakibatkan penyalahgunaan zat. Satu metode untuk menggali kemungkinan dari penyalahgunaan zat dengan menanyakannya langsung pada klien. Oetting dan Beauvais (1990) menemukan bahwa self-report dapat diterima dan reliable. Biar bagaimanapun, beberapa masalah memiliki validitas karena banyak klien enggan untuk memperlihatkan penggunaan dari zat-zat atau mengenai jumlah yang digunakan. Akan tetapi, para konselor harus mencari informasi mengenai jenis drugs yang digunakan dan jumlah alcohol yang dikonsumsi oleh klien. Dalam istilah pengobatan, resep-resep, melebihi batas, dan jenis drugs harus diketahui. Hal-hal tersebut harus diselidiki, pertama, karena penggunaaan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan permasalahan. Alasan kedua adalah untuk mengetahui semua tipe drugs karena meskipun ada beberapa yang secara biasa digunakan untuk pengobatan, jika digunakan berlebihan maka akan memberikan efek tertentu. Kadang-kadang beberapa symptom yang ada pada klien (selalu merasa lelah) merupakan akibat dari pengobatan; konselor harus berkonsultasi pada Physician’s Desk Reference agar mengetahui tentang akibat penggunaan drugs.
Standarisasi Instrumen Penyalahgunaan zat.
Terdapat beberapa standarisasi instrument yang dibuat secara spesifik untuk mengukur penyalahgunaan zat. Tabel 6.5 melibatkan daftar beberapa instrument yang sering digunakan. Satu instrument yang digunakan oleh para praktisi adalah Substance Abuse Subtle Screening Inventory (SASSI-2, SASSI Institute, 1996). SASSI Institute berisi bahwa SASSI-2 memiliki 88 persen akurasi dalam mengidentifikasi individual dengan gangguan yang berhubungan dengan zat. Oleh karena terdapat pembaharuan dari instrument ini, maka tidak cukup dilakukan riset untuk melihat hal ini apabila ada peneliti-peneliti lain mendukung penemuan-penemuan ini. Hal lain yang sudah biasa digunakan sebagai alat asesmen adalah CAGE, yang merupakan teknik wawancara yang sederhana yang sering digunakan dalam lingkungan medis. CAGE (Mayfield, McLeod, & Hall, 1974) adalah alat untuk membantu untuk empat pertanyaan berikut ini:
1) Apakah Anda pernah merasa bahwa Anda harus mengakhiri kebiasaan anda minum minuman keras?
2) Pernahkah anda merasa terganggu dengan kritikan orang-orang di sekitar ini?
3) Apakah Anda pernah merasa buruk atau merasa bersalah dalam kebiasaan meminum minuman keras?
4) Apakah Anda pernah merasakan kegelisahan atau mencoba untuk menghilangkan rasa sakit pada saat bangun tidur di pagi hari ?
Apabila jawaban yang didapat mengindikasikan masalah, ahli klinis harus mengumpulkan informasi yang lebih detail mengenai kebiasaan minum minuman keras. Terkadang, biar bagaimana pun, klien akan menolak pernyataan bahwa minum minuman keras atau menggunakan obat terlarang adalah masalah. Satu teknik untuk membuat klien memiliki self-monitor dan merekam saat-saat klien minum minuman keras. Beberapa klien akan terkejut sendiri setelah melihat rekaman jumlah minuman keras yang ia konsumsi. Teknik lainnya, kadang menghubungkan dengan “acid test” yaitu untuk bertanya pada klien untuk mengontrol atau membatasi konsumsi minuman keras. Sebagai contoh, klien akan membatasi kuantitas minuman yaitu tidak lebih dari tiga kali dalam kurun waktu tiga bulan. Hal ini akan memberikan indikasi bahwa mengkonsumsi minuman keras dapat terkontrol.
INITIAL ASSESMENT IN COUNSELLING
INITIAL ASSESMENT IN COUNSELLING
(Asesmen Awal Dalam Konseling)
Konseli seringkali datang untuk berkonsultasi dengan informasi persoalan dan masalah terkini yang samar dan merupakan pendefinisian suatu gejala penyakit. Konselor sangat memerlukan keterampilan dalam mengatasi masalah-masalah yang terlihat samar ini dan harus bisa mengidentifikasi persoalan dan masalah yang relefan. Cormier and cormier (1998) berpendapat bahwa masalah itu jarang hanya berkaitan dengan satu faktor, biasanya bersifat multidmensionl, dan memiliki ciri khas terjadi dalam kontex sosial. Oleh karena itu, konselor perlu menguasai keterampilan awal asesmen untuk mengidentifikasi faktor yang berkaitan degan masalah konseli dalam suatu interaksi yang kompleks. Konseling akan cenderung lebih efektif ketika konselor mampu dengan cepat menangkap persoalan yang sedang terjadi. Sexton dan reknnya juga mengemukakan bahwa jika konselor bisa membangun dugaan yang positif selama proses cepat ini berlangsung, maka konseling akan lebih efektif. sebuah penelitian menemukan bahwa dugaan konseli tentang konseling sebelum mendaptkan pengaruh yang sangat kecil pada hasil akhir: bagaimanapun, dugaan bagi konseli dibangun selama sesi awal memiliki pegaruh yang signifikan pada hasilnya.
A. Wawancara Awal
Nelson (1983) mengemukakan bahwa wawancara adalah salah satu cara yang biasa dilakukan dalam strategi asesmen. Walaupun faktanya wawancara adalah suatu strategi asesmen yang lazim digunakan, tapi tidak mudah untuk membuatnya efektif. Pada kenyataannya garis pedoaman dan pelatihan perlu memperoleh informasi yang akurat dan sah dari sebuah wawancara. (Duley, cancelli, Kratochwill, Bergan dan Meredith. 1983)
Wawancara awal yang efektif adalah yang seimbang antara mengumpulkan informasi dan membangun sebuah hubungan yang therapeutik. Informasi yang terkumpul dalam wawancara awal
1. Informasi Yang Terkumpul Dalam Wawancara
informasi yang tekumpul akan merubah beberapa hal yang dipercayai dalam suatu lingkungan dan layanan yang disampaikan. Ada beberapa area penting bagi konselor untuk diteliti sebelum mulai tahapan perawatan dalam konseling diantaranya :
1. Haruskah orang ini melakukan konseling?
2. Apa persoalan atau masalah utamanya?
3. Apa perawatan yang paling efekif atau pendekatan konseling seperti apa untuk konseli ini?
4. Haruskah dia melibatkan anggota keluarga dalam konseling yang rumit?
5. Bisakah saya bekerja efektif dengan konseli ini?
6. Tipe hubungan yang seperti apa yang harus saya jalin dengan konseli ini?
7. Bagaimana caranya untuk mengevaluasi keefektifan konseling?
Area final dari penelitian konselor untuk menilai dalam tahap awal konseling adalah pada tahapan konseli mengalami perubahan proses. (See Prochask, Diclemente dan Norcross, 1992).
a. Informasi Demografis
Ciri khas dari informasi demografis adalah dikumpulkan dari kertas kerja suatu agen, atau sudah tersedia dalam organisasi itu seperti sekolah. Dalam situasi krisis informasi demografis perlu dikumpulkan berkaitan dengan pembuatan keputusan klinis.
b. Memperlihatkan Perhatian
Hasil dari peneltian mengindikasian bahwa ada hubungan antara menunjukan perhatian kepada konseli dengan hasil yang efektif. Proses ini tidak hanya melputi komplain saja, tapi juga meliputi pengumpulan informasi dalam waktu yang sama. Seorang konselor harus juga mengexplore frekuensi masalah, tingkat pengaruh masalah itu dalam keseharian konseli dan metode yang pernah dilakukan konseli dalam mengatasi masalah itu di masa lalu.
c. Informasi Latar Belakang Konseli
Kebanyakan konselor mengumpulkan informasi latar belakang dengan cara ”Psychosocial Interview”. Pengumpulan informasi mengenai latar belakang konseli tidak harus terlalu detil, cukup yang berkaitan dengan masalah konseli sekarang. Semua informasi ini tidak dikumpulkan dengan wawancara serius. Lebih baik pengumpulan informasi ini dilakukan dengan cara yang lebih ringan. Cormier dan Cormier (1998) berpendapat konselor dalam kondisi apapun harus mengumpilkan beberapa inforasi latar belakang konseli.
informasi latar belakang yang termasuk wawancara awal:
1) Identifikasi informasi, Nama konseli, alamat, Nomor telepon, umur, jens kelamin, status perkawinan, pekerjaan, tempat bekerja atau sekolah, telepn kantor, dan nomor kontak yang dapat dihubungi dalam keadaan darurat.
2) Tujuan konseling/penyelesaian masalah
3) Penampilan fisik
4) Tingkat partisipasi di tempat bekerja atau sekolah, hubungan, waktu luang
5) Sejarah Medis dan Status
6) Pengalaman konseling atau Sejarah Psychiatric
7) Informasi Keluarga
8) Sosial/ Sejarah perkembangan
9) Pendidikan/ Sejarah Pekerjaan
d. Kesehatan dan sejarah medis konseli
Konselor perlu memiliki pengetahuan mengenai kondisi medis konseli untuk dapat memahami kondisi konseli secara holistik. Jika konseli memiliki pemerikasaan fisik terakhir, penting bagi konselor untuk mengumpulkan informasi medis dan menyelediki efek yang mungkin timbul dari pemeriksaan yang pernah dilakukan konseli. Konselor juga harus mengumpulkan informasi penyakit dan treatmen yang pernah diberikan pada konseli.
e. Menjabarkan masalah konseli
Asesmen masalah menempati peran yang penting dalam konseling, karena petingnya hal ini konselor harus memiliki pemahaman yang jelas mengenai persoalan dan masalah yang terjadi. Mohr (1995) berpendapat bahwa konseling dapat memberikan dampak yang negatif bagi konseli dan salah satu penyebab utamanya adalah konselor meremehkan kerumitan masalah konseli. Setelah konselor dapat mengidentifikasi masalah yang dominan, konselor harus menyelidiki persoalan-persoalan ini lebih detil. Di bawah ini adalah topik untuk menjabarkan masalah konseli:
1) Pecahkan masalahnya dari berbagai sudut pandang. Konselor harus bisa menampilkan masalah-masalah iu dari bermacam-macam poin yan g menguntungkan. Ini bisa menjadi baik, jika konseli dapat menggambarkan masalahnya dari sudut pandang Affective, Behavioral, Cognitive dan Relational
2) Kumpulkan informasi-informasi spesifik dari persoalan utama. Konselor harus mendorong konseli untuk menggambarkan permasalahannya secara detil.
3) Intensitas penilaian masalah. Konselor perlu menilai tingkat masalah atau persoalan itu berpengaruh kepada konseli. Dalam situasi tertentu seperti kegelisahan, konselor harus memiliki rekapan dari kebiasaan permasalahannya.
4) Tingkat penilaian konseli untuk percaya bahwa masalah itu bisa berubah. Penilaian dalam wilayah ini akan sangat membantu pada saat menentukan intervensi dan kemungkinan penugasan di rumah.
5) Identifikasi metode yang pernah konseli gunakan untuk memcahkan masalah sebenarnya. Ini akan memberikan pengertian pada konseli dan menghindari penggandaan upaya yang sudah pernah dia lakukan.
Konsselor telah menilai masing-masing masalah signifikan yang telah dialami oleh klien. Langkah selanjutnya adalah memprioritaskan masalah tersebut. Keputusan untuk menetapkan sekelompok masalah-masalah sebagai kelompok pertama tergantung pada situasi, klien dan hubungan konseling.
f. Penilaian proses perubahan (assessing the change process). Dalam dunia konseling, muncul perkembangan yang menarik dalam memahami prinsip-prinsip fundamental dan proses dari perubahan. Model perpindahan teori Prochaska dkk (1992) dianggap sebagai model yang sangat berpengaruh dari perubahan sikap (Morera dkk, 1998). Prochaska dkk berpendapat bahwa konselor perlu memilih cara berdasarkan tingkatan klien pada proses perubahan. Mereka mempelajari kedua hal tentang perubahan-perubahan diri dan kemampuan untuk mengidentifikasi tingkatan perubahan.
Prochaska dan rekan telah menemukan bahwa orang berkembang melalui lima tahap seperti yang mereka ubah dan konseling akan lebih efektif jika penanganan masalah disesuaikan dengan tingkatan individu dalam proses perubahan. Pada tingkatan ini, individu tidak mempunyai niat untuk berubah dimasa depan. Beberapa klien mungkin tidak menyadari atau dibawah sadar mereka bahwa di sana ada masalah. Mereka harus berusaha untuk menunjukkan perubahan karena tekanan tersebut, tapi mereka akan kembali dengan cepat ke sikap sebelumnya ketika tekanan tersebut berakhir.
Langkah ke-2 adalah contemplation, dimana individu menjadi sadar bahwa masalah itu ada dan mulai menyadari permasalahan tersebut. Pada tingkat ini, walaupun demikian, mereka tidak mempunyai komitmen untuk bertindak. Tingkatn contemplation ditandai olaeh kesadaran yang seruis akan sebuah masalah, dan lien mulai mempertimbangkan pro dan kontra dalam mencari solusi sebuah masalah.
Dalam tahap persiapan (Preparation) klien mulai membuat aliterasi kecil dalam sikap dengan niatan mengambil tindakan pada bulan selanjutnya. Pada tingkatan aksi/tindakan (action), individu memodifikasi sikap, pengalaman atau lingkungan mereka. Tingkatan akhir dalam proses ini adalah pertahanan (maintenance), selama individu melakukan pecegahan untuk berbuat tidak baik lagi dan konsolidasi keuntungan prestasi pada tingkatan tindakan.
Secara umum, pertahanan akhir berjalan paling sebentar selama enam bulan. Penilaian tingkatan klien dan tingkatan perubahan bukan merupakan tindakan tradisional dari hasil wawancara. Penilaian tingkatan klien dalam proses perubahan bisa diselesaikan melalui wawancara klien. Respon dari pertanyan, berhubungan dengan latar belakang dan focus klien saat ini akan merefleksikan tingkatan mereka secara khas dalam proses perubahan. Ada juga sebuah instrumen/alat tingkatan-tingkatan daftar pertanyaan perubahan (the stages of change questionnaire) (McConnaughy, DiClemente, Prochaska, dan velicer, 1989; McConnaughy, Prochaska, dan velicer, 1983) yang bisa digunakan klien untuk mengakses tingkatan mereka dalam proses perubahan.
Kesimpulannya, isi dari wawncara tahap awal adalah, konselor harus menyadari tipe utama informasi yang ingin mereka timbulkan dari klien sebelum mereka memulai wawancara tahap awal. Wawancara tahap awal sering menjadi pondasi penilaian lebih jauh, oleh karena itu harus melewati jajaran topic.
2. Teknik dan Keahlian Dalam Wawancara
Wawancara tahap awal merupakan interaksi pertama dengan klien dan merupakan pandangan pertama yang mempunyai pengaruh pada hasil konseling. Konselor harus merefleksikan bagaimana mereka bias menunjukkan kredibilitas pada klien dalam koteks merekam bisa dipergaya, ahli dan atraktif.
Sejumlah individu telah menulis tentang pentingnya menggunakan keahlian komunikasi yang efektif dalam komunikasi. Kemampuam berkomunikasi dibutuhkan untuk mengomunikasikan bahwa klien didengar dan dimengerti melalui respon mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan wawancara. Pertanyaan tak terbatas sering digunakan dalam wawancara Karena pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin tidak terkesan “memimpin” dan sangat mempengaruhi klien. Pada pertanyaan yang terbatas, ada seperangkat respon “tutup/terbatas” (closed) dari klien yang bias memiliki sebuah jawaban, seperti jawaban salah satu dari “ya” atau ”tidak” untuk pertanyaan seperti “apakah anda menjalani konseling karena anda depresi?” pertnyaan-pertanyaan tak terbatas membutuuhkan jawaban yang lebih rinci dari klien. Wawancara yang tidak mempunyai format struktur maka konselor akan sering menggunakan keahlian berkomunikasi yang lain untuk membuat hasil dari wawancar klien. Secar umum menggunakan teknik paraphrase, klarifikasi, refleksi, interpretasi dan penyimpulan.
3. Wawancara Awal Berstruktur dan Tidak Berstruktur
Salah satu keputusaan yang harus diambil konselor untuk membuat bagian awal apakah menggunakan wawancara berstruktur atau tidak. Sebuah wawancara berstruktur salah satunya terjadi dimana konselor mempunyai seperangkat alat pembangun yang membuat klien bertanya dalam cara yang sam dan dalam setiap tahapan klien.dalam sebuah waawncara tak berstruktur, konselor boleh punya ide tentang jenis kemungkinan tapi melengkapi wawancara dalam cara yang unik dan berbeda, tergantung pada kebutuhan klien.wawancara semi struktur merupakan kombinasi dari wawancara berstruktur dan tidak dimana pertanyaan-pertanyaan khusus selalu ditanyakan tapi ada ruang untuk bereksplorasi dan menambah pertanyaan. Ada keuntungan dan kerugian dalam ketiga metode wawancara ini.
Keuntungan yang utama dari wawancara berstruktur adalah bahwa metode ini lebih dipercaya (Aiken, 1996). Kepercayaan dikhususkan pa proporsi eror yang imgin diminimalisr oleh konselor. Lebih jauhnya, seperti yang telah dikelompokkan sebelumnya, kepercayaan merupakan sebuah persyaratan menuju validitas. Jadi, wawancara berstruktur kemungkinan bias lebih valid daripada wawancara tak berstruktur, tapi ini tidak menjadi jaminan. Beberapa praktisi percaya bahwa berstruktur akan mempunyai pengaruh negatif dalam hubungan konseling karena klien akan merasa diintrogasi. Ini tak selalu akurat karena style/tipe pewawancara mempunyai pengaruh yang signifikan dalam informasi. Suara-suara dalam wawancara berstruktur terhubung secara inten pada pertanyaan-pertanyaan termasuk dalam waawncara dan kemampuan konselor untuk menimbulkan informasi-informasi krusial. Memang sulit untuk menciptakan wawancara berstruktur yang bias merespon kesatuan masalah yang luas dan situasi yang dihadapi oleh klien. Dengan wawancara berstruktur, merupakan sesuatu yang penting untuk melibatkan sebuah pertanyaan pada akhir wawancara yang akn membuat klien mudah memberikan informasi yang mungkn belum terkelompokkan.
Keuntungan dari wawancara tak berstruktur adalah bahwa wawancara ini bias diadaptasi untuk merespon kebuthan yang unik dari klien secara mudah. Waancara tak berstruktur bagaimanapun kurang terpercaya dan lebih mudah mengalami eror daripada wawancara berstruktur. Wawancara tak berstruktur cenderung lebih lama dalam mencari informasi seperti dibandingkan dengan wawancara berstruktur yang dibangun dengan baik. Keputusan untuk menggunakan wawancara berstruktur atau tak berstruktur harus berdasarkan tujuan. misalnya, jika tujuannya adalah untuk menyaring klien untuk melihat jika mereka tepat untuk sebuah klinik, lalu wawancara berstruktur yang mengurangi sejumlah eror mungkin lebih baik. Jika dilain pihak, tujuan wawancaranya adalah untuk memahami dengan lebih baik kspesifikan individu klien, lalu wawancara tak berstruktur mungkin mengiginkan eksplorasi individu yang lebih. Wawancara tak berstruktur membutuhkan kemampuan/skill yang lebih pada bagian pewawancara daripada wawancara berstruktur.
Petunjuk umum untuk menghubungkan wawancara tahap awal:
• menjamin rahasia klien (kecuali beberapa keadaan seperti bahaya bagi diri mereka atau orang lain)
• menanyakan pertanyaan dengan sopan dan dengan tatakrama yang diterima
• kata petanyaan diberikan dalam bentuk jawaban tak terbatas daripada bentuk yang terbatas
• hindari pertanyaan menguasai
• dengarkan dengan penuh perhatian
• perhatikn budaya dan latar belakang teknik klien dalam susunan wawancara
• sesuaikan pendekatan individu ke klien ( beberapa klien lebih nyaman dengan proses yang lebih formal,sedang yang lainnya lebih menyukai pendekatan yang ramah dan penuh kasih saying
• hindari “basa-basi” tentang topic yang tidak penting
• berikan semangat pada klien untuk mengekspresikan perasaan, pikiran dan sikap-sikapnya secara terbuka
• hindari istilah-istilah psikologi
• gunakan suara yang penuh kasih saying dan mengundang, tapi tetap professional
• berikan waktu yang cukup dan jangan membuat klien tergesa-gesa menyelesaikan pertanyaan kompleks
• jika respon klien tidak sesuai dengan topic, maka dengan sopan, bimbinglah mereka untuk kembali pada topic yang tepat
• ubah posisi tubuh untuk menghindari penampilan yang statis.
4. Mewawancarai Anak
Saran/sugesti sebelumnya dalam wawancara, seperti membangun hubungan, melengkapi kosakata sesuai tingkat pendidikan klien. Mengajukan pertanyaan dalam cara yang professional dilakukan dengan baik pada anak-anak. Konselor juga butuh untuk melengkapi wawancaral terhadap tingkat perkembangan anak. Sattler (1993) mengajukan petunjuk-petunjuk di bawah ini ketika mewawancarai anak-anak.:
1. susunlah pertanyaan pembuka yang tepat
2. buatlah komentar deskriptif
3. gunakanlah refleksi
4. berikanlah pujian secara berkala
5. hindarilah pernyataan kritik
6. gunakanlah kalimat sederhana dan referensi yang konkrit
7. susunlah pertanyaan dalam bentuk pengandaian saat dibutuhkan
8. harus bijaksana
9. gunakanlah alat-alat pementasan, krayon, tanah liat, atau mainan untuk membantu anak kecil berkomunikasi.
10. gunakanklah teknis khusus untuk menunjukkan ekspresi respon yang tidak bias diterima secara budaya
11. klarifikasi semua episode dari sikap jahat denagn menceritakannya kembali
12. tanganilah anak-anak yang berkomunikasi sedikit dengan mengklarifikasi prosedur waancara
13. tangani penghindaran topic dengan mendiskusikannya sendiri
14. mengertilah keadaan diam
15. tangani perlawanan dan kegelisahan dengan memberukan dukubgan dan penentraman hati lagi.
Jika anak menjadi bagian dari kekacauan permainan, mulai menangis, atau berbuat jahat, Greenspan dan Greenspan (1981) merekomendasikan untyuk tidak memberhentikan perbuatan itu terlalu cepat. Dia menyarankan bahwa observasi sikap ini bias menjadi waasan dan disiplin terlalu cepat yang bias membawa efek negative pada wawancara awal. Dilain pihak konselor tidak boleh hanya diam dan melihat anak merusak kantor konseling.
5. Kelebihan dan Kekurangan dari Wawancara
Validitas dari interview akan berpengaruh pada kualitas pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Para konselor harus mempertimbangkan validitas dari fakta-fakta dan kesimpulan yang mereka buat tentang klien berdasarkan pada wawancara pertama (awal). Kelebihan dari wawancara adalah wawancara memiliki kemampuan untuk menanyakan secara langsung permasalahan kepada klien tentang berbagai isu, masalah, dan informasi mengenai pribadi klien. Kekurangan-kekurangan dari wawancara sering berhubungan dengan validitas dari fakta yang kurang dan adanya pengaruh dari subjektifitas konselor. Peran gender dan budaya harus dipertimbangkan dalam menentukan strategi penilaian (assessment) yang mana yang akan digunakan.
B. Instrumen-instrumen Lain Yang Dapat Digunakan Dalam Initial Assesment.
Proses konseling sering kali dimulai dengan mengumpulkan informasi mengenai klien dan permasalahan-permasalahannya. Beberapa dari alat-alat tersebut adalah instrumen pengukuran (penilaian) yang informal (pendataan dan skala penilaian) yang tergabung dalam lembar laporan awal. Alat pengukuran (penilaian) yang lain dapat digunakan insrument yang lebih formal yang dapat memberikan informasi tentang gejala-gejala dan masalah-masalah.
1. Pendataan
Secara relatif, pendataan dapat dikatakan mudah dan metode lebih efektif untuk mengumpulkan informasi awal dari klien. Biasanya dalam pendataan, individu diinstruksikan untuk memilih kata atau frase pada daftar yang mereka terima.
a. Pendataan yang standar
Konselor dapat menyusun sendiri pendataan yang akan digunakan atau menggunakan beberapa pendataan yang sudah standar. Beberapa pendataan yang sudah terstandarisasi fokus pada laporan tentang gejala-gejala yang sedang klien rasakan saat itu juga. Symptom Cheklist-90-Revised (SCL-90-R, Derogatis, 1994) dan Brief Symptoms Inventory (BSI, Derogatis, 1993) adalah dua instrumen yang sudah populer dan sering digunakan dalam beberapa lingkungan kedokteran kesehatan mental. Instrumen-instrumen ini saling berhubungan dan sangat sama, kecuali SCL-90-R berisi 90 gejala menggunakan 5- skala poin kesulitan (0-4) berkisar dari 0 (tidak sama sekali) sampai 4 (luar biasa). SCL-90-R memerlukan waktu sekitar 15 menit dalam pelaksanaannya; BSI memakan waktu yang lebih sedikit.
Terdapat dua metode dimana dua inventori dapat digunakan sebagai screening tools yang bernilai. Clinician dapat dengan mudah meninjau hasil dari instrumen-instrumen dan menolong gejala-gejala yang diderita klien. Yang termasuk ke dalam pengukuran ini adalah permasalahan pikiran untuk mengakhiri hidupnya, perasaan tidak berharga, perasaan takut untuk terbuka, dan perasaan bahwa semua orang tidak bisa dipercaya. SCL-90-R dan BSI dapat dinilai dengan menetapkan ukuran-ukuran dalam 9 skala: somatization, obsesive-compulsive, sensitifitas interpersonal, depresi, kegelisahan/kecemasan, permusuhan, kecemasan karena phobia, paranoid, dan kegilaan. Terdapat tiga komposisi nilai yang sangat membantu konselor dalam menentukan apakah akan menyerahkan klien pada penilaian psikiater: Global Security Index, Positive Symptom Total, dan Positive Symptom Distress Index. Respon klien dapat dibandingkan antara dewasa yang tidak dalam perawatan, remaja yang tidak dalam perawatan, pasien psikiatri yang dirawat di rumah (bukan di RS), dan pasien psikiatri yang dirawat di RS. Konsistensi dalam pengukuran dan koefisien tes-tes ulang adalah cukup tinggi pada periode-periode terakhir. Ahli pengukuran merekomendasikan bahwa hasil dari SCL-90-R atau BSI baik selama tidak lebih dari 7 hari.
Pendataan yang sudah sering digunakan untuk anak yaitu Child Behaviour Checklist, meliputi 5 skala penilaian yang terpisah (orang tua/laporan pengawasan, laporan guru, laporan pribadi, observasi secara langsung, dan wawancara). Terdapat versi untuk anak usia 2 sampai 3 tahun, tapi yang paling sering digunakan adalah untuk anak usia 4 sampai 18 tahun. Child Behaviour Cheklist untuk anak 4-18 tahun (Achenbach, 1997) menilai masalah tingkah laku dan kompetensi-kompetensi, yang dinilai dengan tujuh area: Kecemasan/depresi, Pendiam, Somatic Complaints, Masalah Sosial, Masalah Pemikiran, Masalah Perhatian, Agresif, dan Kenakalan/kejahatan. Ada juga tiga aspek yang berhubungan dengan Internalizing, Externalizing, dan Total Problems.
b. Pendataan Informal
Pendataan informal ini dapat memberikan beberapa informasi permulaan, tetapi konselor perlu berhati-hati dalam menggunakan hasil yang tanpa informasi yang reliable dan valid. Dalam menggunakan pendataan ini, clinicians harus juga waspada pada beberapa individu yang memiliki kecenderungan untuk menandai banyak item sedangkan yang lainnya hanya menandai sedikit saja. Oleh karena itu, klien yang sudah menandai banyak masalah tidak harus dipandang sebagai klien yang lebih bermasalah dibandingkan dengan klien yang hanya menandari sedikit masalah saja.
2. Skala Penilaian
Skala penilaian ini meminta klien atau observer untuk memberikan beberapa indikasi dari sejumlah atau tingkatan masalah, sikap, atau ciri khas (karakter ) kepribadian yang dapat diukur.
Terdapat beberapa angka dalam skala penilaian yang berhubungan erat dengan saat konselor menafsirkan penilaian ini. Pada umumnya manusia cenderung untuk merespon nilai pertengahan, yang disebut central tendency error. Individu kurang menyukai untuk menilai diri mereka sendiri atau orang lain atau bahkan kedua-duanya terlalu rendah atau terlalu luar biasa tinggi. Hal lain ini menyinggun leniency error, dimana perhatian individual enggan memberikan penilaian pada hal yang tidak disukai. Manusia lebih menyukai untuk memilih hal yang positif jika dibandingkan dengan hal yang negatif. Akhirnya, penilaian pada orang lain sering terjadi sebuah halo effect. Penelitian ini mengindikasikan bahwa manusia dipengaruhi oleh kesan pertama dan kesan pertama in mempengaruhi penilaian-penilaian selanjutnya. Dengan demikian, dapat terbentuk positive halo atau negative halo.
Skala penilaian bisa saja tergabung pada assesmen awal dengan klien. Skala penilaian yang informal ini dapat dapat dilakukan secara verbal atau tergabung dengan formulir yang diberikan. Terdapat skala penilaian yang terstandarisasi seperti Conners Rating Scales- Revised (Conners, 1996). Conners Rating Scales- Revised adalah instrumen yang dibuat untuk menilai anak usia 3 – 17 tahun, instrumen dilengkapi oleh salah satu dari orang tua, guru, atau remaja. Terdapat dua formulir yaitu formulir panjang dan yang singkat untuk masin-masing dari tiga versi (orang tua, guru, dan remaja). Conners ADHD (Attention Defisit Hyperactivity Disorders) index dapat diperoleh dari semua versi dari skala ini. Disamping indikator kemungkinan ADHD, ada skala lain (perlawanan, cemas/malu, masalah sosial).
3. Screening Inventori lainnya
Ada beberapa screening instrumens awal selain pendataan dan skala penilaian. Sebuah contoh dari instrument ini adalah Problem Oriented Screening Instrument for Teenager (POSIT). POSIT adalah pragram inisiasi terbaru yang dikembangkan oleh National Institute Drug Abuse (NIDA) yang disebut Adolescent Assesment/Referal System (Rahdert, 1997). Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pengukuran dan sistem referal untuk masalah remaja berusia 12 sampai 19 tahun. Dewasa ini, POSIT dan daftar pertanyaan mengenai sejarah personal digunakan untuk menentukan apakah perlu dilakukan asesmen lebih lanjut. Screening tool ini baru mulai digunakan tetapi sangat berpotensi untuk sangat berguna.
Kesimpulannya, terdapat beberapa instrumen baik yang formal maupun yang informal yang dapat membantu pengumpulan informasi melalui wawancara yang dilakukan. Beberapa konselor menggabungkan teknik ini secara rutin mengingat yang lain akan secara periodik menggunakan checklist (pendataan), skala penilaian, atau inventori lainnya. Konselor dapat meningkatkan efektifitas mereka dengan menggunakan banyak metode dalam mengumpulkan informasi. Terkadang dalam proses pengumpulan informasi, konselor akan menentukan perlunya penilaian klien secara terus menerus. Untuk contoh, selama wawancara berlangsung, konselor mungkin melihat tanda-tanda depresi dan membutuhkan pengumpulan informasi yang lebih spesifik mengenai depresi ini.
C. Menilai Masalah Spesifik Pada Tahap Awal
Beberapa masalah spesifik harus benar-benar diperimabngkan pada konseling tahap awal, karena jika masalah-masalah spesifik ini terlupakan maka dapat mengakibatkan hasil yang negatif, bahkan sampai pada kematian klien. Untuk contoh, jika konselor tidak dapat mengukur potensi klien untuk bunuh diri, lalu klien melakukan bunuh diri saat masih bisa dihalangi dan akan mampu mempertahankan klien untuk tetap hidup.
1. Assesmen terhadap potensi untuk bunuh diri
Pada sesi awal konseling, konselor perlu untuk mengevaluasi potensi untuk bunuh diri pada tiap klien. Pengidentifikasian keinginan bunuh diri pada klien bisa menghindari kematian. Kemungkinan bekerja menghadapi klien yang berpotensi untuk bunuh diri sangatlah tinggi. Seorang konselor mungkin bekerja menghadapi klien yang nampaknya beresiko kecil untuk bunuh diri; tapi bagaimanapun, beberapa jam kemudian sesuatu mungkin terjadi dan mengubah secara signifikan resiko bunuh diri tersebut.
Memiliki informasi hasil penelitian demografi dapat membantu konselor menjaring klien yang berpotensi bunuh diri. Umumnya, pria lebih rentan untuk bunuh diri dari pada wanita, meskipun beberapa study menunjukan wanita lebih rentan untuk mencoba bunuh diri. (Garrison, 1992). Hasil tersebut, bagaimanapun, tidak mengindikasikan bahwa penyikapan masalah bunuh diri pada wanita kurang serius daripada penyikapan pada pria. Klien berkulit putih cenderung lebih rentan bunuh diri daripada klien yang berasal dari kaum minoritas, dimana klien berkulit putih keturunan Afrika-Amerika dua kali lipat lebih banyak melakukan bunuh diri. Bagaimanapun, angka bunuh diri penduduk asli amerika lebih tinggi daripada angka pada populasi pada umumnya (Berlin, 1987). Status perkawinan seseorang juga ditemukan memiliki kaitan dengan resiko untuk melakukan bunuh diri.
Depresi dan kecanduan alkohol teridentifikasi antara 57% dan 86% terjadi pada semua korban bunuh diri, dengan mayoritas kesemuanya itu sangat berkaitan dengan depresi. Satu ciri penting yang harus dilihat saat melakukan assesmen keinginan bunuh diri adalah perasaan keputusasaan atau ketidakberdayaan.
Stelmacher (1995) merekomendasikan ada tujuh area yang menjadi fokus clinician saat melakukan assesmen resiko bunuh diri.
1) Komunikasi verbal. Jika klien mengungkapkan secara verbal bahwa dia berniat untuk bunuh diri, itulah tanda yang sangat jelas dan dapat diidentifikasi untuk selanjutnya diadakan investigasi terhadap situasi yang mungkin dapat mematikan.
2) Rencana. Jika ada indikasi yang memungkinkan adanya pemikiran untuk bunuh diri. Perhatian konselor terhadap klien harus meningkat jika ada sebuah perencanaan dan rencana tersebut spesifik, kongkrit, dan detil. Bagaimanapun, kata hati klien mungkin tidak bermaksud mengembangkan sebuah rencana tapi mungkin tetap akan melakukan bunuh diri jika situasi memburuk.
3) Metode. Konselor harus menginvestigasi apakah metode bunuh diri tertentu sudah dipilih. Dalam menganalisa metodenya, konselor harus mengevaluasi ketersediaan metode itu dan derajat mematikannya metode itu. Seorang konselor perlu menentukan Tingkatannya untuk mengetahui resiko dan kemungkinan terlaksananya rencana bunuh diri. Konselor juga harus mengeksplor apakah metode tersebut juga meliputi persediaan untuk menghindari pertolongan. (atau sebalikannya, apakah rencana itu dapat tertolong).
4) Persiapan. bagian lain yang perlu dieksplor yaitu apakah klien telah mulai melakukan proses persiapan. Karena tingkat bahayanya sangat berhubungan erat dengan persiapan tersebut.
5) Stresor. Salah satu bagian lain yang harus diassesmen yaitu stresor. Klien mungkin tidak berada dalam keadaan bahaya yang mendesak, tapi mungkin mempercepat terjadinya bunuh diri apa bila keadaan benar-benar memungkinkan.
6) Keadaan Mental. Asesmen terhadap keadaan mental klien sangat penting dalam menentukan resiko yang akan timbul, baik resika yang mendesak ataupun resiko jangka panjang. Faktor psikologis seperti depresi, jelas-jelas berkaitan erat dengan percobaan bunuh diri. Beberapa klien yang sedang dalam proses akan melaksanakan bunuh diri akan mengalami peningkatan spirit karena mereka akhirnya menemukan sosusi untuk mengakhiri rasa sakit mereka.
7) Keputusasaan. Level atau tingkat keputusasaan adalah ukuran untuk menenentukan resiko bagi klien yang tidak melaporkan pemikiran apapun mengenai bunuh diri.
Semua dugaan bunuh diri memiliki keterbatasan waktu dan menyinggung resiko hanya saat sekarang. Konselor perlu mengevaluasi kembali secara terus menerus potensi bunuh diri pada diri klien.
Instrumen potensi bunuh diri. Skala kemungkinan bunuh diri (Cull & Gill, 1992) adalah 36 macam instrumen yang menyediakan keseluruhan ukuran resiko bunuh diri. untuk informasi lebih detil, subskala yang menilai adalah keputus asaan, ide untuk bunuh diri, evaluasi diri yang negatif, dan permusuhan. Keuntungan dari instrumen ini adalah terpisahnya norma bagi individu normal, pasien psikiter, dan pencoba bunuh diri yang mematikan (mereka yang mencoba bunuh diri menggunakan metode yang bisa menimbulkan kematian).
Aaron Beck, penulis terapi kognitif, telah membuat dua skala yang menghubungkan potensi bunuh diri. the Beck Scale for Suicide Ideation (Beck & Steer, 1991) dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menyaring klien yang mengakui adanya pemikiran untuk bunuh diri. terdapat lima macam saringan yang mereduksi sejumlah waktu bagi klien yang tidak melaporkan ide untuk bunuh diri. penulis merekomendasikan untuk tidak menggunakan instrumen itu sendiri, tetapi dengan mengkombinasikannya dengan alat-alat assesmen. Instrumen Beck lainnya, The Beck Hopelessness Scale (Beck & Steer, 1993) telah menunjukan adanya hubungan dalam mengukur tujuan dan ide bunuh diri. instrumen ini sudak memenuhi norma-norma yang tersedia bagi klien yang berniat bunuh diri.
Validitas instrumen yang akan menilai potensi untuk melakukan bunuh diri sedikit banyak menimbulkan problema. Itu akan menjadi tidak etis untuk memberikan sebuah sampel individu yang berpotensi bunuh diri dengan sebuah instrumen dan mengumpulkan satu data yang mana menunjukan fakta akan melakukan bunuh diri. Seorang konselor seharusnya mengkonsultasikan dengan profesi yang lain apakah ada perhatian lain yang berhubungan dengan penilaian resiko bunuh diri. Sangat sering terjadi dengan klien yang berpotensi bunuh diri, seorang konselor mungkin perlu menjamin kliennya menerima evaluasi psikiatrik.
2. Assesmen Depresi
Untuk menilai apakah seorang klien depresi, seorang konselor perlu memiliki pemahaman beberapa karakteristik umum klien yang mengalami depresi itu. Menurut McNamara (1992), simptom depresi biasanya mencakup mood dysphoric yang sering disertai perasaan kegelisahan, rasa bersalah dan dendam. Depresi ditandai dengan kesulitan konsentrasi, pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Klien cenderung pesimis dan memiliki sikap negatif terhadap diri mereka sendiri, orang lain dan dunia. Simptom-simptom fisik dan perilaku juga biasanya sementara, terutama apabila depresi itu lebih mengkhawatirkan. Penarikan diri dari masyarakat adalah suatu gejala, cenderung udah menangis, tak beraktvitas dan kehilangan minat dalam aktivitas yang dahulunya menyenangkan.
1) Inventori Depresi Beck.
Ponterotto, Pace, dan Kavan (1989) mengidentifikasi 73 tindakan depresi yang berbeda yang digunakan para peneliti atau para praktisi kesehatan mentaln dari tindakan-tindakan berbeda ini, the Beck Depression Inventory (DBI) yang paling banyak digunakan. Pada faktanya, BDI digunakan sepuluh kali lenih sering dibandingkan dengan intrumen terpopuler kedua. Versi yang baru dari BDI baru-baru ini sudah diterbitkan. the Beck Depression Inventory II (DBI II, Beck, Steer, & Brown, 1996). BDI direvisi untuk meluruskan diagnosa dan statistik manual Mental disorder (DSM-IV) kriteria depresi seperti pendahulunya, BDI-II hanya berisi 21 hal pokok dan biasanya membutuhkan waktu 5 menit bagi klien untuk menyelesaikannya. Pada setiap hal pokok, ada 4 pilihan yang menambah level keparahan. Oleh karena itu, hasil BDI-II menyediakan suatu indeks keparahan depresi. Berkenaan revisi baru-baru ini, pada BDI-II ada ketersediaan informasi psikometri yang terbatas. Koefisien alpha secara keseluruhan lebih tinggi BDI-II daripada BDI. Penelitian Steer & Clarks (1997) pada mahasiswa yang mendukung kepercayaan tinggi pada BDI-II dan berkontribusi terhadap pembangunan validitas instrumen. BDI-II berdasarkan BDI yang diteliti secara luas. Tinjauan terhadap BDI (conoley, 1994; Sundberg, 1994) pada umumnya positif tapi menekankan BDI untuk tidak digunakan sendiri dalam assesmen depresi. Sebagai tambahan, Conoley mengingatkan bahwa hal-hal pokok yang berhubungan dengan bunuh diri dapat dipalsukan dengan mudah.
2) Instrumen-instrumen Depresi yang lain.
Terdapat beberapa instrument yang terstandarisasi yang dapat digunakan untuk melakukan assessment depresi. Untuk anak-anak dan remaja, terdapat Children’s Depression Inventory (Kovacs, 1992), Children’s Depression Rating Scale, Revised (Poznanski&Makros, 1996), dan Reynolds Adolescent Depression Scale (Reynolds, 1987), dan Reynolds Child Depression Scale (Reynolds, 1989). Instrumen-instrumen lain disamping BDI-II untuk orang dewasa adalah Hamilton Depression Inventory (Reynolds & Kobak, 1995), dan State Trait-Depression Adjective Check Lists (Lubin, 1994). Revised Hamilton Rating Scale for Depression (Warrren, 1994) adalah instrument lain yang dibuat untuk mengukur tingkat depresi yang dirasakan oleh klien; bagaimanapun, ahli klinis daripada klien melengkapi instrument.
3. Asesmen Penyalahgunaan Zat
Berdasarkan Greene dan Banken (1995), para ahli klinis sering mengalami kegagalan untuk mengenali simptom-simptom sebagai refleksi penyalahgunaan zat atau ketergantungan. Lazimnya penyalahgunaan zat dalam setting klinis sudah tinggi, dengan berkisar antara 12 dan 30 persen (Moore et al., 1989). Hal ini masih belum bisa ditentukan mengenai konstitusi penyalahgunaan zat. Pada bab 13, akan didiskusikan mengenai criteria dari diagnosis penyalahgunaan zat.
Dalam konseling perlu dengan segera diidentifikasi apakah klien melakukan penyalahgunaan zat. Seorang konselor yang menggali kemungkinan dari penyalahgunaan zat dapat dengan mudah dimulai dengan menemukan isu-isu yang secara esensial mengakibatkan penyalahgunaan zat. Satu metode untuk menggali kemungkinan dari penyalahgunaan zat dengan menanyakannya langsung pada klien. Oetting dan Beauvais (1990) menemukan bahwa self-report dapat diterima dan reliable. Biar bagaimanapun, beberapa masalah memiliki validitas karena banyak klien enggan untuk memperlihatkan penggunaan dari zat-zat atau mengenai jumlah yang digunakan. Akan tetapi, para konselor harus mencari informasi mengenai jenis drugs yang digunakan dan jumlah alcohol yang dikonsumsi oleh klien. Dalam istilah pengobatan, resep-resep, melebihi batas, dan jenis drugs harus diketahui. Hal-hal tersebut harus diselidiki, pertama, karena penggunaaan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan permasalahan. Alasan kedua adalah untuk mengetahui semua tipe drugs karena meskipun ada beberapa yang secara biasa digunakan untuk pengobatan, jika digunakan berlebihan maka akan memberikan efek tertentu. Kadang-kadang beberapa symptom yang ada pada klien (selalu merasa lelah) merupakan akibat dari pengobatan; konselor harus berkonsultasi pada Physician’s Desk Reference agar mengetahui tentang akibat penggunaan drugs.
Standarisasi Instrumen Penyalahgunaan zat.
Terdapat beberapa standarisasi instrument yang dibuat secara spesifik untuk mengukur penyalahgunaan zat. Tabel 6.5 melibatkan daftar beberapa instrument yang sering digunakan. Satu instrument yang digunakan oleh para praktisi adalah Substance Abuse Subtle Screening Inventory (SASSI-2, SASSI Institute, 1996). SASSI Institute berisi bahwa SASSI-2 memiliki 88 persen akurasi dalam mengidentifikasi individual dengan gangguan yang berhubungan dengan zat. Oleh karena terdapat pembaharuan dari instrument ini, maka tidak cukup dilakukan riset untuk melihat hal ini apabila ada peneliti-peneliti lain mendukung penemuan-penemuan ini. Hal lain yang sudah biasa digunakan sebagai alat asesmen adalah CAGE, yang merupakan teknik wawancara yang sederhana yang sering digunakan dalam lingkungan medis. CAGE (Mayfield, McLeod, & Hall, 1974) adalah alat untuk membantu untuk empat pertanyaan berikut ini:
1) Apakah Anda pernah merasa bahwa Anda harus mengakhiri kebiasaan anda minum minuman keras?
2) Pernahkah anda merasa terganggu dengan kritikan orang-orang di sekitar ini?
3) Apakah Anda pernah merasa buruk atau merasa bersalah dalam kebiasaan meminum minuman keras?
4) Apakah Anda pernah merasakan kegelisahan atau mencoba untuk menghilangkan rasa sakit pada saat bangun tidur di pagi hari ?
Apabila jawaban yang didapat mengindikasikan masalah, ahli klinis harus mengumpulkan informasi yang lebih detail mengenai kebiasaan minum minuman keras. Terkadang, biar bagaimana pun, klien akan menolak pernyataan bahwa minum minuman keras atau menggunakan obat terlarang adalah masalah. Satu teknik untuk membuat klien memiliki self-monitor dan merekam saat-saat klien minum minuman keras. Beberapa klien akan terkejut sendiri setelah melihat rekaman jumlah minuman keras yang ia konsumsi. Teknik lainnya, kadang menghubungkan dengan “acid test” yaitu untuk bertanya pada klien untuk mengontrol atau membatasi konsumsi minuman keras. Sebagai contoh, klien akan membatasi kuantitas minuman yaitu tidak lebih dari tiga kali dalam kurun waktu tiga bulan. Hal ini akan memberikan indikasi bahwa mengkonsumsi minuman keras dapat terkontrol.
(Asesmen Awal Dalam Konseling)
Konseli seringkali datang untuk berkonsultasi dengan informasi persoalan dan masalah terkini yang samar dan merupakan pendefinisian suatu gejala penyakit. Konselor sangat memerlukan keterampilan dalam mengatasi masalah-masalah yang terlihat samar ini dan harus bisa mengidentifikasi persoalan dan masalah yang relefan. Cormier and cormier (1998) berpendapat bahwa masalah itu jarang hanya berkaitan dengan satu faktor, biasanya bersifat multidmensionl, dan memiliki ciri khas terjadi dalam kontex sosial. Oleh karena itu, konselor perlu menguasai keterampilan awal asesmen untuk mengidentifikasi faktor yang berkaitan degan masalah konseli dalam suatu interaksi yang kompleks. Konseling akan cenderung lebih efektif ketika konselor mampu dengan cepat menangkap persoalan yang sedang terjadi. Sexton dan reknnya juga mengemukakan bahwa jika konselor bisa membangun dugaan yang positif selama proses cepat ini berlangsung, maka konseling akan lebih efektif. sebuah penelitian menemukan bahwa dugaan konseli tentang konseling sebelum mendaptkan pengaruh yang sangat kecil pada hasil akhir: bagaimanapun, dugaan bagi konseli dibangun selama sesi awal memiliki pegaruh yang signifikan pada hasilnya.
A. Wawancara Awal
Nelson (1983) mengemukakan bahwa wawancara adalah salah satu cara yang biasa dilakukan dalam strategi asesmen. Walaupun faktanya wawancara adalah suatu strategi asesmen yang lazim digunakan, tapi tidak mudah untuk membuatnya efektif. Pada kenyataannya garis pedoaman dan pelatihan perlu memperoleh informasi yang akurat dan sah dari sebuah wawancara. (Duley, cancelli, Kratochwill, Bergan dan Meredith. 1983)
Wawancara awal yang efektif adalah yang seimbang antara mengumpulkan informasi dan membangun sebuah hubungan yang therapeutik. Informasi yang terkumpul dalam wawancara awal
1. Informasi Yang Terkumpul Dalam Wawancara
informasi yang tekumpul akan merubah beberapa hal yang dipercayai dalam suatu lingkungan dan layanan yang disampaikan. Ada beberapa area penting bagi konselor untuk diteliti sebelum mulai tahapan perawatan dalam konseling diantaranya :
1. Haruskah orang ini melakukan konseling?
2. Apa persoalan atau masalah utamanya?
3. Apa perawatan yang paling efekif atau pendekatan konseling seperti apa untuk konseli ini?
4. Haruskah dia melibatkan anggota keluarga dalam konseling yang rumit?
5. Bisakah saya bekerja efektif dengan konseli ini?
6. Tipe hubungan yang seperti apa yang harus saya jalin dengan konseli ini?
7. Bagaimana caranya untuk mengevaluasi keefektifan konseling?
Area final dari penelitian konselor untuk menilai dalam tahap awal konseling adalah pada tahapan konseli mengalami perubahan proses. (See Prochask, Diclemente dan Norcross, 1992).
a. Informasi Demografis
Ciri khas dari informasi demografis adalah dikumpulkan dari kertas kerja suatu agen, atau sudah tersedia dalam organisasi itu seperti sekolah. Dalam situasi krisis informasi demografis perlu dikumpulkan berkaitan dengan pembuatan keputusan klinis.
b. Memperlihatkan Perhatian
Hasil dari peneltian mengindikasian bahwa ada hubungan antara menunjukan perhatian kepada konseli dengan hasil yang efektif. Proses ini tidak hanya melputi komplain saja, tapi juga meliputi pengumpulan informasi dalam waktu yang sama. Seorang konselor harus juga mengexplore frekuensi masalah, tingkat pengaruh masalah itu dalam keseharian konseli dan metode yang pernah dilakukan konseli dalam mengatasi masalah itu di masa lalu.
c. Informasi Latar Belakang Konseli
Kebanyakan konselor mengumpulkan informasi latar belakang dengan cara ”Psychosocial Interview”. Pengumpulan informasi mengenai latar belakang konseli tidak harus terlalu detil, cukup yang berkaitan dengan masalah konseli sekarang. Semua informasi ini tidak dikumpulkan dengan wawancara serius. Lebih baik pengumpulan informasi ini dilakukan dengan cara yang lebih ringan. Cormier dan Cormier (1998) berpendapat konselor dalam kondisi apapun harus mengumpilkan beberapa inforasi latar belakang konseli.
informasi latar belakang yang termasuk wawancara awal:
1) Identifikasi informasi, Nama konseli, alamat, Nomor telepon, umur, jens kelamin, status perkawinan, pekerjaan, tempat bekerja atau sekolah, telepn kantor, dan nomor kontak yang dapat dihubungi dalam keadaan darurat.
2) Tujuan konseling/penyelesaian masalah
3) Penampilan fisik
4) Tingkat partisipasi di tempat bekerja atau sekolah, hubungan, waktu luang
5) Sejarah Medis dan Status
6) Pengalaman konseling atau Sejarah Psychiatric
7) Informasi Keluarga
8) Sosial/ Sejarah perkembangan
9) Pendidikan/ Sejarah Pekerjaan
d. Kesehatan dan sejarah medis konseli
Konselor perlu memiliki pengetahuan mengenai kondisi medis konseli untuk dapat memahami kondisi konseli secara holistik. Jika konseli memiliki pemerikasaan fisik terakhir, penting bagi konselor untuk mengumpulkan informasi medis dan menyelediki efek yang mungkin timbul dari pemeriksaan yang pernah dilakukan konseli. Konselor juga harus mengumpulkan informasi penyakit dan treatmen yang pernah diberikan pada konseli.
e. Menjabarkan masalah konseli
Asesmen masalah menempati peran yang penting dalam konseling, karena petingnya hal ini konselor harus memiliki pemahaman yang jelas mengenai persoalan dan masalah yang terjadi. Mohr (1995) berpendapat bahwa konseling dapat memberikan dampak yang negatif bagi konseli dan salah satu penyebab utamanya adalah konselor meremehkan kerumitan masalah konseli. Setelah konselor dapat mengidentifikasi masalah yang dominan, konselor harus menyelidiki persoalan-persoalan ini lebih detil. Di bawah ini adalah topik untuk menjabarkan masalah konseli:
1) Pecahkan masalahnya dari berbagai sudut pandang. Konselor harus bisa menampilkan masalah-masalah iu dari bermacam-macam poin yan g menguntungkan. Ini bisa menjadi baik, jika konseli dapat menggambarkan masalahnya dari sudut pandang Affective, Behavioral, Cognitive dan Relational
2) Kumpulkan informasi-informasi spesifik dari persoalan utama. Konselor harus mendorong konseli untuk menggambarkan permasalahannya secara detil.
3) Intensitas penilaian masalah. Konselor perlu menilai tingkat masalah atau persoalan itu berpengaruh kepada konseli. Dalam situasi tertentu seperti kegelisahan, konselor harus memiliki rekapan dari kebiasaan permasalahannya.
4) Tingkat penilaian konseli untuk percaya bahwa masalah itu bisa berubah. Penilaian dalam wilayah ini akan sangat membantu pada saat menentukan intervensi dan kemungkinan penugasan di rumah.
5) Identifikasi metode yang pernah konseli gunakan untuk memcahkan masalah sebenarnya. Ini akan memberikan pengertian pada konseli dan menghindari penggandaan upaya yang sudah pernah dia lakukan.
Konsselor telah menilai masing-masing masalah signifikan yang telah dialami oleh klien. Langkah selanjutnya adalah memprioritaskan masalah tersebut. Keputusan untuk menetapkan sekelompok masalah-masalah sebagai kelompok pertama tergantung pada situasi, klien dan hubungan konseling.
f. Penilaian proses perubahan (assessing the change process). Dalam dunia konseling, muncul perkembangan yang menarik dalam memahami prinsip-prinsip fundamental dan proses dari perubahan. Model perpindahan teori Prochaska dkk (1992) dianggap sebagai model yang sangat berpengaruh dari perubahan sikap (Morera dkk, 1998). Prochaska dkk berpendapat bahwa konselor perlu memilih cara berdasarkan tingkatan klien pada proses perubahan. Mereka mempelajari kedua hal tentang perubahan-perubahan diri dan kemampuan untuk mengidentifikasi tingkatan perubahan.
Prochaska dan rekan telah menemukan bahwa orang berkembang melalui lima tahap seperti yang mereka ubah dan konseling akan lebih efektif jika penanganan masalah disesuaikan dengan tingkatan individu dalam proses perubahan. Pada tingkatan ini, individu tidak mempunyai niat untuk berubah dimasa depan. Beberapa klien mungkin tidak menyadari atau dibawah sadar mereka bahwa di sana ada masalah. Mereka harus berusaha untuk menunjukkan perubahan karena tekanan tersebut, tapi mereka akan kembali dengan cepat ke sikap sebelumnya ketika tekanan tersebut berakhir.
Langkah ke-2 adalah contemplation, dimana individu menjadi sadar bahwa masalah itu ada dan mulai menyadari permasalahan tersebut. Pada tingkat ini, walaupun demikian, mereka tidak mempunyai komitmen untuk bertindak. Tingkatn contemplation ditandai olaeh kesadaran yang seruis akan sebuah masalah, dan lien mulai mempertimbangkan pro dan kontra dalam mencari solusi sebuah masalah.
Dalam tahap persiapan (Preparation) klien mulai membuat aliterasi kecil dalam sikap dengan niatan mengambil tindakan pada bulan selanjutnya. Pada tingkatan aksi/tindakan (action), individu memodifikasi sikap, pengalaman atau lingkungan mereka. Tingkatan akhir dalam proses ini adalah pertahanan (maintenance), selama individu melakukan pecegahan untuk berbuat tidak baik lagi dan konsolidasi keuntungan prestasi pada tingkatan tindakan.
Secara umum, pertahanan akhir berjalan paling sebentar selama enam bulan. Penilaian tingkatan klien dan tingkatan perubahan bukan merupakan tindakan tradisional dari hasil wawancara. Penilaian tingkatan klien dalam proses perubahan bisa diselesaikan melalui wawancara klien. Respon dari pertanyan, berhubungan dengan latar belakang dan focus klien saat ini akan merefleksikan tingkatan mereka secara khas dalam proses perubahan. Ada juga sebuah instrumen/alat tingkatan-tingkatan daftar pertanyaan perubahan (the stages of change questionnaire) (McConnaughy, DiClemente, Prochaska, dan velicer, 1989; McConnaughy, Prochaska, dan velicer, 1983) yang bisa digunakan klien untuk mengakses tingkatan mereka dalam proses perubahan.
Kesimpulannya, isi dari wawncara tahap awal adalah, konselor harus menyadari tipe utama informasi yang ingin mereka timbulkan dari klien sebelum mereka memulai wawancara tahap awal. Wawancara tahap awal sering menjadi pondasi penilaian lebih jauh, oleh karena itu harus melewati jajaran topic.
2. Teknik dan Keahlian Dalam Wawancara
Wawancara tahap awal merupakan interaksi pertama dengan klien dan merupakan pandangan pertama yang mempunyai pengaruh pada hasil konseling. Konselor harus merefleksikan bagaimana mereka bias menunjukkan kredibilitas pada klien dalam koteks merekam bisa dipergaya, ahli dan atraktif.
Sejumlah individu telah menulis tentang pentingnya menggunakan keahlian komunikasi yang efektif dalam komunikasi. Kemampuam berkomunikasi dibutuhkan untuk mengomunikasikan bahwa klien didengar dan dimengerti melalui respon mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan wawancara. Pertanyaan tak terbatas sering digunakan dalam wawancara Karena pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin tidak terkesan “memimpin” dan sangat mempengaruhi klien. Pada pertanyaan yang terbatas, ada seperangkat respon “tutup/terbatas” (closed) dari klien yang bias memiliki sebuah jawaban, seperti jawaban salah satu dari “ya” atau ”tidak” untuk pertanyaan seperti “apakah anda menjalani konseling karena anda depresi?” pertnyaan-pertanyaan tak terbatas membutuuhkan jawaban yang lebih rinci dari klien. Wawancara yang tidak mempunyai format struktur maka konselor akan sering menggunakan keahlian berkomunikasi yang lain untuk membuat hasil dari wawancar klien. Secar umum menggunakan teknik paraphrase, klarifikasi, refleksi, interpretasi dan penyimpulan.
3. Wawancara Awal Berstruktur dan Tidak Berstruktur
Salah satu keputusaan yang harus diambil konselor untuk membuat bagian awal apakah menggunakan wawancara berstruktur atau tidak. Sebuah wawancara berstruktur salah satunya terjadi dimana konselor mempunyai seperangkat alat pembangun yang membuat klien bertanya dalam cara yang sam dan dalam setiap tahapan klien.dalam sebuah waawncara tak berstruktur, konselor boleh punya ide tentang jenis kemungkinan tapi melengkapi wawancara dalam cara yang unik dan berbeda, tergantung pada kebutuhan klien.wawancara semi struktur merupakan kombinasi dari wawancara berstruktur dan tidak dimana pertanyaan-pertanyaan khusus selalu ditanyakan tapi ada ruang untuk bereksplorasi dan menambah pertanyaan. Ada keuntungan dan kerugian dalam ketiga metode wawancara ini.
Keuntungan yang utama dari wawancara berstruktur adalah bahwa metode ini lebih dipercaya (Aiken, 1996). Kepercayaan dikhususkan pa proporsi eror yang imgin diminimalisr oleh konselor. Lebih jauhnya, seperti yang telah dikelompokkan sebelumnya, kepercayaan merupakan sebuah persyaratan menuju validitas. Jadi, wawancara berstruktur kemungkinan bias lebih valid daripada wawancara tak berstruktur, tapi ini tidak menjadi jaminan. Beberapa praktisi percaya bahwa berstruktur akan mempunyai pengaruh negatif dalam hubungan konseling karena klien akan merasa diintrogasi. Ini tak selalu akurat karena style/tipe pewawancara mempunyai pengaruh yang signifikan dalam informasi. Suara-suara dalam wawancara berstruktur terhubung secara inten pada pertanyaan-pertanyaan termasuk dalam waawncara dan kemampuan konselor untuk menimbulkan informasi-informasi krusial. Memang sulit untuk menciptakan wawancara berstruktur yang bias merespon kesatuan masalah yang luas dan situasi yang dihadapi oleh klien. Dengan wawancara berstruktur, merupakan sesuatu yang penting untuk melibatkan sebuah pertanyaan pada akhir wawancara yang akn membuat klien mudah memberikan informasi yang mungkn belum terkelompokkan.
Keuntungan dari wawancara tak berstruktur adalah bahwa wawancara ini bias diadaptasi untuk merespon kebuthan yang unik dari klien secara mudah. Waancara tak berstruktur bagaimanapun kurang terpercaya dan lebih mudah mengalami eror daripada wawancara berstruktur. Wawancara tak berstruktur cenderung lebih lama dalam mencari informasi seperti dibandingkan dengan wawancara berstruktur yang dibangun dengan baik. Keputusan untuk menggunakan wawancara berstruktur atau tak berstruktur harus berdasarkan tujuan. misalnya, jika tujuannya adalah untuk menyaring klien untuk melihat jika mereka tepat untuk sebuah klinik, lalu wawancara berstruktur yang mengurangi sejumlah eror mungkin lebih baik. Jika dilain pihak, tujuan wawancaranya adalah untuk memahami dengan lebih baik kspesifikan individu klien, lalu wawancara tak berstruktur mungkin mengiginkan eksplorasi individu yang lebih. Wawancara tak berstruktur membutuhkan kemampuan/skill yang lebih pada bagian pewawancara daripada wawancara berstruktur.
Petunjuk umum untuk menghubungkan wawancara tahap awal:
• menjamin rahasia klien (kecuali beberapa keadaan seperti bahaya bagi diri mereka atau orang lain)
• menanyakan pertanyaan dengan sopan dan dengan tatakrama yang diterima
• kata petanyaan diberikan dalam bentuk jawaban tak terbatas daripada bentuk yang terbatas
• hindari pertanyaan menguasai
• dengarkan dengan penuh perhatian
• perhatikn budaya dan latar belakang teknik klien dalam susunan wawancara
• sesuaikan pendekatan individu ke klien ( beberapa klien lebih nyaman dengan proses yang lebih formal,sedang yang lainnya lebih menyukai pendekatan yang ramah dan penuh kasih saying
• hindari “basa-basi” tentang topic yang tidak penting
• berikan semangat pada klien untuk mengekspresikan perasaan, pikiran dan sikap-sikapnya secara terbuka
• hindari istilah-istilah psikologi
• gunakan suara yang penuh kasih saying dan mengundang, tapi tetap professional
• berikan waktu yang cukup dan jangan membuat klien tergesa-gesa menyelesaikan pertanyaan kompleks
• jika respon klien tidak sesuai dengan topic, maka dengan sopan, bimbinglah mereka untuk kembali pada topic yang tepat
• ubah posisi tubuh untuk menghindari penampilan yang statis.
4. Mewawancarai Anak
Saran/sugesti sebelumnya dalam wawancara, seperti membangun hubungan, melengkapi kosakata sesuai tingkat pendidikan klien. Mengajukan pertanyaan dalam cara yang professional dilakukan dengan baik pada anak-anak. Konselor juga butuh untuk melengkapi wawancaral terhadap tingkat perkembangan anak. Sattler (1993) mengajukan petunjuk-petunjuk di bawah ini ketika mewawancarai anak-anak.:
1. susunlah pertanyaan pembuka yang tepat
2. buatlah komentar deskriptif
3. gunakanlah refleksi
4. berikanlah pujian secara berkala
5. hindarilah pernyataan kritik
6. gunakanlah kalimat sederhana dan referensi yang konkrit
7. susunlah pertanyaan dalam bentuk pengandaian saat dibutuhkan
8. harus bijaksana
9. gunakanlah alat-alat pementasan, krayon, tanah liat, atau mainan untuk membantu anak kecil berkomunikasi.
10. gunakanklah teknis khusus untuk menunjukkan ekspresi respon yang tidak bias diterima secara budaya
11. klarifikasi semua episode dari sikap jahat denagn menceritakannya kembali
12. tanganilah anak-anak yang berkomunikasi sedikit dengan mengklarifikasi prosedur waancara
13. tangani penghindaran topic dengan mendiskusikannya sendiri
14. mengertilah keadaan diam
15. tangani perlawanan dan kegelisahan dengan memberukan dukubgan dan penentraman hati lagi.
Jika anak menjadi bagian dari kekacauan permainan, mulai menangis, atau berbuat jahat, Greenspan dan Greenspan (1981) merekomendasikan untyuk tidak memberhentikan perbuatan itu terlalu cepat. Dia menyarankan bahwa observasi sikap ini bias menjadi waasan dan disiplin terlalu cepat yang bias membawa efek negative pada wawancara awal. Dilain pihak konselor tidak boleh hanya diam dan melihat anak merusak kantor konseling.
5. Kelebihan dan Kekurangan dari Wawancara
Validitas dari interview akan berpengaruh pada kualitas pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Para konselor harus mempertimbangkan validitas dari fakta-fakta dan kesimpulan yang mereka buat tentang klien berdasarkan pada wawancara pertama (awal). Kelebihan dari wawancara adalah wawancara memiliki kemampuan untuk menanyakan secara langsung permasalahan kepada klien tentang berbagai isu, masalah, dan informasi mengenai pribadi klien. Kekurangan-kekurangan dari wawancara sering berhubungan dengan validitas dari fakta yang kurang dan adanya pengaruh dari subjektifitas konselor. Peran gender dan budaya harus dipertimbangkan dalam menentukan strategi penilaian (assessment) yang mana yang akan digunakan.
B. Instrumen-instrumen Lain Yang Dapat Digunakan Dalam Initial Assesment.
Proses konseling sering kali dimulai dengan mengumpulkan informasi mengenai klien dan permasalahan-permasalahannya. Beberapa dari alat-alat tersebut adalah instrumen pengukuran (penilaian) yang informal (pendataan dan skala penilaian) yang tergabung dalam lembar laporan awal. Alat pengukuran (penilaian) yang lain dapat digunakan insrument yang lebih formal yang dapat memberikan informasi tentang gejala-gejala dan masalah-masalah.
1. Pendataan
Secara relatif, pendataan dapat dikatakan mudah dan metode lebih efektif untuk mengumpulkan informasi awal dari klien. Biasanya dalam pendataan, individu diinstruksikan untuk memilih kata atau frase pada daftar yang mereka terima.
a. Pendataan yang standar
Konselor dapat menyusun sendiri pendataan yang akan digunakan atau menggunakan beberapa pendataan yang sudah standar. Beberapa pendataan yang sudah terstandarisasi fokus pada laporan tentang gejala-gejala yang sedang klien rasakan saat itu juga. Symptom Cheklist-90-Revised (SCL-90-R, Derogatis, 1994) dan Brief Symptoms Inventory (BSI, Derogatis, 1993) adalah dua instrumen yang sudah populer dan sering digunakan dalam beberapa lingkungan kedokteran kesehatan mental. Instrumen-instrumen ini saling berhubungan dan sangat sama, kecuali SCL-90-R berisi 90 gejala menggunakan 5- skala poin kesulitan (0-4) berkisar dari 0 (tidak sama sekali) sampai 4 (luar biasa). SCL-90-R memerlukan waktu sekitar 15 menit dalam pelaksanaannya; BSI memakan waktu yang lebih sedikit.
Terdapat dua metode dimana dua inventori dapat digunakan sebagai screening tools yang bernilai. Clinician dapat dengan mudah meninjau hasil dari instrumen-instrumen dan menolong gejala-gejala yang diderita klien. Yang termasuk ke dalam pengukuran ini adalah permasalahan pikiran untuk mengakhiri hidupnya, perasaan tidak berharga, perasaan takut untuk terbuka, dan perasaan bahwa semua orang tidak bisa dipercaya. SCL-90-R dan BSI dapat dinilai dengan menetapkan ukuran-ukuran dalam 9 skala: somatization, obsesive-compulsive, sensitifitas interpersonal, depresi, kegelisahan/kecemasan, permusuhan, kecemasan karena phobia, paranoid, dan kegilaan. Terdapat tiga komposisi nilai yang sangat membantu konselor dalam menentukan apakah akan menyerahkan klien pada penilaian psikiater: Global Security Index, Positive Symptom Total, dan Positive Symptom Distress Index. Respon klien dapat dibandingkan antara dewasa yang tidak dalam perawatan, remaja yang tidak dalam perawatan, pasien psikiatri yang dirawat di rumah (bukan di RS), dan pasien psikiatri yang dirawat di RS. Konsistensi dalam pengukuran dan koefisien tes-tes ulang adalah cukup tinggi pada periode-periode terakhir. Ahli pengukuran merekomendasikan bahwa hasil dari SCL-90-R atau BSI baik selama tidak lebih dari 7 hari.
Pendataan yang sudah sering digunakan untuk anak yaitu Child Behaviour Checklist, meliputi 5 skala penilaian yang terpisah (orang tua/laporan pengawasan, laporan guru, laporan pribadi, observasi secara langsung, dan wawancara). Terdapat versi untuk anak usia 2 sampai 3 tahun, tapi yang paling sering digunakan adalah untuk anak usia 4 sampai 18 tahun. Child Behaviour Cheklist untuk anak 4-18 tahun (Achenbach, 1997) menilai masalah tingkah laku dan kompetensi-kompetensi, yang dinilai dengan tujuh area: Kecemasan/depresi, Pendiam, Somatic Complaints, Masalah Sosial, Masalah Pemikiran, Masalah Perhatian, Agresif, dan Kenakalan/kejahatan. Ada juga tiga aspek yang berhubungan dengan Internalizing, Externalizing, dan Total Problems.
b. Pendataan Informal
Pendataan informal ini dapat memberikan beberapa informasi permulaan, tetapi konselor perlu berhati-hati dalam menggunakan hasil yang tanpa informasi yang reliable dan valid. Dalam menggunakan pendataan ini, clinicians harus juga waspada pada beberapa individu yang memiliki kecenderungan untuk menandai banyak item sedangkan yang lainnya hanya menandai sedikit saja. Oleh karena itu, klien yang sudah menandai banyak masalah tidak harus dipandang sebagai klien yang lebih bermasalah dibandingkan dengan klien yang hanya menandari sedikit masalah saja.
2. Skala Penilaian
Skala penilaian ini meminta klien atau observer untuk memberikan beberapa indikasi dari sejumlah atau tingkatan masalah, sikap, atau ciri khas (karakter ) kepribadian yang dapat diukur.
Terdapat beberapa angka dalam skala penilaian yang berhubungan erat dengan saat konselor menafsirkan penilaian ini. Pada umumnya manusia cenderung untuk merespon nilai pertengahan, yang disebut central tendency error. Individu kurang menyukai untuk menilai diri mereka sendiri atau orang lain atau bahkan kedua-duanya terlalu rendah atau terlalu luar biasa tinggi. Hal lain ini menyinggun leniency error, dimana perhatian individual enggan memberikan penilaian pada hal yang tidak disukai. Manusia lebih menyukai untuk memilih hal yang positif jika dibandingkan dengan hal yang negatif. Akhirnya, penilaian pada orang lain sering terjadi sebuah halo effect. Penelitian ini mengindikasikan bahwa manusia dipengaruhi oleh kesan pertama dan kesan pertama in mempengaruhi penilaian-penilaian selanjutnya. Dengan demikian, dapat terbentuk positive halo atau negative halo.
Skala penilaian bisa saja tergabung pada assesmen awal dengan klien. Skala penilaian yang informal ini dapat dapat dilakukan secara verbal atau tergabung dengan formulir yang diberikan. Terdapat skala penilaian yang terstandarisasi seperti Conners Rating Scales- Revised (Conners, 1996). Conners Rating Scales- Revised adalah instrumen yang dibuat untuk menilai anak usia 3 – 17 tahun, instrumen dilengkapi oleh salah satu dari orang tua, guru, atau remaja. Terdapat dua formulir yaitu formulir panjang dan yang singkat untuk masin-masing dari tiga versi (orang tua, guru, dan remaja). Conners ADHD (Attention Defisit Hyperactivity Disorders) index dapat diperoleh dari semua versi dari skala ini. Disamping indikator kemungkinan ADHD, ada skala lain (perlawanan, cemas/malu, masalah sosial).
3. Screening Inventori lainnya
Ada beberapa screening instrumens awal selain pendataan dan skala penilaian. Sebuah contoh dari instrument ini adalah Problem Oriented Screening Instrument for Teenager (POSIT). POSIT adalah pragram inisiasi terbaru yang dikembangkan oleh National Institute Drug Abuse (NIDA) yang disebut Adolescent Assesment/Referal System (Rahdert, 1997). Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pengukuran dan sistem referal untuk masalah remaja berusia 12 sampai 19 tahun. Dewasa ini, POSIT dan daftar pertanyaan mengenai sejarah personal digunakan untuk menentukan apakah perlu dilakukan asesmen lebih lanjut. Screening tool ini baru mulai digunakan tetapi sangat berpotensi untuk sangat berguna.
Kesimpulannya, terdapat beberapa instrumen baik yang formal maupun yang informal yang dapat membantu pengumpulan informasi melalui wawancara yang dilakukan. Beberapa konselor menggabungkan teknik ini secara rutin mengingat yang lain akan secara periodik menggunakan checklist (pendataan), skala penilaian, atau inventori lainnya. Konselor dapat meningkatkan efektifitas mereka dengan menggunakan banyak metode dalam mengumpulkan informasi. Terkadang dalam proses pengumpulan informasi, konselor akan menentukan perlunya penilaian klien secara terus menerus. Untuk contoh, selama wawancara berlangsung, konselor mungkin melihat tanda-tanda depresi dan membutuhkan pengumpulan informasi yang lebih spesifik mengenai depresi ini.
C. Menilai Masalah Spesifik Pada Tahap Awal
Beberapa masalah spesifik harus benar-benar diperimabngkan pada konseling tahap awal, karena jika masalah-masalah spesifik ini terlupakan maka dapat mengakibatkan hasil yang negatif, bahkan sampai pada kematian klien. Untuk contoh, jika konselor tidak dapat mengukur potensi klien untuk bunuh diri, lalu klien melakukan bunuh diri saat masih bisa dihalangi dan akan mampu mempertahankan klien untuk tetap hidup.
1. Assesmen terhadap potensi untuk bunuh diri
Pada sesi awal konseling, konselor perlu untuk mengevaluasi potensi untuk bunuh diri pada tiap klien. Pengidentifikasian keinginan bunuh diri pada klien bisa menghindari kematian. Kemungkinan bekerja menghadapi klien yang berpotensi untuk bunuh diri sangatlah tinggi. Seorang konselor mungkin bekerja menghadapi klien yang nampaknya beresiko kecil untuk bunuh diri; tapi bagaimanapun, beberapa jam kemudian sesuatu mungkin terjadi dan mengubah secara signifikan resiko bunuh diri tersebut.
Memiliki informasi hasil penelitian demografi dapat membantu konselor menjaring klien yang berpotensi bunuh diri. Umumnya, pria lebih rentan untuk bunuh diri dari pada wanita, meskipun beberapa study menunjukan wanita lebih rentan untuk mencoba bunuh diri. (Garrison, 1992). Hasil tersebut, bagaimanapun, tidak mengindikasikan bahwa penyikapan masalah bunuh diri pada wanita kurang serius daripada penyikapan pada pria. Klien berkulit putih cenderung lebih rentan bunuh diri daripada klien yang berasal dari kaum minoritas, dimana klien berkulit putih keturunan Afrika-Amerika dua kali lipat lebih banyak melakukan bunuh diri. Bagaimanapun, angka bunuh diri penduduk asli amerika lebih tinggi daripada angka pada populasi pada umumnya (Berlin, 1987). Status perkawinan seseorang juga ditemukan memiliki kaitan dengan resiko untuk melakukan bunuh diri.
Depresi dan kecanduan alkohol teridentifikasi antara 57% dan 86% terjadi pada semua korban bunuh diri, dengan mayoritas kesemuanya itu sangat berkaitan dengan depresi. Satu ciri penting yang harus dilihat saat melakukan assesmen keinginan bunuh diri adalah perasaan keputusasaan atau ketidakberdayaan.
Stelmacher (1995) merekomendasikan ada tujuh area yang menjadi fokus clinician saat melakukan assesmen resiko bunuh diri.
1) Komunikasi verbal. Jika klien mengungkapkan secara verbal bahwa dia berniat untuk bunuh diri, itulah tanda yang sangat jelas dan dapat diidentifikasi untuk selanjutnya diadakan investigasi terhadap situasi yang mungkin dapat mematikan.
2) Rencana. Jika ada indikasi yang memungkinkan adanya pemikiran untuk bunuh diri. Perhatian konselor terhadap klien harus meningkat jika ada sebuah perencanaan dan rencana tersebut spesifik, kongkrit, dan detil. Bagaimanapun, kata hati klien mungkin tidak bermaksud mengembangkan sebuah rencana tapi mungkin tetap akan melakukan bunuh diri jika situasi memburuk.
3) Metode. Konselor harus menginvestigasi apakah metode bunuh diri tertentu sudah dipilih. Dalam menganalisa metodenya, konselor harus mengevaluasi ketersediaan metode itu dan derajat mematikannya metode itu. Seorang konselor perlu menentukan Tingkatannya untuk mengetahui resiko dan kemungkinan terlaksananya rencana bunuh diri. Konselor juga harus mengeksplor apakah metode tersebut juga meliputi persediaan untuk menghindari pertolongan. (atau sebalikannya, apakah rencana itu dapat tertolong).
4) Persiapan. bagian lain yang perlu dieksplor yaitu apakah klien telah mulai melakukan proses persiapan. Karena tingkat bahayanya sangat berhubungan erat dengan persiapan tersebut.
5) Stresor. Salah satu bagian lain yang harus diassesmen yaitu stresor. Klien mungkin tidak berada dalam keadaan bahaya yang mendesak, tapi mungkin mempercepat terjadinya bunuh diri apa bila keadaan benar-benar memungkinkan.
6) Keadaan Mental. Asesmen terhadap keadaan mental klien sangat penting dalam menentukan resiko yang akan timbul, baik resika yang mendesak ataupun resiko jangka panjang. Faktor psikologis seperti depresi, jelas-jelas berkaitan erat dengan percobaan bunuh diri. Beberapa klien yang sedang dalam proses akan melaksanakan bunuh diri akan mengalami peningkatan spirit karena mereka akhirnya menemukan sosusi untuk mengakhiri rasa sakit mereka.
7) Keputusasaan. Level atau tingkat keputusasaan adalah ukuran untuk menenentukan resiko bagi klien yang tidak melaporkan pemikiran apapun mengenai bunuh diri.
Semua dugaan bunuh diri memiliki keterbatasan waktu dan menyinggung resiko hanya saat sekarang. Konselor perlu mengevaluasi kembali secara terus menerus potensi bunuh diri pada diri klien.
Instrumen potensi bunuh diri. Skala kemungkinan bunuh diri (Cull & Gill, 1992) adalah 36 macam instrumen yang menyediakan keseluruhan ukuran resiko bunuh diri. untuk informasi lebih detil, subskala yang menilai adalah keputus asaan, ide untuk bunuh diri, evaluasi diri yang negatif, dan permusuhan. Keuntungan dari instrumen ini adalah terpisahnya norma bagi individu normal, pasien psikiter, dan pencoba bunuh diri yang mematikan (mereka yang mencoba bunuh diri menggunakan metode yang bisa menimbulkan kematian).
Aaron Beck, penulis terapi kognitif, telah membuat dua skala yang menghubungkan potensi bunuh diri. the Beck Scale for Suicide Ideation (Beck & Steer, 1991) dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menyaring klien yang mengakui adanya pemikiran untuk bunuh diri. terdapat lima macam saringan yang mereduksi sejumlah waktu bagi klien yang tidak melaporkan ide untuk bunuh diri. penulis merekomendasikan untuk tidak menggunakan instrumen itu sendiri, tetapi dengan mengkombinasikannya dengan alat-alat assesmen. Instrumen Beck lainnya, The Beck Hopelessness Scale (Beck & Steer, 1993) telah menunjukan adanya hubungan dalam mengukur tujuan dan ide bunuh diri. instrumen ini sudak memenuhi norma-norma yang tersedia bagi klien yang berniat bunuh diri.
Validitas instrumen yang akan menilai potensi untuk melakukan bunuh diri sedikit banyak menimbulkan problema. Itu akan menjadi tidak etis untuk memberikan sebuah sampel individu yang berpotensi bunuh diri dengan sebuah instrumen dan mengumpulkan satu data yang mana menunjukan fakta akan melakukan bunuh diri. Seorang konselor seharusnya mengkonsultasikan dengan profesi yang lain apakah ada perhatian lain yang berhubungan dengan penilaian resiko bunuh diri. Sangat sering terjadi dengan klien yang berpotensi bunuh diri, seorang konselor mungkin perlu menjamin kliennya menerima evaluasi psikiatrik.
2. Assesmen Depresi
Untuk menilai apakah seorang klien depresi, seorang konselor perlu memiliki pemahaman beberapa karakteristik umum klien yang mengalami depresi itu. Menurut McNamara (1992), simptom depresi biasanya mencakup mood dysphoric yang sering disertai perasaan kegelisahan, rasa bersalah dan dendam. Depresi ditandai dengan kesulitan konsentrasi, pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Klien cenderung pesimis dan memiliki sikap negatif terhadap diri mereka sendiri, orang lain dan dunia. Simptom-simptom fisik dan perilaku juga biasanya sementara, terutama apabila depresi itu lebih mengkhawatirkan. Penarikan diri dari masyarakat adalah suatu gejala, cenderung udah menangis, tak beraktvitas dan kehilangan minat dalam aktivitas yang dahulunya menyenangkan.
1) Inventori Depresi Beck.
Ponterotto, Pace, dan Kavan (1989) mengidentifikasi 73 tindakan depresi yang berbeda yang digunakan para peneliti atau para praktisi kesehatan mentaln dari tindakan-tindakan berbeda ini, the Beck Depression Inventory (DBI) yang paling banyak digunakan. Pada faktanya, BDI digunakan sepuluh kali lenih sering dibandingkan dengan intrumen terpopuler kedua. Versi yang baru dari BDI baru-baru ini sudah diterbitkan. the Beck Depression Inventory II (DBI II, Beck, Steer, & Brown, 1996). BDI direvisi untuk meluruskan diagnosa dan statistik manual Mental disorder (DSM-IV) kriteria depresi seperti pendahulunya, BDI-II hanya berisi 21 hal pokok dan biasanya membutuhkan waktu 5 menit bagi klien untuk menyelesaikannya. Pada setiap hal pokok, ada 4 pilihan yang menambah level keparahan. Oleh karena itu, hasil BDI-II menyediakan suatu indeks keparahan depresi. Berkenaan revisi baru-baru ini, pada BDI-II ada ketersediaan informasi psikometri yang terbatas. Koefisien alpha secara keseluruhan lebih tinggi BDI-II daripada BDI. Penelitian Steer & Clarks (1997) pada mahasiswa yang mendukung kepercayaan tinggi pada BDI-II dan berkontribusi terhadap pembangunan validitas instrumen. BDI-II berdasarkan BDI yang diteliti secara luas. Tinjauan terhadap BDI (conoley, 1994; Sundberg, 1994) pada umumnya positif tapi menekankan BDI untuk tidak digunakan sendiri dalam assesmen depresi. Sebagai tambahan, Conoley mengingatkan bahwa hal-hal pokok yang berhubungan dengan bunuh diri dapat dipalsukan dengan mudah.
2) Instrumen-instrumen Depresi yang lain.
Terdapat beberapa instrument yang terstandarisasi yang dapat digunakan untuk melakukan assessment depresi. Untuk anak-anak dan remaja, terdapat Children’s Depression Inventory (Kovacs, 1992), Children’s Depression Rating Scale, Revised (Poznanski&Makros, 1996), dan Reynolds Adolescent Depression Scale (Reynolds, 1987), dan Reynolds Child Depression Scale (Reynolds, 1989). Instrumen-instrumen lain disamping BDI-II untuk orang dewasa adalah Hamilton Depression Inventory (Reynolds & Kobak, 1995), dan State Trait-Depression Adjective Check Lists (Lubin, 1994). Revised Hamilton Rating Scale for Depression (Warrren, 1994) adalah instrument lain yang dibuat untuk mengukur tingkat depresi yang dirasakan oleh klien; bagaimanapun, ahli klinis daripada klien melengkapi instrument.
3. Asesmen Penyalahgunaan Zat
Berdasarkan Greene dan Banken (1995), para ahli klinis sering mengalami kegagalan untuk mengenali simptom-simptom sebagai refleksi penyalahgunaan zat atau ketergantungan. Lazimnya penyalahgunaan zat dalam setting klinis sudah tinggi, dengan berkisar antara 12 dan 30 persen (Moore et al., 1989). Hal ini masih belum bisa ditentukan mengenai konstitusi penyalahgunaan zat. Pada bab 13, akan didiskusikan mengenai criteria dari diagnosis penyalahgunaan zat.
Dalam konseling perlu dengan segera diidentifikasi apakah klien melakukan penyalahgunaan zat. Seorang konselor yang menggali kemungkinan dari penyalahgunaan zat dapat dengan mudah dimulai dengan menemukan isu-isu yang secara esensial mengakibatkan penyalahgunaan zat. Satu metode untuk menggali kemungkinan dari penyalahgunaan zat dengan menanyakannya langsung pada klien. Oetting dan Beauvais (1990) menemukan bahwa self-report dapat diterima dan reliable. Biar bagaimanapun, beberapa masalah memiliki validitas karena banyak klien enggan untuk memperlihatkan penggunaan dari zat-zat atau mengenai jumlah yang digunakan. Akan tetapi, para konselor harus mencari informasi mengenai jenis drugs yang digunakan dan jumlah alcohol yang dikonsumsi oleh klien. Dalam istilah pengobatan, resep-resep, melebihi batas, dan jenis drugs harus diketahui. Hal-hal tersebut harus diselidiki, pertama, karena penggunaaan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan permasalahan. Alasan kedua adalah untuk mengetahui semua tipe drugs karena meskipun ada beberapa yang secara biasa digunakan untuk pengobatan, jika digunakan berlebihan maka akan memberikan efek tertentu. Kadang-kadang beberapa symptom yang ada pada klien (selalu merasa lelah) merupakan akibat dari pengobatan; konselor harus berkonsultasi pada Physician’s Desk Reference agar mengetahui tentang akibat penggunaan drugs.
Standarisasi Instrumen Penyalahgunaan zat.
Terdapat beberapa standarisasi instrument yang dibuat secara spesifik untuk mengukur penyalahgunaan zat. Tabel 6.5 melibatkan daftar beberapa instrument yang sering digunakan. Satu instrument yang digunakan oleh para praktisi adalah Substance Abuse Subtle Screening Inventory (SASSI-2, SASSI Institute, 1996). SASSI Institute berisi bahwa SASSI-2 memiliki 88 persen akurasi dalam mengidentifikasi individual dengan gangguan yang berhubungan dengan zat. Oleh karena terdapat pembaharuan dari instrument ini, maka tidak cukup dilakukan riset untuk melihat hal ini apabila ada peneliti-peneliti lain mendukung penemuan-penemuan ini. Hal lain yang sudah biasa digunakan sebagai alat asesmen adalah CAGE, yang merupakan teknik wawancara yang sederhana yang sering digunakan dalam lingkungan medis. CAGE (Mayfield, McLeod, & Hall, 1974) adalah alat untuk membantu untuk empat pertanyaan berikut ini:
1) Apakah Anda pernah merasa bahwa Anda harus mengakhiri kebiasaan anda minum minuman keras?
2) Pernahkah anda merasa terganggu dengan kritikan orang-orang di sekitar ini?
3) Apakah Anda pernah merasa buruk atau merasa bersalah dalam kebiasaan meminum minuman keras?
4) Apakah Anda pernah merasakan kegelisahan atau mencoba untuk menghilangkan rasa sakit pada saat bangun tidur di pagi hari ?
Apabila jawaban yang didapat mengindikasikan masalah, ahli klinis harus mengumpulkan informasi yang lebih detail mengenai kebiasaan minum minuman keras. Terkadang, biar bagaimana pun, klien akan menolak pernyataan bahwa minum minuman keras atau menggunakan obat terlarang adalah masalah. Satu teknik untuk membuat klien memiliki self-monitor dan merekam saat-saat klien minum minuman keras. Beberapa klien akan terkejut sendiri setelah melihat rekaman jumlah minuman keras yang ia konsumsi. Teknik lainnya, kadang menghubungkan dengan “acid test” yaitu untuk bertanya pada klien untuk mengontrol atau membatasi konsumsi minuman keras. Sebagai contoh, klien akan membatasi kuantitas minuman yaitu tidak lebih dari tiga kali dalam kurun waktu tiga bulan. Hal ini akan memberikan indikasi bahwa mengkonsumsi minuman keras dapat terkontrol.
Langganan:
Postingan (Atom)